Mohon tunggu...
Dhimas Soesastro
Dhimas Soesastro Mohon Tunggu... -

Dhimas Soesastro; ini bukan nama sebenarnya, tetapi hanyalah sebuah Nama Pena untuk menulis sastra. Nama pena ini kupilih untuk menyatukan aku,ayah dan kakek.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Senja di St. Petersburg (1)

10 April 2012   09:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:48 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagian Kesatu

JALAN  PANJANG  KE LENINGRAD*

1

*******

Hari ini 10 Nopember 1957, Bung Karno baru saja meresmikan Perguruan Tinggi Teknik Surabaya[1]. Melalui corong RRI suara Bung Karno terdengar sangat meyakinkan, “fase industrialisasi hanya bisa dimenangkan dengan hadirnya tenaga-tenaga ahli teknik yang handal…!” Demikian sepenggal pidato Bung Karno yang terus mengusik fikiran Purwantoro, lelaki paruh baya dari Dusun Wareng yang akrab dipanggil Gus Toro itu memang sedang mengalami pergulatan bathin yang hebat, antara menyetujui atau menolak niat anak sulungya Kuntadi menerima tawaran beasiswa dari kantor Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk meneruskan kuliah teknik di negeri komunis Soviet. Gus Toro memang sangat ingin anaknya maju dan kelak menjadi seorang ahli teknik seperti Bung Karno yang diam-diam dikaguminya. Tetapi ia juga khawatir anaknya akan terpengaruh ideologi komunis dankelak menjadi pengikutnya Aidit.

Lama sekali Gus Toro mempertimbangkan keputusannya tersebut. Ia pun harus sholat tahadjud dan istiqhara setiap malam. Namun, tantangan terbesar justru datang dari Kyai Rozak dan Kyai Munawir. Dua Kyai konservatif yang masih terhitung Kakek dan Paman Kuntadi itu menentang tawaran beasiswa tersebut. Alasannya sudah dapat ditebak, yaitu perbedaan ideologis. Mereka tidak suka dan bahkan sangat membenci komunis. Pengalaman pemberontakan Madiun telah menorehkan luka yang sulit terobati. Saat itu beberapa sahabat karib mereka telah menjadi korban pembantaian keji dari orang-orangnya Muso dan Alimin.

Malam tanggal 10 Nopember adalah batas waktu bagi Gus Toro untuk menentukan sikap. Iapun mengundang Kyai Rozak dan Kyai Munawir, tidak lupa sahabat karibnya Gus Sholeh juga ikut diundang. Sebelumnya Kyai Rozak dan Kyai Munawir sudah kerap berupaya mempengaruhi Gus Toro agar menghalangi keberangkatan Kuntadi ke Soviet. Tetapi malam ini adalah waktu yang telah dipilih Gus Toro untuk meyakinkan hatinya, dan lebih-lebih menyadarkan dua Kyai konservatif itu agar tidak terlalu masuk ke dalam ranah pribadi dan masa depan anaknya, meskipun mereka berdua masih terhitung Kakek dan Paman Kuntadi sendiri.

“Kenapa tidak kamu kirim saja Kuntadi ke Mesir, Toro?, disana Kuntadi dapat memperdalam ilmu agama Islam. Sepulang dari Mesir nanti bisa mengajar di Pesantren saya”Kyai Rozak memecahkan keheningan malam. Suaranya agak parau tetapi telah membuat seisi ruang tamu Gus Toro bergetar. Inilah waktunya, ketegangan baru saja dimulai, persis seperti suasana dalam arena sidang, dan Gus Toro duduk sebagai pesakitannya.

