Mohon tunggu...
Dhimas Kaliwattu
Dhimas Kaliwattu Mohon Tunggu... Penulis - seorang manusia

menjaga ingatan dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Titik Temu

13 April 2019   16:00 Diperbarui: 14 April 2019   11:18 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begini maksudnya. Setiap agama memiliki tuntutan kewajiban dan ritual ibadahnya masing-masing. Itu telah diajarkan di tiap-tiap keluarga/ komunitas dan sudah melekat menjadi kesadaran. Jadi hal-hal semacam itu tidak perlu dibuatkan undang-undang atau hukum positifnya. Kekira begini contohnya, anda mau sholat, ya sholat saja. Anda mau puasa, ya puasa saja. Mau ke gereja, ya ke gereja saja. Mau ke wihara, ke kuil, ke pura ya silahkan. Hukum privat sifatnya kesukarelaan. Kalau orang mau tunduk ya tunduk, ngak bisa dipaksakan oleh Negara.

Lantas untuk apa undang-undang haji, apakah semua orang Indonesia wajib naik haji? tidak. Naik haji itu kewajiban agama. Kewajiban hukum ngak ada. Tapi kalau ada warga negara ingin naik haji atau keluar negeri katakanlah. Negara wajib melindunginya. Hal-hal yang telah menjadi hukum nasional, bukan lagi hukum agama, tapi hukum bersama.

"ketemu kalimatun sawa-nya itu di situ, yang pasti diterima oleh agama apapun, karena di situ (legislative) dirembuk secara bersama-sama. Mari kita bernegara dengan cara itu. Insya allah damai." Muridnya Gus Dur itupun mengakhiri ulasannya.

***

dok. pribadi dhimas kaliwattu
dok. pribadi dhimas kaliwattu

Tiga Gembala 

"dokumen ini sebenarnya berbicara tentang kita. Kita yang berbeda, tapi kita dipersatukan oleh asal usul kemanusiaan yang sama."  Yudi latif membuka pemaparannya.

Selidik punya selidik, ternyata dalam berbagai literasi menyebutkan, usia kemanusiaan kita jauh lebih tua dibanding usia keagamaan kita. Agama-agama yang ada hari ini paling banter jika ditarik usianya sejak 3000 tahun yang lalu, tapi usia kemanusiaan kita itu paling sedikit 20.000 tahun yang lalu. Bahkan di Nusantara, orang papua, melanesia sudah ada di pulau papua sejak 45.000 tahun yang lalu. Jadi bagaimanapun, keagamaan kita tidak akan ada tanpa kemanusiaan.

Kang Yudi, anak muda jebolan The Australian National University ini kala itu fokus bicaranya tentang inklusif citizenship yang termaktub dalam poin ke-8 pada Document on Human Fraternity. Ini isinya:

"konsep kewarganegaraan didasarkan pada kesetaraan hak dan kewajiban, sehingga semua menikmati keadilan. Karena itu penting untuk menegakan dalam masyarakat kita konsep kewarganegaraan penuh dan menolak penggunaaan istilah minoritas secara diskriminatif yang menimbulkan perasaan keterasingan dan inferioritas. Penyalahgunaannya membuka jalan bagi permusuhan dan perselisihan......"

Point ini seakan mengatakan bahwa problem tantangan dari orang-orang beragama itu adalah satu sisi dia harus menjadi orang beragama yang baik, di sisi lain juga harus menjadi warga Negara yang baik. Banyak orang yang beragama baik, namun belum tentu menjadi warga Negara yang baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun