Selesai sudah jelajah pada hari pertama.
Hari kedua, Chiang Rai yang lembut dan tenang sebagaimana kamar penginapan kami yang empuk, aih sudah lama kami tak merasakan kasur seempuk ini. Selepas bangun subuh kami langsung menikmati breakfast dan berkemas karena ini adalah hari terakhir kami menjelajahi kota yang tenang ini. Kami memesan jasa tour travel untuk menghemat waktu dan pagi itu juga kami akan dijemput oleh tour guide sekaligus driver kami. Jam 8 dia tiba dan menyapa kami dengan bahasa Thai karena dikiranya kami orang Thai (sekian kalinya).
“ Sawasdi krap!. #@>:”!:”:::@() na krap. @**%$%^!(()*&^%^ na krap.“
“ Mai pasa Thai (Sorry we can’t speak Thai). We’re from Indonesia.”
“Aih, saya kira kalian cowok Thailand. Hahaha okay, my name is Thitiwut Kuankid your tour guide. Kita akan berangkat sekarang, nanti kita akan sightseeing ke berbagai destinasi wisata yang terkenal di Chiang Rai. Let’s go!”
Kami kemudian masuk ke dalam van dan didalam rupanya didalam sudah ada 7 orang turis dari berbagai negara. Ada yang sudah tua dan ada pula yang masih muda seperti kami. Kami saling menyapa satu sama lain dan kami tahu nationality mereka masing-masing. Ada dari Belanda, Swiss, Amerika Serikat, Hungaria, dan Spanyol. Sekali tahu kami dari Indonesia, seorang bapak Belanda langsung tertarik dan dia bercerita bahwa anaknya tinggal di Indonesia. Bapak dari Swiss, Mr. Hans namanya dia malah pernah tinggal di Kalimantan selama beberapa tahun. Dan bagian paling membanggakan adalah ketika tour guide kami, Bro Thitiwut menjelaskan Indonesia kepada mereka.
“Indonesia, you know is the awesome country. Lu orang tahu Bali? Pulau yang bagus sekali, banyak pantai indahnya.”
Ingin rasanya aku menyanyikan lagu Indonesia Raya pada mereka.
Baru saja 10 menit perjalanan, Bro Thitiwut bersabda, “ Tujuan pertama kita, Singha Park. Taman ini punya perusahaan bir terkenal disini. Tapi kita ngga ke tamannya, kita akan ke kebun tehnya.
Btw, sedikit cerita saya adalah peminum bir kelas berat dulu. Kalian tahu tidak bahwa bir itu ada lima level kemabukan. Level satu cuma pusing biasa aja. Level dua kamu merasa seperti guru, tahu segalanya. Level tiga kamu akan merasa seperti superman, bisa mengalahkan segalanya. Level empat kamu tidak tahu mau ngapain. Dan yang terakhir, level lima kamu dalam keadaan KO tidak sadar sama sekali.”
“Sekarang ndak minum lagi?” Tanya bapak dari Belanda.
“Oh tidak lagi lah, pak. Saya sudah tobat.”
“Oh begitu. Tadi saya kira kamu dalam keadaan level dua. Kamu bisa tahu segalanya soalnya sih.” Ledek bapak Belanda sambil disambut gelak tawa seisi van.
Tak lama kemudian kami sampai di kebun teh. Suasananya mirip seperti kami ke kebun teh Nglinggo di Kulonprogo tempo hari,hanya saja lebih teratur dan jenis teh yang ditanam adalah teh Oolong. Kami diberi waktu 30 menit untuk berfoto ria disini. Setelah puas, kami segera bergegas ke tujuan selanjutnya dan ini lebih istimewa karena merupakan ikon Chiang Rai, Wat Rong Khun atau White Temple.
Sampai di tempat, aku langsung terperangah. Wat itu walaupun tidak terlalu besar namun warna putih dan arsitekturnya yang khas membuat wat ini sungguh memesona. Wat ini dikelilingi kolam ikan dan kita hanya diperbolehkan mengambil foto di bagian luar wat sedangkan bagian dalam wat kita hanya boleh masuk tanpa mengambil foto. Bagian istimewa lain dari wat ini adalah toiletnya.
Toiletnya didesain dengan gaya arsitektur Thailand yang khas dan didekor dengan warna emas sehingga dijuluki “the most beautiful toilet”. Asyiknya lagi toilet ini gratis pula.
Tempat itu adalah rumah hitam buatan seniman dan ada arsitektur khas Bali disana! Namun sayang masuk kesana harus bayar lagi, sehingga kami mengurungkan niat untuk masuk kedalam. Jadi kami hanya menikmati pemandangan dari luar dan ngobrol ngalur-ngidul bersama turis lainnya. Kemudian sebelum berlanjut ke destinasi selanjutnya kami menyempatkan diri ke Monkey Cave. Seperti namanya, tempat ini berupa sebuah gua dan kuil yang mana dipelihara banyak sekali monyet.
Para wanitanya menggunakan gelang yang akan ditambah tiap 5 tahun sekali dan akan berhenti jika mereka telah menggunakannya selama 40 tahun dan akan dipasang gelang tambahan sebagai tanda bahwa mereka tidak boleh menambah tinggi gelang tersebut. Aku pernah memegang gelangnya dan beratnya kira-kira 500 gram. Bayangkan saja beratnya apalagi jika dipasang dileher. Yang berkunjung kesini semuanya adalah turis asing yang penasaran pada suku eksotis tersebut. Sst, ada sedikit cerita. Ketika kami akan balik ke van untuk ke destinasi selanjutnya, kami bertemu dengan (diduga) serombongan ibu-ibu atau istri pejabat Indonesia tapi kami tidak tahu darimana daerahnya.
Mereka berjumlah sangat banyak, aku taksir sekitar 30 orang. Temanku berbisik dengan keras padaku dengan bahasa Indonesia maksudnya agar tahu kami juga orang Indonesia.
Namun aku lihat seluruh ekspresi wajah ibu-ibu itu tidak ada yang peduli, mengerling pun tidak. Pikiran su’udzonku berkata(mudah-mudahan aku salah) ooh ini ya kelakuan ibu-ibu atau istri pejabat menghabiskan ‘itu’ ke luar negeri. Justru di Chiang Rai- kota yang berjarak ribuan kilometer dari Indonesia- aku menemukan mozaik hidupku dan menyaksikan langsung kelakuan mereka yang biasanya aku baca dari berita saja.
Setelah makan dan sholat dzuhur kami menuju ke Wat Phra That Doi Wao yang dimana wat ini menyuguhkan pemandangan dari ketinggian perbatasan Thailand-Myanmar. Oh ya, disini ada patung kelajengking peliharaan raja yang bernama Doi Wao dan dari sinilah wat ini mendapatkan namanya.
Kemudian last but not the least kami menuju ke perbatasan tiga negara yang sangat terkenal, The Golden Triangle. The Golden Triangle merupakan titik dimana perbatasan tiga negara yaitu Thailand-Myanmar-Laos bertemu tapi sayang dengan waktu dan dana yang sedikit kami tidak bisa menyeberang ke negara tetangga yang jaraknya hanya dipisahkan beberapa puluh meter saja.
The Golden Triangle membelah dua sungai yaitu Sungai Ruak dan salah satu sungai terpanjang di Asia Tenggara yaitu Sungai Mekong. Walaupun belum bisa menyeberang, setidaknya aku sudah beberapa puluh meter lebih dekat dan jika ada kesempatan Insya Allah aku akan mengunjungi dan menjelajahinya lagi. Terakhir kali, karena desakan salah seorang turis yang ingin menikmati sunset oleh Bro Thitiwut kami dibawa ke Old City of Chiang Rai yang dimana situs ini terdapat kuil yang dibangun pada masa kerajaan Sukhothai sekitar 1000 tahun yang lalu dan terdapat dinding kota yang membentang disana.
Setelah destinasi itu, selesailah sudah tour yang mengesankan pada hari itu. Kami meminta pada supir untuk diantar ke bandara karena kami akan mengejar pesawat untuk kembali ke Bangkok. Saat yang mengharukan adalah ketika kami berpisah lagi dengan orang-orang yang baru kami kenal hari itu juga dan merupakan suatu kenangan yang tidak akan bisa kami lupakan sampai kapanpun.
Begitulah cerita kami selama jalan-jalan ke Chiang Rai. Chiang Rai, walaupun cuma dua hari kami disana tetapi kota ini telah membuat aku jatuh cinta dan aku berjanji jika aku masih diberi kesempatan oleh Allah aku akan mengunjungi lagi kota yang kalem dan temaram ini. Camkan itu, Chiang Rai!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H