"dalam hal ini titik persamaan itu, kalau dalam bangsa ini ada di dalam Pancasila. Hidup baik menurut Pancasila perlu keseimbangan peran komunitas, peran negara dan peran pasar," kata si empunya BPIP ini.
Peran dan tugas komunitas adalah menjadi gembala nilai atau akhlak. Tugas pemerintah menjadi gembala tata kelola. Sedangkan tugas dari pasar adalah menjadi gembala kemakmuran yang inklusif (menyeluruh).
"problem kewargaan Indonesia hari ini" tiba-tiba saja suara kang yudi sedikit meninggi dan serius. Â
"ketiga gembala tidak menjadi gembala yang baik. Gembala komunitas, entah itu tokoh agama, tokoh pendidikan gagal melakukan pendidikan nilai. Orang menjadi beragama yang katanya teguh, tapi semakin beragama, terus semakin tidak benilai, semakin tidak beraturan," sambung cendekiawan muda asal sukabumi ini.
Memang kini banyak tokoh agama yang nyebrang ke politik praktis. Seharusnya tokoh-tokah agama dan pendidikan itu mengembangkan akhlak, bukan hanyut di dalam persaingan-persaingan politik. Gembala nilai tengah menjadi pelaku politik. Ini keliru. Sudah bukan rahasia, di Indonesia pendidikan terburuk adalah pendidikan nilai. Kalau kita mau bertanggung jawab pada keagamaan kita, tugas dari tokoh agama itu sebaiknya tidak menjadi aktivis politik.
Semua hadirin yang kekira berjumlah 300-an orang itu terpukau. Teman-teman seruangan merecordnya. Para insan pers yang sedari tadi duduk-duduk di pojokan, semua berdiri. Kita sedang memandangi si guru muda pemilik buku mata air keteladanan itu bicara.
"Ke-dua, tata Negara kita juga buruk. Jumlah partai bertambah, institusi-institusi Negara makin gemuk, semakin luas, tapi tata kelola kita semakin amburadul."
Pernyataan ayah empat anak ini dikuatkan beberapa fakta, bahwa setiap pemilu bukan menjadi semakin baik tapi semakin kacau. Tata kelola kenegaraan kita juga gagal melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tata kelola Negara gagal memajukan kesejahteraan umum. Tata kelola Negara kita gagal mencerdaskan kehidupan umum. Aktivis politik kehilangan orientasinya. Sibuknya hanya saling menjatuhkan dan berlomba-lomba menjadi orang yang paling benar.
"yang ke-tiga, gembala pasar juga hanya sibuk mengakumulasi capital tanpa tahu di mana batas kekayaan itu harus diakhiri."
Di Indonesia rasanya tidak perlu ada batas minimum dalam kemampuan ekonomi seseorang, yang harus dituju itu adalah batas maksimum. Sampai di mana kekayaan itu harus kita akumulasikan. Sekarang para pembisnis-pembisnis juga tidak merasa ikut bertangung jawab pada sosial capital. Mereka hanya asik pada finansial capital, dan seoalah-olah menyerahkan urusan sosial kepada tokoh-tokoh agama. Mereka seenak udelnya sendiri, mangambil keuntungan investasi, kinerjanya naik, tapi soal carut marut republik tidak ikut bertanggung jawab.
Terlalu kejam. Ini Tidak bisa dibiarkan, sebab dari sinilah sumbu ketidakadilan itu menjadi penyakit kronis pada kewargaan kita.