Sepasang kupu-kupu berwarna biru keemasan terbang mengitari sebuah taman. Hinggap dari satu dahan ke dahan lain. Dari satu jenis bunga ke jenis lain.Â
Matanya hemat saling mengawasi. Membelai bunga-bunga yang kesepian dan menyegarakan sebaris ilalang yang tak mendapatkan jatah embun. Entahlah, mengapa begitu cepat bunga-bunga itu terlena oleh kata-kata cinta yang dibisikan kedua kupu-kupu.Â
Nyatanya. Mereka sendiri yang menawarkan sari dan mahkota kehormatan yang selama ini dijaganya. Sebuah mahkota yang belum sekalipun terjamah oleh makhluk apapun. Tapi hari ini, sepasang kupu-kupu itu menang banyak.
Seekor kumbang menyelinap diantara kulit kayu lapuk yang sedikit basah. Ada rasa cemburu sekaligus senang melihat sang pujaan tengah bertingkah layaknya anak kecil yang berebut manisan.Â
Semusim sudah ia merayu krisan. Ratusan syair telah diucapkan. Ratusan lagu telah didendangkan. Bahkan ratusan doa pun telah dipanjatkan. Tapi krisan tetap tak membuka hatinya.Â
Jangakan luluh terlena. Sekedar tegur "selamat pagi" atau "selamat malam", pun tak pernah. Sikumbang bertanya pada seruni, teman akrabnya krisan. Pada seruni ia mengutarakan cintanya pada krisan yang tak sampai. Berharap seruni dapat membantu misi yang sangat. Sangat. Sangat penting ini.
Temaram datang menyapa. Hei... coba tengok ke kanan. Lihatlah. Lili dan lavender sedang merias diri. Ratusan hujan purnama tak menggoyah kesetiannya menunggu sang kekasih kembali. Walau begitu, mereka tak menutup diri seperti krisan.Â
Lili dan lavender tetap ramah pada setiap serangga yang ingin mendekati. Baginya mendekati dan didekati adalah hak asasi. Sebuah bahasa prosa romantismenya dari cinta. Â
Utamanya lavender. Kemolekan warna yang melekat mengundang banyak serangga ingin memilikinya. Sial. Bukan hanya serangga, tapi juga manusia. Terkadang manusia lebih kejam dari makhluk apapun.Â
Datang tiba-tiba menjamah, menyakiti dan melakukan upaya pembunuhan kejam yang seringkali tanpa direncana. Pernah disuatu taman di tengah kota, manusia membabat habis bunga dan seluruh yang ada di sekeliling. Setangkaipun tak bersisa.Â
Sebenihpun tak sempat melarikan diri. Lalu manusia menggantinya dengan hal-hal palsu. Benar. Terkadang manusia lebih senang memiliki hal palsu. Termasuk hati, janji dan harapan. Terdengar baik ucapnya. Terasa baik niatnya, tapi buruk perbuatannya.
Sudahlah. Tak ada gunanya bicara tentang hati manusia yang tak memiliki toleransi pada makhluk hidup lainnya. haha... haha... manusia hanya memiliki toleransi pada sesamanya. Bukan. Bukan. Toleransi hanya untuk segolongan. Itu pun sekedar bisikan dalam tulisan. Â
***
Disebuah taman dipinggir ranu yang terbendung oleh gugusan gunung-gunung. Dengan air yang begitu bening. Hembus selimir angin. Dan kicau burung-burung liar. Dan air terjun bergemericik lembut, sepasang kupu-kupu berwarna biru keemasan datang kembali. Gembira. Menari. Kemilau kepaknya ditimpa panas. Menerangi yang gelap dan meredupkan yang terik.
Kupu-kupu itu perlahan-lahan menahan hatinya. Terbang meninjau bunga pelepas rindu. Menyapa mawar. Anggrek. Seruni. Melati dan kamboja. Memeluk lili dan lavender, dan tiada hentinya menciumi krisan.Â
Segala rumput dan daun-daunan yang senantiasa mengharap sari asmara, pagi itu sangat cemburu dengan segala manis yang didapat singkat kupu-kupu.
