Post-Truth Politics dan Ancamannya pada Demokrasi
Perkembangan internet telah mengubah pola komunikasi dalam masyarakat modern secara signifikan. Internet telah mentransformasi komunikasi tradisional yang tadinya hanya sebatas pada model satu ke banyak pendengar atau satu ke satu pendengar, menjadi jauh lebih meluas, beragam, multi-interaktif, dan cepat. Pada masa lalu, kecenderungan pola komunikasi hanyalah dari satu ke banyak pendengar atau satu ke satu pendengar, namun seiring berjalannya waktu, pola komunikasi modern telah melampaui keterbatasan tersebut dan mencapai bentuk komunikasi dari banyak pengirim ke banyak penerima.
Perubahan ini sebagian besar disebabkan oleh perkembangan media sosial, yang pada mulanya hanya dianggap sekadar alat komunikasi, tetapi kemudian bertransformasi menjadi representasi dari ruang publik di dunia nyata. Media sosial kini bahkan telah menggantikan, bahkan melampaui, fungsi ruang--ruang publik konvensional seperti taman, jalanan, dan sekolah. Namun keterbatasan ruang publik di dunia nyata, misalnya dari segi kapasitas dan waktu, telah diatasi oleh media sosial yang memungkinkan penyimpanan dan penyebaran informasi dalam skala besar secara instan.
Meski media sosial memberi manfaat dalam efisiensi dan aksebilitas, ia juga memiliki sisi negatif. Informasi keliru, manipulatif, dan provokatif kini makin mudah menyebar dan bahkan dianggap representasi kebenaran oleh sebagian orang. Melalui kekuatan teknologi informasi, media sosial memberi panggung bagi siapa saja untuk menghasilkan dan menyebarkan informasi tanpa batas, bahkan melampaui media arus utama yang dulunya diyakini sebagai sumber informasi paling andal.
Konsep post-truth menjadi sangat relevan pada era ini, di mana faktor emosional dan keyakinan pribdadi lebih berperan ketimbang fakta-fakta objektif dan membentuk opini publik. Algoritma media sosial cenderung menciptakan "ruang" di mana seseorang terjebak dalam lingkaran informasi yang sejalan dengan prefensi dan keyakinannya, sehingga semakin sulit membedakan fakta dan fiksi.
Dalam konteks politik, fenomena post-truth dan ruang gema dimanfaatkan aktor politik demi mencapai tujuan mereka. Kampanye politik seperti Donald Trump pada Pemilu Presiden AS 2016 dan referendum Brexit di Inggris berhasil memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan informasi yang belum tentu seluruhnya berdasarkan fakta objektif.
Di Indonesia, post-truth dan ruang gema juga sudah merasuki ranah politik dan masyarakat. Konflik sosial, kerusuhan, dan polarisasi politik di media sosial kian marak terjadi, menciptakan ketegangan di antara pendukung tokoh politik yang bersebrangan. Maka, pemahaman mendalam soal peran media sosial dalam membentuk opini publik dan dampaknya pada stabilitas sosial menjadi krusial untuk dicermati dan diatasi di era ini.
Facebook menempati posisi sentral sebagai media sosial utama
Dimana digunakan dalam kontestasi Jokowi versus Prabowo, dibandingkan Twitter ataupun Instagram. Facebook menawarkan fitur seperti akun pribadi, halaman penggemar, dan grup untuk berinteraksi.
Melalui akun pribadi, individu dapat mengekspresikan diri dan menerima tanggapan dari teman teman mereka. Sementara halaman penggemar dan grup memiliki fungsi serupa sebagai wadah orang-orang dengan preferensi dan ketertarikan yang sama. Meski halaman penggemar lebih bersifat satu arah dan berfungsi sebagai sarana promosi.
Artikulasi Facebook dalam membentuk opini publik terlihat dari banyaknya grup pro kontra Jokowi-Prabowo dengan anggota hingga ratusan ribu orang. Kondisi ini berpotensi memperkokoh fenomena post-truth dalam dinamika politik Indonesia yang kian memanas.
Dalam memahami fenomena post-truth, jenis pesan yang diunggah di media sosial menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan. Konten berupa meme, video, foto, ataupun audio lebih berpotensi menyentuh aspek emosional audiens dibandingkan teks verbal semata. Hal ini karena unsur visual dan audio mampu menggugah perasaan dan membangkitkan reaksi psikologis yang lebih kuat. Apalagi jika dipadukan dengan narasi bombastis yang provokatif.
Di era kebanjikan informasi seperti saat ini, keterbatasan waktu juga membuat orang lebih menyukai konten yang mudah dan cepat dicerna ketimbang wacana panjang berbasis teks. Meme atau video pendek dengan pesan sederhana tetapi menohok menjadi alternatif yang disukai karena tingkat konsumsi yang efisien sekaligus efektif dalam membentuk opini seseorang.
Mengelola aspek emosional juga amat penting dalam menyikapi konten bermuatan ujaran kebencian, misinformasi, dan kampanye hitam yang kerap mencuat di media sosial. Konten semacam ini berpotensi memicu konflik sosial dan meningkatkan animositas antarkelompok. Manakala pendukung tokoh politik tertentu saling menyerang tanpa didasari logika dan dipenuhi unsur kebencian, maka terbentuklah lingkaran setan permusuhan yang sulit untuk diputus.
Dalam kontestasi di Facebook, kelompok pro-Prabowo tampak lebih rentan terhadap post-truth lantaran dominasi meme yang rawan dimanipulasi. Sementara pro-Jokowi lebih banyak menggunakan berita atau wacana, meskipun belum tentu seluruhnya objektif dan factual.
Maka dalam memahami dampak internet dan media sosial pada pola komunikasi kontemporer, khususnya dalam ranah politik, penting dicermati peran Facebook sebagai platform utama untuk penyebaran informasi, pembentukan opini publik, dan fasilitator fenomena post-truth serta acho chamber.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI