“Perjalanan ke tanah suci? Kaki ini saksinya, Yang Mulia! Kaki ini memang telah membawanya ke tempat itu, bahkan serombongan dengan kaki-kaki para pendukungnya!”
“Ya, lalu? Apa yang Saudara Terdakwa lakukan disana??”
“Raja Panduta ini hanya melakukan sedikit ibadah Yang Mula, lebih tepatnya berpura-pura melakukan ibadah! Hati ini sebagai saksinya, ia tidak benar-benar melafazkan kalimat suci di hatinya ketika tafakur, atau lebih tepatnya pura-pura bertafakur!”
“Apa yang dilafazkannya??”
“Tidak ada Yang Mulia!!”
“Lalu?!”
“Hatinya kosong!? Yang ada hanyalah bayangan kenikmatan di benaknya tentang bagaimana malam-malam itu ia memeluk, mencumbui dan menyetubuhi Zubaidah! Tidak sekali, tetapi berkali-kali!”
“Ya, ya! Itu sudah kalian berikan kesaksiannya tadi, tolong jangan diulang lagi! Selain berpura-pura tafakur dan berdoa, apalagi yang Saudara Terdakwa lakukan disana??”
“Mereka berhari-hari rapat, bersubahat mengatur siasat pemenangan dan pembagian proyek, merancang strategi untuk memberangus lawan-lawan politiknya untuk melanggengkan kekuasaan!”
“Baiklah! Cukup! Cukup! Dengan demikian sudah jelaslah kini, bahwa apa-apa yang dibantah oleh Saudara Terdakwa tadi tidak lain hanyalah kebohongan belaka! Dengan demikian, sidang kali ini kami skors sementara waktu, menunggu mahkamah yang lebih tinggi untuk menentukan hukuman apa yang tepat dan adil bagi seorang pembohong seperti ini ?!”
“Tunggu Yang Mulia!!” Tiba-tiba, tangan Raja Panduta melambai-lambai kepada Ketua Majelis Mahkamah, seakan ingin mengatakan sesuatu!