Salah satu contoh riding the wave yang menarik adalah Ketika Eiger tersandung dengan YouTuber Dian Widiyanarko. Brand lain lantas berlomba-lomba membuat surat yang ditujukan kepada pembelinya. Bahwa mereka memberikan kemudahan dan mengajak pembelinya untuk mereview produk tanpa batasan penggunaan kamera tertentu seperti yang dikeluhkan Eiger. Riding the wave itu berhasil membuat salah satu kompetitor Eiger yakni Arei Outdoor Gear viral dengan citra positif.
Waspada dengan Trial by The Netizen
Ada istilah trial by the press atau pengadilan oleh pers yang ditakuti karena merugikan. Istilah itu muncul karena media bertindak layaknya pengadilan. Mencari bukti lewat liputan, menganalisa temuan, dan lantas memberikan "vonis" berupa artikel yang diterbitkan jika berbicara media cetak atau online.
Ni Putu Noni Suharyanti dalam jurnalnya yang berjudul Perspektif HAM Mengenai Penerapan Asas Praduga Tidak Bersalah Dalam Kaitannya dengan Pemberitaan di Media Massa menyebut, trial by the press terjadi ketika ada pemberitaan mengenai sebuah dugaan kasus pidana yang sudah ditangani aparat penyidik hingga masuk ke pengadilan menyebabkan adanya pihak yang tertuduh dan dipojokkan pada posisi yang sulit untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak berpihak.
Meski demikian, personal atau perusahaan yang terdampak trial by the press bisa melakukan perlawanan. Misalnya, dengan mengadukan konten liputan redaksi itu ke Dewan Pers sesuai dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Nantinya, Dewan Pers akan melakukan analisa. Apakah pemberitaan tersebut sesuai dengan kaidah jurnalistik atau tidak.
Rekomendasi Dewan Pers berupa hak jawab atau hak koreksi wajib dilakukan atau didenda Rp 500 juta. Selain itu, jika rekomendasi Dewan Pers tidak dilakukan, pelapor bisa meneruskan ke kepolisian. Dewan Pers sendiri dalam menyelesaikan sengketa menggunakan prinsip cepat, murah, damai dengan mengedepankan asas musyawarah untuk mufakat.
Meski bisa saja penyelesaian oleh Dewan Pers tidak memuaskan pelapor, setidaknya ada jalan keluar jika menjadi korban trial by the press. Namun, tidak demikian jika menghadapi trial by the netizen karena tidak ada lembaga yang bisa menjadi penjembatan penyelesaian sengketa. Tidak adanya penyelesaian yang kongkrit membuat stigma buruk rawan melekat selamanya karena tersimpan abadi dalam jejak digital.
Trial by the netizen juga tidak mengenal cover both side yang diwajibkan ada pada media konvensional. Padahal, kalau ada yang dituduh, idealnya yang tertuduh dihubungi untuk dikonfirmasi. Tetapi, netizen seringkali tidak melakukan itu. Begitu juga ketika ada pertikaian yang melibatkan dua atau lebih orang. Seharusnya masing-masing pihak diberi tempat yang sama untuk bersuara.
Namun, tidak adanya kode etik seperti yang melekat pada profesi wartawan, netizen bisa lebih bebas. Itulah kenapa, praktisi humas atau public relation saat ini harus melengkapi diri dengan pelatihan manajemen risiko berbasis internet terutama media sosial. Setidaknya, jika ada informasi yang "menyenggol" atau ada ketidakpuasan, praktisi humas bisa bersiap untuk memberikan jawaban agar isu tidak semaklin liar.
Apalagi, saat ini hal buruk maupun positif lebih sering muncul dari unggahan netizen dibandingkan dengan media massa. Dampaknya juga bisa lebih besar. Sebab, daya jangkau media sosial seringkali lebih besar daripada media massa. Di era setiap orang bisa menyampaikan opininya termasuk sebagai anonim, kita tidak tahu kapan perusahaan atau produk perusahaan kita mendapat sentimen negatif dan viral. Kalaupun bukan itu, bisa juga karena perilaku karyawan yang ajaib dan menjadi sorotan. Itulah kenapa, praktisi humas harus selalu siap.