Tiba-tiba saja aku teringat padamu. Mungkin senja ini cocok untuk kuberikan.Â
Bagian per bagian masih aku cermati, karena yang ingin kuberikan padamu bukan sembarang senja. Tapi sesuatu yang bisa membalut tubuhmu. Sesuatu yang bisa kau bawa kemanapun. Ya, sesuatu yang menemanimu dalam menebar aromamu.
Tahukah alina? segerombolan waktu kemudian datang. Mencoba mengusik senja yang sedang indah-indahnya itu. Rupanya ia tak rela ada manusia yang kembali mencuri senja terindah seperti yang pernah dilakukan Sukab. Maka aku berlomba dengannya. Mengendap pada sudut-sudut buih di antara gerombolan waktu yang begitu tajam. Dan.... syukur alhamdulillah, aku bisa mencuri senja yang indah ini, yang hanya akan kuberikan padamu.
Alina, aku bukanlah sukab yang menaruh senja dalam amplop yang tertutup rapat. Tidak. Aku tidak mau mengulangi kesalahannya dan sekarang pun bukan jamannya. Bayangkan, butuh berapa puluh tahun lagi senja ini agar bisa sampai kepadamu jika ku lakukan hal serupa.
Cukup ku masukan dalam saku. Kutaroh dekat dengan hati. Kemudian ku tutup serekat mungkin. Ku terangi dengan dzikir dan beberapa doa, sambil terus menerus mengingat wajahmu.
Ini alina. Ambilah. Sepotong senja yang indah tanpa metamorfosa, tanpa kata-kata. Semoga kau suka pada senja yang kuberikan, bukan pada kata-kata.Â
Alina, tersenyumlah dan jangan lupakan bahagia.
ende -
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H