Ditanggal baik hari baik. Sepasang kupu-kupu berwarna biru keemasan itu melangsungkan penikahan. Bersumpah untuk saling setia. Saling memahami, dan saling memaafkan.Â
Bulan madu disebuah negeri yang sangat jauh dari bising dirayakannya dengan penuh cinta. Tetesan-tetesan keringat mereka jatuh bersama rangkaian kata-kata manja. Oh mahligai... Inikah mahligai... Dengan sisa tenaganya, malam ini, keduanya terlelap. Berpelukan.
Pagi baru saja tiba. Dikejauhan, derap langkah sepatu terdengar. Datang dua orang serdadu mendekat. Satu wanita dan satu lagi pria. Serdadu itu mungkin manusia pertama di bumi yang pernah datang kesini. Ke tempat yang memiliki budaya, di mana cinta selalu dirayakan sembunyi-sembunyi.
Dasar serdadu... Dasar manusia... Hasrat membabi buta memuncak ketika melihat moleknya dunia yang seumur-umur baru ini dilihatnya. Dengan nafas gesa tersengal, tangannya mulai gerilya. Membius rumput ilalang. Mematahkan belulang ranting tak berdosa. Mencumbu segala macam yang telanjang. Telentang. Tertindih dan terlempar. Cuih... beringas sekali tingkah manusia ini, terutamanya yang perempuan. Rani namanya, panjangnya, tirani. Â
Tiranilah yang temukan sepasang kupu-kupu indah berwarna biru keemasan yang sedang berpeluk erat. Awalnya hanya foto saja, tapi kemudian meningkat menjadi kekerasan dan penganiayaan.Â
Kupu-kupu menjadi sangat takut. Keselamatanya terancam. Tanpa ada kata-kata terakhir mereka terbang berpencar menjauhi serdadu yang mulai menggunakan perangkat perangnya. Kepak demi kepak. Cepat. Lebih cepat lagi mereka terbang mangayun.Â
Disela bunga-bunga dan ranting-ranting tajam mereka terbang menyelamatkan diri. Sial. Semua jejak yang dilewati kupu-kupu malang itu berubah menjadi kiamat besar bagi sekelilingnya.
Tak lama berselang tirani berhasil menangkap seekor kupu-kupu yang sudah kehabisan nafas. Dimasukannya dalam sebuah kaleng kecil kuning kehijau-hijauan. Kupu-kupu yang baru hamil itu mati disiram air keras. Lalu dibawa ke kota. Dijual. Dan kini menghisasi sudut dinding disebuah rumah megah miliki seorang tuan kolektor berpangkat mayor.
Satu kupu-kupu lagi juga akhirnya tertangkap serdadu pria. Sempat terlepas, tapi sial tertangkap kembali. Beruntung pria lebih mengerti dari perempuan. Kupu-kupu basah yang hampir mati itu dilepas kembali ditempat di mana ia melakukan hubungan bulan madu dengan kekasihnya semalam.
***
Takdir berubah begitu cepat. Kiranya sepasang kupu-kupu berwarna biru yang keemasan-emasan itu akan hidup bahagia. Melanjutkan keturunan sewajarnya.Â
Hanya dengan waktu sekian detik hidup berubah. Kupu-kupu yang tak sempat bahagia itu kabarnya sampai sekarangpun masih sering datang menuntut keadilan atas petaka yang menimpanya. Selalu hadir tapi tak berwujud. Jika tak percaya. Pergilah berkunjung ke tempat yang memiliki budaya lekat, di mana cinta dirayakan secara sembunyi-sembunyi.
Mendekati fajar di Tahun 1913 kupu-kupu berwarna biru keemasan itupun untuk terakhir kalinya menampakan diri di sebuah taman yang sama. Dilukis abadi dalam antologi puisi Indonesia oleh mozasa. Riang dinyanyikan oleh ari reda, kemudian terbang abadi menuju metamorfosa yang luas tanpa batas. (ende)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H