“Oh tidak lagi lah, pak. Saya sudah tobat.”
“Oh begitu. Tadi saya kira kamu dalam keadaan level dua. Kamu bisa tahu segalanya soalnya sih.” Ledek bapak Belanda sambil disambut gelak tawa seisi van.
Tak lama kemudian kami sampai di kebun teh. Suasananya mirip seperti kami ke kebun teh Nglinggo di Kulonprogo tempo hari,hanya saja lebih teratur dan jenis teh yang ditanam adalah teh Oolong. Kami diberi waktu 30 menit untuk berfoto ria disini. Setelah puas, kami segera bergegas ke tujuan selanjutnya dan ini lebih istimewa karena merupakan ikon Chiang Rai, Wat Rong Khun atau White Temple.
Sampai di tempat, aku langsung terperangah. Wat itu walaupun tidak terlalu besar namun warna putih dan arsitekturnya yang khas membuat wat ini sungguh memesona. Wat ini dikelilingi kolam ikan dan kita hanya diperbolehkan mengambil foto di bagian luar wat sedangkan bagian dalam wat kita hanya boleh masuk tanpa mengambil foto. Bagian istimewa lain dari wat ini adalah toiletnya.
Toiletnya didesain dengan gaya arsitektur Thailand yang khas dan didekor dengan warna emas sehingga dijuluki “the most beautiful toilet”. Asyiknya lagi toilet ini gratis pula.
Tempat itu adalah rumah hitam buatan seniman dan ada arsitektur khas Bali disana! Namun sayang masuk kesana harus bayar lagi, sehingga kami mengurungkan niat untuk masuk kedalam. Jadi kami hanya menikmati pemandangan dari luar dan ngobrol ngalur-ngidul bersama turis lainnya. Kemudian sebelum berlanjut ke destinasi selanjutnya kami menyempatkan diri ke Monkey Cave. Seperti namanya, tempat ini berupa sebuah gua dan kuil yang mana dipelihara banyak sekali monyet.
Para wanitanya menggunakan gelang yang akan ditambah tiap 5 tahun sekali dan akan berhenti jika mereka telah menggunakannya selama 40 tahun dan akan dipasang gelang tambahan sebagai tanda bahwa mereka tidak boleh menambah tinggi gelang tersebut. Aku pernah memegang gelangnya dan beratnya kira-kira 500 gram. Bayangkan saja beratnya apalagi jika dipasang dileher. Yang berkunjung kesini semuanya adalah turis asing yang penasaran pada suku eksotis tersebut. Sst, ada sedikit cerita. Ketika kami akan balik ke van untuk ke destinasi selanjutnya, kami bertemu dengan (diduga) serombongan ibu-ibu atau istri pejabat Indonesia tapi kami tidak tahu darimana daerahnya.
Mereka berjumlah sangat banyak, aku taksir sekitar 30 orang. Temanku berbisik dengan keras padaku dengan bahasa Indonesia maksudnya agar tahu kami juga orang Indonesia.