“Betul sekali Gus, saran Kyai Rozak itu ada baiknya kamu pertimbangkan. Ingat, ada tiga hal yang akan diwariskan orang tua setelah ia meninggal, yaitu ilmu yang diamalkan, harta yang disedekahkan, dan anak yang sholeh. Kamu mau menanggung beban dosa sampai liang kubur kalau anakmu pulang-pulang jadi komunis dan menghancurkan orang Islam di kampung kita? Nauzubillah minzalik, tsumma nauzubillah minzalik! Masya Allah Gus, jangan sampai hal itu menimpa dirimu, tidak hanya kamu, tetapi nanti kita semua bisa kena azab!” Kyai Munawir seolah memberikan penegasan atas kata-kata Kyai Rozak dengan dalil sufinya.

Gus Toro diam seribu bahasa. Ia belum menemukan kalimat yang tepat untuk menjawab cecaran dua Kyai konservatif itu. Ribuan kata menari-nari di benaknya, tetapi tidak satupun yang mampu dirangkai menjadi kalimat. Belum sempat Gus Toro membuka suara, dari sebelahnya Gus Sholeh mencoba memberi pendapat.

“Menurut hemat saya, kekhawatiran Kyai-Kyai ini terlalu berlebihan…” Gus Sholeh mengambil jeda, sengaja ditatapnya wajah Kyai Rozak dan Kyai Munawir secara bergantian untuk melihat perubahan air muka mereka, kemudian melanjutkan perkataannya. Kali ini terdengar lebih serius dan penuh dengan nada menggugat.

“Bukankah menuntut ilmu itu juga bagian dari sunnah Kyai? Kanjeng Nabi Muhammad memerintahkan umatnya agar menuntut ilmu sampai ke negeri Cina, dan bukankah Cina itukan berartitermasuk juga Peking yang berfaham komunis seperti Soviet Kyai ?”

Diluar dugaan, kalimat yang semestinya keluar dari mulut Gus Toro itu justeru tersampaikan melalui tenggorokan Gus Sholeh. Asap rokok kelembak bergulung-gulung di udara ruang tamu rumah panggung Gus Toro, baunya khas dan sedikit menyesakkan dada. Diam-diam Gus Toro setuju dengan pendapat Gus Sholeh, iapun seperti menemukan second wind setelah sebelumnya “dipukul” telak oleh Kyai Munawir dengan dalil-dalil sufinya. Tetapi Gus Toro masih belum juga menemukan kalimat yang tepat. Semuanya seperti berhenti begitu saja dan tersangkut di tenggorokannya yang mulai kering karena asap rokok Gus Sholeh.

Mendengar rentetan kalimat tanya bernada menggugat dari Gus Sholeh, Kyai Rozak hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Seolah-olah ia dapat memahami logika “menuntut ilmu ke negeri Cina” yang disampaikan Gus Sholeh. Tetapi mata kasat Gus Toro tidak terpedaya. Ia faham betul bahwa anggukan itu bukan sinyal mengerti, tetapi bahasa tubuh sebagai tanda sebentar lagi akan terjadi bantahan hebat. Ternyata benar firasat Gus Toro, tidak lama setelah anggukan terakhir berhenti, Kyai Rozak mengernyitkan dahinya. Tidak sampai hitungan detik, kernyit dahi Kyai Rozak segera berubah menjadi gelombang tsunami yang siap menelan dan melumat habis argumentasi Gus Sholeh.

“Huhh!! tafsirmu salah besar Leh…! Kalau tidak kuat dasarnya jangan sembarangan memberi tafsir, bid’ah itu namanya!” Sanggah Kyai Rozak agak emosional. Nafasnya terlihat agak tersengal-sengal. Untuk mengendalikan amarahnya Kyai Rozak melanjutkan sruput terakhir kopi hangat racikan Mbok Paini.

Suasana malam itu semakin tegang. Yang terasa hanya bau aroma kopi bercampur asap kelembak yang terus mengepul-ngepul dari mulut Gus Sholeh seperti kereta api uap yang baru saja memacu lokomotifnya. Tidak menunggu lama, segera Kyai Rozak meneruskan bicaranya, kali ini suaranya terdengar berat, tampak jelas ada sesuatu yang ditahannya, rasa marah!.

“Sholeh, dengar baik-baik ya.. Ini pelajaran tafsir yang berharga untuk kamu. Apa yang dimaksud negeri Cina oleh Kanjeng Nabi bukanlah harfiah-nya RRT yang komunis itu!. Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina, maknanya adalah, kita manusia, umatnya Kanjeng Nabi Muhammad ini diminta terus belajar dan menimba ilmu sampai kapanpun dan dimanapun, meski tempatnya sangat jauh.…”

“Lha iya toh Kyai…, justeru karena itu.. saya sangat setuju dengan tafsir Kyai. Bukankah Soviet itu juga jauh..? malahan bila diukur dari Pesuruan mungkin lebih jauh ke Soviet daripada ke Cina…” Gus Sholeh masih punya nyali untuk membantah Kyai Rozak yang sudah terlihat marah. Seolah ia faham betul jarak geografis antara Cina dan Soviet bila diukur dari Kota Pasuruan. Untungnya Kyai Rozak juga tidak tahu jarak sebenarnya. Menjaga gengsi, Kyai Rozak mencoba menahan, tidak bereaksi. Demikian juga Kyai Munawir. Dalam hati Gus Toro menahan tawa geli…

Suasana kembali hening sejenak, Kyai Munawir terus memutar-mutar tasbeh kayu beraroma cendana yang dipegangnya. Mulutnya mengeluarkan suara desis, lamat-lamat terus mengulang kalimat zikir. Melihat suasana sudah mulai panas Kyai Munawir angkat bicara.

“Astaghfirullah! Tidak baik berdebat seperti itu Kyai! Kamu juga Leh, tidak patut mendebat Kyai sepuh dengan cara kurang sopan seperti itu! Kamu kudu ngerti Leh, perdebatan itu mendekatkan kita pada jurang perpisahan dan kehancuran! Saat ini kita seharusnya menjaga persatuan dan guyub rukun untuk melawan komunis ?!”

“Astaghfirullahulaziem!”

“Astaghfirullah!”

Gus Sholeh mengelus dada, dan Kyai Rozak menarik nafas dalam-dalam. Mereka melafalkan kalimat “minta ampun”dalam waktu yang hampir bersamaan.

“Terima kasih Kyai, meskipun saya lebih tua tetapi Kyai berani mengingatkan saya, saya menerimanya” Kyai Rozak merasa tersentak sepertibaru terbangun dari tidur pules.

“Maafkan saya Kyai, saya khilaf. Sebenarnya saya juga tidak tahu, mana yang lebih jauh antara pesuruan ke Cina atau keSoviet, tadi itu saya cuma ngarang”

Kyai Rozak dan Kyai Munawir melotot dan tersenyum getir mendengar pengakuan polos dari Gus Sholeh. Anak kemarin sore itu sudah sekian kali memperdaya mereka.

Gus Toro mencoba mengambil peluang. Inilah saat yang tepat baginya untuk membawa Kyai-Kyai Sepuh itu ke pembicaraan inti.

“Ehm.. ehm…, boleh aku bicara Kyai Rozak..?”

“Silakan.., silakan Toro…”

“Begini Kyai Rozak, Kyai Munawir dan Gus Leh.., Kyai Sepuh sudah tahulah isi dada Gus Toro ini. Walaupun aku ini tidak terlihat brangasan melawan komunis, tetapi sejak dulu kitakan berada dalam garis perjuangan yang sama. Untuk itu rasanya tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan kepergian Kuntadi menimba ilmu ke Soviet”.

“Ya.., kami sangat mempercayaimu Toro” Kyai Munawir mengamini.

“Tapi..,kenapa kamu mempertaruhkan keyakinan tauhid Kuntadi dengan melepaskannya ke Soviet? Itulah yang tidak masuk akal di benak saya Toro”. Sergah Kyai Rozak, suaranya sudah tidak bergetar lagi seperti ketika marah dengan Gus Soleh. Kini nada yang keluar dari mulut Kyai Sepuh itu terasa lebih sejuk, tetapi bagi Gus Toro tetap saja menohok telak di ulu hatinya.

