“Ya, ada apa lagi??”
“Ini kesaksian kami yang terakhir”
“Ya, silakan!”
“Pena ini, pena ini juga sebagai saksinya, Yang Mulia!!”. Jari tangan Raja Panduta menunjuk-nunjuk ke arah kantongnya sendiri.
“Ya, ada apa dengan pena itu?!”
“Pena ini jugalah yang dipakainya menulis nama dalam identitasnya, ia kurangi satu huruf diantara “u” dan “t” pada kata Panduta..”
“Huruf apa itu??”
“Huru “s”, Yang Mulia!!”
“Wow!! Jadi, lengkaplah sudah kebohongan Saudara Terdakwa?! Kami Majelis Mahkamah juga engkau bohongi? Kau hilangkan satu huruf pada nama Saudara?! Nama Saudara Terdakwa sesungguhnya bukan Raja Panduta, tetapi Raja Pandusta?!”
Dok!! Dok!! Dok!! Palu Ketua Majelis Mahkamah segera menghentikan sementara persidangannya. Tak lama setelah ketukan palu terakhir, ketiga Majelis meninggalkan ruangan, diiring pukulan gong dan lengkingan suara Penjaga Mahkamah.
Para pengunjung satu persatu juga bangkit dari duduknya dan perlahan-lahan meninggalkan ruangan sidang. Tinggalah Raja Pandusta terduduk dalam kesendiriannya! Seketika ruangan menjadi belap gulita. Pelan-pelan dindingnya bergerak semakin menyempit, sehingga hampir menghimpit tubuhnya. Raja Pandusta terdiam, beku tanpa mampu lagi berkata-kata. Ia hanya menemukan dirinya berbungkus lembaran lembaran kain putih, dan bulatan bulatan tanah liat sebesar bola kasti.
Kini tidak lagi terlihat cahaya, tidak pula terdengar kata-kata. Hanya derap langkah para pengantar jenazah diatas pusara terdengar bagai dentuman kaki-kaki kuda. Raja Pandusta merasa belum cukup siap ditinggalkan para pengantarnya dalam hitungan empat puluh langkah!
"TAMAT"
Catatan Penulis: Cerita ini adalah Fiksi belaka, Jika ada kesamaan nama dan kejadian hanya kebetulan saja.
Cerpen Dhimas Soesastro, 30/04/2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H