Musim balap Formula 1 tahun 2018 sudah mencapai titik paruh musim dimana seri ke-11 dari 21 pekan balap telah usai digelar. Seri ke-11 di Sirkuit Hungaroring, Hungaria tiga pekan yang lalu melahirkan sang juara bertahan, Lewis Hamilton, sebagai jawara. Aksi balap secara keseluruhan cenderung monoton dan membosankan. Persaingan dengan jarak cukup dekat sebenarnya terjadi antara Sebastian Vettel dengan Valterri Bottas. Namun, Vettel harus "menunggu" sejak putaran ke-40 hingga putaran ke-65 untuk memberikan perlawanan berarti kepada pembalap asal Finlandia tersebut karena ban yang digunakan Bottas sudah mulai "botak" sehingga ia tidak bisa bertahan dengan lebih baik lagi padahal mobil keduanya memiliki performa yang cukup imbang.
Penyebabnya bukan Vettel yang membalap kurang baik dan bukan pula mobilnya dalam keadaan kurang baik. Tetapi minimnya aksi dalam balap Formula 1 salah satunya disebabkan oleh kemajuan teknologi yang sudah mulai merugikan olahraga balap paling mahal di dunia tersebut secara keseluruhan.
Ketika kita melihat mobil F1, hal yang sangat mencolok adalah berbagai lekukan sirip-sirip serta elemen aerodinamika pada tubuh mobil jet darat tersebut. Lekukan-lekukan agresif itu sama sekali tidak dimaksudkan sebagai hiasan pemberi kesan garang pada mobil jet darat. Kompetitif atau tidaknya mobil yang dibuat oleh suatu tim sebagian besar sangat ditentukan oleh berbagai elemen aerodinamika pada mobil tersebut.
Formula 1 bukan hanya kompetisi antar pembalap serta konstruktor mesin, melainkan juga kompetisi nyata bagi insinyur yang bekerja di belakang layar setiap tim untuk membuktikan siapa yang terbaik dalam bidangnya. Tim Formula 1 berlomba-lomba mendesain mobil yang memiliki cengkeraman pada lintasan yang kuat namun memiliki gaya hambat yang minimal. Kedua hal ini harus seimbang sehingga tercipta mobil F1 yang kompetitif.
Aerodinamika yang bagus telah menjadi obsesi utama semua tim F1 sejak dekade 60-an. Seiring berkembangnya ilmu engineering serta meningkatnya kemampuan para insinyur, desain yang dihasilkan semakin kompleks dan memiliki efek yang sangat baik terhadap performa mobil tersebut. Namun di sisi lain desain tersebut membuat balap F1 semakin tidak kompetitif.
Aliran udara pada mobil Formula 1 dimulai dari sayap depan hingga sayap belakang. Aliran udara laminer yang kerap kali disebut dengan istilah "clean air" dibelokkan dengan sedemikian rupa dari depan hingga belakang dengan tujuan agar mobil tersebut dapat melaju dengan gaya tekan yang besar namun dengan hambatan udara yang kecil. Pengaturan aliran udara tersebut akan menimbulkan aliran udara turbulen sesaat setelah melewati sayap belakang mobil yang kerap kali disebut sebagai "dirty air".
Apabila pada lintasan lurus mobil lawan dibelakang sudah dekat, akan terjadi "slipstream effect" dimana mobil lawan mendapat gaya hambat yang minim dari aliran udara dikarenakan aliran udara tersebut telah diterima oleh mobil di depannya sehingga akan menguntungkan sang lawan.Â
Akan tetapi apabila mobil lawan sudah dekat namun terjadi pada tikungan, mobil tersebut akan menghadapi aliran udara turbulen serta "outwash", yakni aliran udara yang diarahkan melebar kesamping mobil oleh sayap depan untuk mengurangi gaya hambat, sehingga sistem aerodinamika pada mobil sang lawan akan bekerja pada kondisi tidak seharusnya yang berakibat pada berkurangnya daya cengkeram pada lintasan serta mengurangi efektifitas sistem pendingin pada mobil.