“Aku itu tidak sefaham dengan idiologi komunisnya, tetapi aku mengagumi ilmu dan teknologinya” Terhenti sejenak, Gus Toro menyapukan tatapannya ke wajah para Kyai Sepuh dan Gus Sholeh. Bahasa tubuhnya mengisyaratkan harapan persetujuan dari mereka.

“Boleh saya melanjutkan Kyai?”

“Silakan.., silakan diteruskan Toro..” Kyai Rozak mengangguk.

“Ya Gus, silakan diteruskan, sekarang giliran kamu berbicara, kami yang tua-tua ini giliran yang mendengarkan”. Kyai Munawir menimpali. Sementara itu Gus Sholeh hanya memberikan isyarat dengan tatapan matanya.

“Aku kira apa yang disampaikan Gus Leh tadi itu benar adanya. Ibarat pepatah, orang bijak tidak akan melihat siapa yang berbicara, tetapi melihat apa hakekat materi yang dibicarakan. Demikian juga halnya dengan rencana kepergian Kuntadi ke Soviet, marilah kita melihat apa yang akan dilakukan Kuntadi di sana, apa yang akan diperolehnya di sana? Bukan soal siapa atau negara mana yang dijadikan tujuannya. Sekalipun Kun belajar di Mesir, bukan jaminan sepulang dari sana dia tidak akan jadi komunis!, Banyak sekali orang yang faham agama Islam juga sekaligus memilih menjadi komunis atau setidak-tidaknya memilih jalan sosialis. Tentu Kyai sangat faham bagaimana sosok dan sepak terjang Haji Misbach? Bukankah Haji Misbach itu juga menguasai ilmu agama seperti Kyai Sepuh? Mohon Kyai dapat mengerti tujuanku yang sebenarnya. Biarkanlah Kuntadi menjadi seorang teknokrat muslim yang kelak akan membawa harum nama bangsa kita di negeri orang.”

“Ya..ya..ya…, eemmm… sebenarnya kami akan lebih bisa menerima dengan hati lapang, asal saja ada jaminan Kun tidak akan jadi Komunis setelah pulang dari Soviet” Kyai Rozak terlihat mulai melunak dan menawarkan kompromi.

“Boleh Saya usul Kyai Rozak?”

“Silakan Sholeh, apa usul kamu? Tapi jangan ngawur lagi seperti tadi ya?!”

“Begini Kyai, ibarat orang mau jadi manten, opo yo ndak sebaiknya kita tanyakan saja pada anaknya? Kalau dia memang senang belajar di sana, lha kita mau bilang apa..? Opo yo mau dicegah? Mau di kerangkeng? atawa mau di pasung sekalian? Jalan tengahnya adalah Kun harus mau bersumpah atas nama Allah tidak akan jadi komunis”

“Kali ini idemu sangat bagus Leh.., saya setuju dengan gagasanmu itu” Kyai Rozak setengah memuji Gus Sholeh.

“Saya juga setuju Kyai, sebaiknya kita panggil saja Kuntadi kemari. Kita tanyain dia, asalkan mau bersumpah tidak akan jadi komunis, kita lebih tenang melepas kepergiannya ke Soviet, bukankah begitu Toro” Kyai Munawir menoleh ke wajah Gus Toro, tatapannya penuh harap. Gus Toro tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil sambil setengah tersenyum.

Jarum jam sudah menuju ke angka sebelas malam. Kini suasana sudah semakin kondusif. Dari kamarnya, diam-diam Kuntadi terus mengikuti pembicaraan sengit para sesepuh desanya itu. Ia belum melepas pecis dan sarungnya ketika berjalaan membungkuk-bungkuk menuju ruang tamu rumahnya, tempat para Kyai sepuh dan orang tuanya meributkan rencana kepergiannya ke Soviet.

“Sini le.., duduk di sebelah Romo.., tentu kamu sudah mendengar apa yang kami bicarakan tadi..?”

“Inggih Romo, saya tidak sengaja mendengarnya dari kamar tadi…”

“Monggo.., silakan siapa yang akan memulai..? Sekarang Kuntadi sudah berada di hadapan kita, sebagai ayahnya, aku berusaha bijaksana, kuserahkan keputusan sepenuhnya kepada Kuntadi”

“Inggih Romo…”

“Kun, kami ini bukan tidak setuju dengan rencana kepergianmu menimba ilmu ke negeri Soviet…, kami hanya khawatir kamu akan terpengaruh dengan idiologi komunisnya.” Kyai Munawir memulai dialognya dengan Kuntadi.

“Inggih Pak De…, Kun bisa memahami kekhawatiran Pak De dan Romo Sepuh”

“Apakah hatimu sudah mantap untuk meneruskan pendidikan ke negeri Soviet, Kun?”

“Sudah Pak De”

“Kamu tahu kalau Soviet itu biangnya komunis?”

“Faham pak De”

“Kamu tahu apa itu Komunisme”

“Sejak kecil saya tidak suka perihal politik, jadi saya kurang tahu apa itu komunisme Pak De. Saya hanya tahu kalau beberapa kerabat Romo mati dibunuh Komunis saat terjadi pemberontakan di madiun beberapa tahun lalu”.

“Jadi kamu juga tidak suka dengan komunis?, selain itu kamu tahu apa bahayanya komunis?”

“Yang saya tahu hanya itu Pak De, tukang bunuh orang! Tetapi saya tidak faham mengapa mereka harus membunuh.. dan jujur saja saya tidak ingin tahu alasan mereka membunuh. Saya hanya ingin belajar saja di Soviet. Saya ingin sekali menjadi insinyur seperti Bung Karno Pak De..”

“ Eiits… tunggu.. tunggu.., jangan sembarangan mengidolakan Bung Karno Kun, meskipun ia telah membuat Indonesia merdeka tetapi belakangan ini Bung karno lebih dekat kepada komunis daripada kepada tokoh-tokoh Muslim..” Kyai Rozak menyela.

“Mohon maaf romo sepuh, saya sama sekali tidak mengidolakan politik Bung Karno, tetapi saya mengagumi kepintaran Bung Karno dalam hal penguasaan ilmu tekniknya”.

“Lalu bagaimana kamu bisa memisahkan rasa kagummu kepada Bung Karno dari sisi politiknya Kun?”

“Betul Kun, rasanya sulit menempatkan rasa kagum pada seseorang secara terkotak-kotak seperti itu?, kalau kamu mengagumi Bung Karno berarti kamu mengaggumi sosoknya secara keseluruhan?!” Kyai Munawir menimpali.

“Begini Romo Sepuh dan Pak De… saya mohon maaf kalau dianggap lancang dan menggurui…”

“Ya.. ya.. teruskan, bagaimana penjelasanmu Kun?”

“Inggih Romo Sepuh…, begini.. Seorang ahli tukang batu tidak memilih-milih apakah dia akan membuat batu untuk orang komunis atau untuk orang yang anti komunis seperti Romo Sepuh, Pak De Nawir dan Romo Sholeh ini…., begitu juga seorang Insinyur ahli pembuat gedung, ia tidak perduli siapa orang yang akan masuk ke gedungnya, apakah ia berhaluan komunis, berhaluan atheis, atau orang gila sekalipun”

Diam-diam Kyai Rozak mengagumi kecerdasan Kuntadi. Ia semakin yakin kalau Kuntadi nanti tidak akan terpengaruh idiologi komunis di Soviet. Tetapi hasratnya untuk menguji Kuntadi masih menggebu. Dilontarkannya lagi pertanyaan kritis kepada Kuntadi..

“Kun, logika berfikirmu itu sudah bagus, tetapi bagaimana kamu bisa menjelaskan hubungan tukang batu dan tukang bangunan dengan idiologi komunis?”

“Ya, jelas tidak ada hubungannya, contohnya, Istana Presiden, siapa saja boleh masuk disitu. Apakah karena kebetulan yang membangun seorang insinyur muslim kemudian kalau ada orang Komunis masuk gedungnya akan runtuh? Kan tidak Romo… Seorang insyinur bangunan itu hanya tahu bagaimana membuat gedung yang aman, kuat, tahan lama, dan enak dipandang mata. Ia tidak mau tau apakah nanti yang menempati komunis atau atheis…“

“Hebat kamu Kun!!” persoalan yang sangat sulit bisa kamu jelaskan dengan sederhana dan mudah dipahami.., bukan kah begitu Kyai?” Gus Sholeh memuji kepiawaian Kun dalam bertamsil, sambil ia sesekali menghisap sisa rokok kelembak ditangannya. Asap terus membumbung ke udara menebarkan aroma tembakau bercampur bau mulut Gus Toro.

“Ya.. ya..ya.., kini kami semakin yakin kalau kamu tidak akan terpengaruh komunis di Soviet Kun… bagaimana Kyai Rozak?”

“Hmn.. ya, saya bisa memahami pendapat Kyai Munawir. Kini saya sudah agak bisa meyakini Kun… Kemapuannya bermantiq akan memagari dia dari pengaruh-pengaruh komunis di Soviet..”

“.. Apakah berarti sekarang kita sudah sampai pada pemberhentian, dan boleh mengambil satu kesimpulan Kyai?” Gus Toro melihat jam, sudah hampir setengah satu pagi.

“Sekarang sudah jelas Kyai, kita semua sudah tahu bagaimana tekad Kuntadi. Kita juga sudah tahu bagiamana idealisme Kuntadi. Menurut saya, tidak perlu lah sumpah-sumpahan segala… nanti malah menjadi beban bathin…” Gus Sholeh menarik usulannya yang sebelumnya sempat disetujui Kyai Rozak.

“Baiklah.. dengan penjelasan Kuntadi barusan, saya sedikit lega.. dan meski masih sedikit ragu tetapi dihati ini telah tumbuh setitik keyakinan.. kali ini saya ingin memberikan kesempatan kepada Kun untuk membuktikan ucapannya.. dan saya yakin Kyai Munawir juga sependapat dengan saya…”

Kyai Munawir tidak mengeluarkan sepatah katapun. Ia hanya mengangguk seraya tersenyum. Gus Sholeh benafas lega. Sekarang giliran Gus Toro yang dirundung gelisah dan Gundah. Dalam diamnya ia membayangkan betapa sepinya kalau Kuntadi sudah pergi. Tidak ada lagi teman bercengkrama dan berdiskusi tentang masa depan keluarga. Kuntadi memang berbeda dengan Rahmad yang lebih banyak menghabiskan waktunya di luar, berdakwa bersama Kyai Munawir dan Kyai Rozak sambil merapatkan barisan melawan komunis. Inilah pertama kali Gus Toro merasa kehilangan. Hampir saja ia tidak kuasa menahan rembesan air matanya.

Suasana mendadak hening. Bayangan Para Kyai sudah hilang ditelan kegelapan. Malam itu pukul satu dinihari, Gus Toro merebahkan tubuhnya yang mulai termakan usia itu diatas dipan kayu. Kuntadi sudah terlebih dahulu lelap dikamarnya. Sisa-sisa bau rokok Gus Sholeh di ruang tamu masih tercium dan ikut mengantar Gus Toro pada mimpi-mimpi masa depannya yang mulai renta. Z..z..z..z z..z..z..z..... z.. z.. z..... z.. z.z.. z...

bersambung.....

[*] Novel Karya; Dhimas Soesastro, SENJA di St. PETERSBURG, Bagian I: Jalan Panjang ke Leningrad

[1] Cikal bakal ITS Surabaya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun