Akhir-akhir ini warganet seoalah tak asing lagi membicarakan kasus dengan hastagh bertuliskan #Justiceforaudrey. Kasus yang begitu menarik perhatian ini adalah terjadinya pengeroyokan terhadap siswa smp yang bernama audrey, oleh sekolompok siswi SMA di Pontianak. Saat pertama kali mendengar berita ini hal pertama yang saya rasakan adalah miris, jelas apalagi sesama perempuan dengan membayangkan kejadian yang menimpa gadis tersebut. Namun disini saya tidak ingin menjadi warganet yang hanya melihat dari satu sisi saja, walaupun berita dengan cepatnya tersebar luas hampir diseluruh media sosial, namun rasanya berita-berita yang semacam ini hendaknya bisa kita sikapi dengan bijak.
Yang akan saya bahas disini bukan tentang bagaimana terjadinya kasus ini atau tentang siapa yang salah,namun lebih kepada dampak yang diakibatkan oleh adanya kasus tersebut. Jika kita sempat membaca beberapa komentar warganet di akun media sosial baik itu instagram, twitter, maupun yang lainnya maka kata-kata yang muncul cenderung bukan bersimpati, tetapi malah terkesan adu hujat untuk menghakimi pelaku.
Apakah hal ini salah satu cara untuk memberi empati pada seseorang dalam membela korban?
Mungkin dalam meluapkan emosi beberapa orang lebih memilih untuk melontarkan lewat tulisan-tulisan di media sosial, namun yang sangat disayangkan adalah penggunaan kata-kata kasar dan cenderung tidak pantaslah yang sering muncul. Sejumlah penelitian telah melihat efek dari melampiaskan kemarahan, terutama menyatakan kemarahan di media sosial. Menurut penelitian, melampiaskan emosi tidak memiliki keuntungan, bahwa orang-orang yang senang curhat secara online atau mengirim tweets marah hanya untuk melepaskan amarah mereka atau orang yang mencurahkan emosinya secara online tidak akan bahagia setelah melakukannya. Mengontrol amarah memang bukan hal yang mudah. Apalagi, kehadiran media sosial seoalah memancing seseorang untuk meluapkan amarahnya begitu saja di sana. Beberapa orang merasa puas setelah meluapkan emosinya di media sosial. Padahal, dibalik hal tersebut ada kemungkinan untuk merasakan penyesalan dan timbul dampak buruk lainnya setelah meluapkan amarah di media sosial. Baik dunia maya maupun nyata, diperlukan sikap dan keputusan yang bijak untuk meluapkan amarah dalam diri sendiri.
Saat kita tau kasus audrey ini mencuat, ramai warganet saling berkomentar menanggapi kasus ini, mulai dari menghina, mengacam, sampai pada teror-teror yang diberikan pada pelaku yang notabene juga masih berada di bawah umur. Sampai pada beberapa hari akhirnya diadakan klarifikasi oleh seluruh pelaku penganiayaan.Â
Sekarang kita lihat, muncul lagi hashtag yang bertuliskan #Audreyjugabersalah. Hal ini menandakan begitu cepatnya warganet dalam berpindah haluan dari yang semula begitu menggebu dalam luapan emosinya terhadap pelaku sekarang terkesan berpikir dua kali dalam menanggapi kasus ini mengingat kedua belah pihak masih dikatakan berusia belasan tahun yang tentunya masih dalam pengawasan orang tua dalam melakukan tindakan apapun. Inilah yang saya maksud di awal tadi bahwa ada kemungkinan untuk menyesal dan timbul dampak buruk lainnya setelah meluapkan amarah di media sosial.
Dalam kasus ini kita belajar bahwa menilai sesuatu dari satu sisi apalagi sampai menghakimi bukanlah tindakan yang tepat. Gegabah dan arogan sepertinya itu masih menjadi problem penting dalam tindakan bersosial media. Tapi mau bagaimanapun tindakan yang dilakukan oleh pelaku memang tidak bisa dibenarkan apapun alasannya pasalnya penganiayann adalah tindakan melanggar hukum yang harus dipertanggungjawabkan. Sebagai konsumen sosial media yang baik hendaknya kita dapat bijak dalam menyikapi hal-hal semacam ini, jangan mudah tersulut emosi apalagi berkedok simpati padahal hanya ingin dikira update dan ikut meramaikan kasus yang sedang panas-panasnya. Maka saat akan "berkicau" di sosial media kita juga harus cerdas dalam melakukannya. Disini saya akan sedikit berbagi tips supaya kita  tidak kaku dalam menerima berita-berita viral, diantaranya yaitu:
1. Tidak terpaku dalam satu sumber
Saat kita tahu suatu isu atau berita, coba aja kita cari-cari dulu dari akun atau tulisan-tulisan yang lain, sama nggak sih kira-kira? Nah jika ada perbedaan atau ulasan yang satu dengan yang lain maka perlu dipertanyakan, berita yang sebenarnya itu seperti apa sih? Jadi kita nggak asal langsung komen-komen padahal cuma baru satu sumber saja.
2. Jangan terlalu fanatik dengan hashtag
Misal kita tahu yang lagi viral dan menjadi tranding adalah hashtag A (#A) lalu kita ikut-ikutan membuat status atau komenan yang mencantumkan hashtag tersebut, padahal bisa jadi kadang kita tidak terlalu paham sebenernya hashtag itu fungsinya digunakan untuk apa, kesannya jadi asal ikutan saja.
3. Kurangi follow akun-akun musiman
Maksud akun akun musiman ini adalah akun-akun yang sengaja dibuat oleh seseorang dengan maksud agar isu ini semakin viral dan terus diperbincangkan oleh warganet, akhirnya seolah kita diberi kesempatan untuk berkomentar panjang lebar dan saling melempar komentar antara satu dengan yang lain.
4. Pilih teman diskusi
Banyak-banyaklah berteman dengan orang-orang yang berpikiran terbuka, diketahui wawasan dan keilmuannya (kredibel) ataupun dengan orang-orang yang selalu memberikan nuansa positif. Karena jika salah pilih teman diskusi bisa jadi bukannya tau kebenaran, tapi malah semakin hanyut dalam isu-isu tersebut.
Inti dari semua itu adalah, bijaklah dalam bermedia sosial. Gunakan sebagaimana fungsinya. Yaitu untuk menjalin silaturahmi dan menambah wawasan. Jika ada hal-hal yang dapat menggangu stabilitas emosi kita, maka lebih baik hindari. Semua itu memang hak kita sebagai pengguna. Kitalah yang menentukan akan kita apakan media sosial kita, hanya saja kita harus ingat bahwa segala sesuatu yang kita ambil dan kita pilih, ada konsekuensinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H