Fenomena tersebut dialami oleh Sebastian Vettel yang selama 25 putaran menjadi "ekor" dari  Valterri Bottas. Memang, Sirkuit Hungaroring memiliki lintasan yang sempit, jumlah tikungan yang banyak, serta lintasan lurus yang pendek sehingga membuat usaha untuk menyalip menjadi berkali lipat lebih sulit daripada sirkuit lainnya di Kalender Formula 1. Akan tetapi selama itu pula Vettel tidak dapat memberikan perlawanan berarti sedikit pun walau faktanya performa Ferrari dan Mercedes saat ini sebanding. Situasi tersebut membuat jalannya lomba membosankan sehingga cukup mengecewakan bagi penonton yang hadir di sirkuit maupun yang menonton di layar kaca.
Tak heran apabila hal tersebut menjadi salah satu pemicu kerugian bagi organisasi Formula 1 secara keseluruhan dari segi bisnis. Dilansir dari artikel The Independent, jumlah penonton balap Formula 1 pada musim 2017 mengalami penurunan cukup signifikan dari tahun sebelumnya.
Pada musim 2016, Formula 1 ditonton oleh sekitar 390 juta pasang mata di seluruh dunia. Sedangkan pada musim 2017, jumlah penonton Formula 1 mengalami penurunan menjadi kurang lebih 352,3 juta pasang mata atau turun sekitar 9,67 %. Selain itu selama satu dekade belakangan, jumlah penonton Formula 1 mengalami penurunan yang luar biasa signifikan yakni 41,3 %. Hal ini disebabkan salah satunya oleh kian minimnya aksi yang disuguhkan dari tahun ke tahun dan dominasi berlebih dari tim-tim besar seperti Mercedes AMG, Scuderia Ferrari, dan Red Bull Racing.
Terbukti penerapan sistem ini mampu meningkatkan aksi salip-menyalip pada Formula 1. Data dari situs cliptheapex.com menunjukkan bahwa pada musim 2010 sebelum diterapkan DRS, rata-rata jumlah aksi menyalip pada tiap seri sebanyak 28,79. Kemudian setelah diterapkannya DRS pada musim 2011, rata-rata jumlah aksi menyalip naik menjadi 60,63 di tiap serinya atau naik sebanyak 176,86 %.
Tetapi, lonjakan angka tersebut belum dapat memuaskan para penggemar karena aksi menyalip yang dilakukan berkat bantuan DRS dirasa terlalu artifisial. Kemudian setelah pembalap didahului lawannya dengan atau tanpa bantuan DRS, terlalu sulit bagi mereka untuk memberi perlawanan balik karena biasanya setelah lintasan lurus para pembalap akan melahap berbagai macam tikungan yang menimbulkan lain yakni dirty air serta outwash.
Perubahan regulasi diharapkan mampu mengembalikan persaingan ketat di lintasan seperti di dekade 1980-an hingga awal dekade 2000-an. Masa-masa tersebut adalah saat ilmu engineering mengenai aerodinamika di Formula 1 berkembang pesat tanpa mengurangi serunya balapan. Walaupun jumlah aksi salip-menyalip tidak sebanyak sekarang, tetapi jarak antar pembalap tidak sejauh saat ini dan jalannya balapan jauh lebih sulit diprediksi.
Performa mobil jet darat memegang aspek paling penting dalam kompetisi Formula 1 bahkan melebihi pentingnya kemampuan balap seorang pembalap. Baik tidaknya kemampuan balap seseorang akan menjadi percuma ketika mobil yang dikendarai memiliki performa yang kurang kompetitif seperti yang saat ini sedang dialami oleh Fernando Alonso, mantan 2 kali juara dunia Formula 1 yang berjuang di papan tengah dengan mobil McLaren yang memiliki performa medioker.
Guna menyokong kebutuhan akan performa mobil yang selalu lebih baik di tiap musimnya tentu para insinyur di masing-masing tim terus berlomba dalam hal inovasi untuk menciptakan mobil yang kencang tanpa melanggar regulasi yang ada. Aspek engineering dari Formula 1 juga tak bisa dipungkiri merupakan salah satu magnet dari olahraga ini. Akan tetapi, apabila teknologi yang digunakan sudah mengurangi esensi utama dari olahraga ini tentu diperlukan adanya batasan-batasan lebih lanjut.
Status bergengsi Formula 1 sebagai "The Pinnacle of Motorsport" atau ditranslasikan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai "Puncak dari Olahraga Balap" harus bisa dibuktikan dari aksi yang dipertontonkan serta perlombaan teknologi yang dipamerkan. Inovasi teknologi tanpa batasan yang jelas tentu dapat "membunuh" esensi utama dari kompetisi itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H