Mohon tunggu...
Dhimas Raditya Lustiono
Dhimas Raditya Lustiono Mohon Tunggu... Perawat - Senang Belajar Menulis

Perawat di Ruang Gawat Darurat | Gemar Menulis | Kadang Merasa Tidak Memiliki Banyak Bakat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Maaf, Lagi Nggak Punya Uang

4 Juni 2020   08:54 Diperbarui: 4 Juni 2020   08:53 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkan kalian berkumpul dengan teman -- teman di sebuah rumah makan lalu biaya makan dibayar sendiri sendiri dari dompet pribadi masing -- masing atau dari kredit card? Ya itu adalah hal yang biasa dilakukan, apabila ada ajakan makan siang dan tak ada seorangpun yang berkata "Nanti aku yang bayar." Maka biaya makan dan minum adalah menjadi tanggung jawab pribadi.

Dialah Fredi seorang mantan Mahasiswa berkat DO dari kampusnya, ia bukanlah seseorang yang bodoh, ia adalah seseorang yang sangat cerdas di Fakultas Sastra, tak hanya pandai dalam menginterpretasi puisi, ia juga fasih dalam menirukan aksen bahasa Inggris dari berbagai negara. Bahkan kata seorang teman yang sudah wisuda, ia pernah dimintai tolong oleh dosennya untuk sekedar berkonsultasi perihal Sastra.

DO dari kampus bukanlah tanpa alasan, setiap datang ke kampus ia memilih untuk nongkrong di kantin daripada mengikuti perkuliahan yang ia rasa tidak cocok, suasana kantin justru membuatnya bisa belajar melalui smartphone yang terkoneksi wifi kampus, alhasil banyak nilai mata kuliah yang tidak lulus karena absensinya tidak memenuhi kriteria, 7 tahun sudah berlalu tak ada 1 paragraf pun yang Fredi hasilkan untuk Skripsinya.

Satu hal yang cukup nyentrik dari Fredi adalah sandal jepit yang selalu ia pakai entah dalam acara apapun ketika keluar rumah, saat Fredi manggung bersama band-nya, saat nongkrong, kondangan bahkan saat menghadiri acara kedinasanpun ia selalu menggunakan sandal jepit yang warnanya sudah agak memudar, sungguh aneh jika ia tidak memiliki sepatu karena ia pernah menjadi Mahasiswa. Tercatat ia memiliki 2 celana panjang yang selalu ia kenakan ketika keluar rumah, yaitu jeans biru merk Lea dan jeans hitam merk louis.

Fredi menikmati masa -- masa DO dengan mempelajari segala hal berbau sastra dan filosofi melalui internet, baik website kursus online maupun youtube, baginya hal tersebut adalah hal yang sangat mengasyikkan, tak perlu mandi pagi, berbaju rapi dan menyemir sepatu lalu pergi ke kampus, cukup dengan celana kolor yang sudah 2 minggu terpasang di tubuhnya lalu ia bisa belajar kapan saja Fredi mau, tak ada yang melarang merokok ketika belajar maksudnya ketika berselancar di internet.

Suatu ketika Fredi mendapat ajakan untuk nongkrong di sebuah cafe oleh Wendra, katanya Wendra sedang kedatangan bule dari Chicago, Fredi pun sangat antusias mendapati ajakan Wendra. Fredi mengambil ponselnya dan menghubungi Gilang untuk ikut bersamanya.

            "Bro lagi sibuk nggak, temenin nongkrong yuk, Wendra lagi kedatangan Bule, tapi aku dijemput ya bensin motorku abis"

Gilang yang sedang banyak waktu luang akhirnya menyanggupi permintaan Fredi, mereka berdua berboncengan menuju tempat yang telah ditentukan oleh Wendra yang tentunya tempat tersebut adalah sebuah kedai kopi dengan harga menu yang lumayan menguras isi dompet Mahasiswa.

Fredi sangat antusias ketika ia dapat berbicara dengan bule asal Amerika tersebut, ia bernama James yang sedang berlibur di Indonesia dalam rangka belajar Gamelan. Fredi terlihat sangat fasih dalam mengucapkan kalimat demi kalimat, tidak seperti Gilang yang harus meminta bantuan Fredi untuk mentranslate-nya.

Selayaknya nongkrong di sebuah cafe, waiter memberikan buku menu dan sebuah kertas kecil kosong untuk menulis pesanan, Wendra memilih menu dan menuliskannya, lalu menyerahkan buku menu itu kepada Gilang. Setelah Gilang selesai menuliskan pesanannya, ia menyodorkan buku menu tersebut kepada Fredi.

            "Mau pesen apa bro?" tanya Gilang

Fredi tersenyum seraya berkata "Maaf, lagi nggak punya uang Jon," tak ada ekspresi sedih, ia tetap tersenyum akan keadaan finansialnya saat itu, ia tersenyum seperti seorang sekertaris yang sedang menggoda Bos besarnya agar dirinya bisa naik gaji.

            "Yaudah pesen apa, ntar aku bayarin" sahut Gilang dengan suara lirih.

Merasa tak enak hati ia hanya menuliskan Teh hangat pada kertas kecil, sebuah minuman dengan harga yang masih bisa dijangkau oleh Gilang.

Semua menu telah tersaji di meja, termasuk secangkir teh hangat pesanan Fredi yang kali ini ia merasa seperti diselamatkan oleh seorang malaikat.

***

Berstatus DO Fredi mulai menyematkan label pengangguran pada dirinya, anehnya ia merasa bahagia dengan status penganggurannya, andai saja ia mau sedikit keluar dari zona nyamannya tentu ia tak perlu khawatir akan kebutuhan kuota dan rokoknya, tapi ia sepertinya asyik belajar untuk dirinya sendiri, ada buku -- buku filsafat yang tebal bersanding dengan novel -- novel klasik karya penulis terkenal yang tergeletak rapi di meja kamarnya.

Terkadang ia mendapatkan uang dari undangan komunitas atau organisasi kemahasiswaan Kampus tempat ia kuliah dulu untuk menjadi pemateri ataupun dewan juri lomba puisi, dari sanalah Fredi mendapatkan amplop yang isinya langsung ludes untuk membeli sebungkus rokok kretek dan kebutuhan kuota internet. Namun undangan seperti itu hanyalah undangan insidentil dan tidak setiap bulan ada. Ia masih merasa nyaman dengan aktifitasnya saat ini, yaitu tenggelam dalam ilmu tanpa ia aplikasikan agar menjadi uang untuk isi dompetnya, sebungkus rokok kretek, seperangkat laptop dengan koneksi internet sudah cukup membuat hidupnya bahagia meski tak ada uang di dompetnya.

Ponselnya berdering ternyata Ginanjar mengajaknya ngopi sore, tentu sebuah ajakan yang sangat disayangkan apabila tidak diiyakan, namun tetap dengan balasan serupa.

            "Aku dijemput ya? Motorku nggak ada bensin" jawab Fredi akan ajakan Ginanjar melalui pesan singkat.

Ginanjar memesan kopi arabica tanpa gula dan Fredi memilih untuk memesan kopi robusta dengan metode vietnam drip. Obrolan pun terjadi dengan hangat, karena Ginanjar juga menyukai sastra meski tidak terlalu mengenal sastra klasik, obrolannya kali ini sama hal-nya ia mengikuti perkuliahan 4 sks, obrolan yang sangat berbobot selayaknya konsultasi makalah dengan seorang dosen, hanya saja dosennya kali ini belum memiliki gelar akademik, mengenakan jeans hitam yang sudah 2 minggu tidak dicuci dan kakinya beralaskan sandal jepit dengan warna yang sedikit memudar.

Ginanjar juga bercerita soal pacarnya yang indigo, ia bercerita bahwa dulu sebelum menjadi Indigo, pacarnya sering bermimpi melihat pocong dari jarak 1 jengkal dari muka, sejak saat itu ia sering melihat sesuatu yang aneh -- aneh yang tak bisa dilihat oleh teman -- temannya, mulai dari gadis berbaju khas belanda, sampai kepala berambut panjang dengan gigi tajam.

            "Pacarku punya temen imajiner yang aku sendiri ngeri kalau dia mulai cerita soal hal gaib, dia punya temen namanya Cici, yang katanya tidak ada manusia di dunia yang cantiknya melebihi cantiknya cici." Tukas Ginanjar setelah menyesap kopinya.

            "Dirumahku juga ada cici yang nakutin kok, bukan hantu si tapi cici-lan motor". Timpal Fredi dengan sedikit tertawa yang terdengar samar.

Obrolanpun mereka akhiri ketika adzan maghrib berkumandang, lalu dengan ekspresi tersenyum Fredi pun berkata "Maaf, aku lagi nggak ada uang jon" senyumnya masih tertahan menampakkan 4 gigi serinya.

Ginanjar sudah tidak asing dengan keadaan finansial teman akrabnya, karena semenjak berstatus DO, Fredi sudah jarang diberi uang oleh orang tuanya karena di usia yang lebih dari seperempat abad seharusnya ia sudah bisa memenuhi kebutuhan pribadinya tanpa minta uang kepada orang tuanya. Ginanjar menuju ke kasir lalu membayar semua yang dipesan oleh Fredi dan dirinya. Tak henti -- hentinya Fredi mengucap syukur dalam hati karena ia masih bisa nongkrong tanpa biaya sepeserpun.

Layaknya seseorang yang telah mengajak pacarnya jalan -- jalan, Ginanjar juga merasa harus mengantarkan Fredi kembali ke rumahnya yang kebetulan satu arah dengan tempat kosnya.

10 menit perjalanan telah berlalu dan akhirnya sampailah Ginanjar pada kediaman Fredi, mata Ginanjar tertuju pada 2 orang berjaket kulit yang baru saja keluar dari ruang tamu, 1 orang berbadan kekar dengan tato di leher dan 1 orang lainnya berbadan kerempeng dengan kumis lebat. Ginanjar melihat 2 orang tersebut masuk kedalam mobil dan dengan jelas ia bisa melihat stiker pada mobil tersebut yang bertuliskan Rend Finance. Tanpa sengaja Ginanjar melihat Ibu Fredi tertunduk lesu. Ginanjar berusaha untuk tidak berprasangka yang aneh akan apa yang dilihatnya. Tak perlu waktu lama Ginanjar-pun berpamitan pulang menuju kos-nya.

Fredi masuk ke dalam kamarnya seakan abai dengan ibunya yang hampir menangis, kemudian ia menghidupkan laptopnya untuk melanjutkan kursus online bahasa Spanyol dengan rokok kretek di tangan kanan. Asbak di kamarnya-pun telah penuh dengan putung rokok yang sudah 2 minggu ini tidak dibuang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun