CULTURE SHOCK PENGENDARA DI PADANG
Sejak lahir sampai umur saya genap 18 tahun, saya tinggal di Jawa Barat, tepatnya Bekasi. Ayah dan ibu saya asli Sumatra Barat dan beberapa tahun sekali melakukan perjalanan pulang kampung menggunakan mobil. Dan ketika berada di kampung halaman, biasanya saya hanya duduk di atas mobil tanpa melihat jalan, jadi saya tidak tahu menahu tentang kondisi pengendara di daerah Padang ini. Jadi jika saya pulang kampung, saya akan menceritakan yang baik-baiknya pada teman-teman. Ketika kuliah, saya memilih untuk berkuliah di Sumatra Barat, Padang. Saat inilah waktu yang saya gulati dengan para pengendara motor Padang, jarang orang penyabar dalam berkendara.
Culture shock pertama saya ketika di Padang ini bukan tentang makanan, tempat ataupun suasananya, melainkan pengendara motor, mobil, angkot, truk dan kendaraan lainnya. Kejadian culture shock pertama saat naik angkot berwarna hijau, saya senang sekali awalnya, rasanya seperti, “Wah, akhirnya nyobain angkot padang!” tapi setelah turun dari angkot, saya keliyengan, pusing tujuh turunan dan istigfar setiap detiknya. Kenapa? Pak supirnya ganas sekali, kebut-kebutan, ada motor? Salip! Ada yang mau nyebrang? Gas terus! Sampai dalam hati saya membatin, “Ya Allah, bapaknya lagi nggak mood atau gimana, kok, galak banget ngendarainnya.” Padahal setelah dipikir-pikir lagi, kalau tidak sebrutal itu dalam berkendara, bapaknya tidak mungkin tipes, kan? Lantas kenapa harus kebut sekali.
Belum lagi dengan angkot di malam hari yang sepperti tempat diskotik, lagu sekencang-kencangnya, lampu kelap-kelip, stela jeruk dan berbagai stela terlihat membuat saya tidak berani menggunakan angkot di malam hari. Tidak jarang saya lihat angkot yang berkonflik dengan pengendara lainnya, beberapa waktu lalu saya melihat supir angkot sedang beradu debat dengan dua orang pengendara motor yang tidak sengaja tersenggol, katanya kkarena angkot berhenti secara mendadak. Saya setuju dengan hal itu, karena tak jarang ketika saya mengendarai motor, berkali-kali angkot yang berbeda tiba-tiba saja berhenti tanpa mempergunakan sen kanan ataupun kiri, sudah gitu wajahnya tanpa rasa bersalah angkuh sekali, untung saja tidak tersenggol bahkan sampai terjatuh.
Culture shock kedua ketika saya mengendarai motor sendirian di Padang. Saya percaya diri sekali karena kepemilikan sim motor yang padahal hanya sim tembak itu, tapi yang penting sama sudah punya sim. Jadilah saya berani berkendara, serba lengkap tanpa kurang sedikitpun. Kebetulan kost saya saat itu berada di pinggir jalan besar, jadi ketika mengeluarkan motor, Ya Allah, kok sudah di klakson saja padahal saya tidak salah apa-apa. Ditempat tinggal saya, klakson biasanya digunakan untuk menyapa dan keadaan genting saja, jadi agak geer ketika diklakson, saya pikir ada yang menyapa saya, ternyata saya dimarahi secara tidak langsung. Jantung saya hampir loncat mengendarai motor di sini, saya sedang santai, diklakson sama pengendara belakang, saya terlalu kencang, tetap saja ada yang berusaha menyalip, saya ini serba salah atau gimana, sih?
Belum lagi dilampu lalu lintas, jelas-jelas lampu masih merah, tapi klakson bertebaran, rasanya mau teriak, “Ya Allah bapak-ibu, masih merah! Sabar!” Saat lampu kuning mendekati hijau juga klakson lebih ganas lagi, padahal anak di dalam kandunganpun tau untuk segera jalan, masa iya lampu hijau tapi diam ditempat? Kan, tidak mungkin. Tak sedikit juga pengendara motor yang berhenti melewatj batas lampu lalu lintas, terlebih di bypass, ada juga yang hampir di tengah jalan saking tak sabarannya. Menurut saya itu sangat membahayakan, bukan hanya untuk pelaku tak sabaran itu, pengendara lain yang menaati lalu lintaspun bisa terkena batunya jika ada yang melanggar seperti itu. Adapun lampu belum benar-benar hijau, tapi beberapa pengendara motor sudah berani melewati lampu lalu lintas, kadang ngeri juga karena takut terjadi kecelakaan, kalaupun ditegur, saya takut malah dimarahi dan jadi saya yang salah.
Kalau ingin menyebrang juga sulit sekali, tidak ada yang mau mengalah, saya tidak tahu ini terjadi pada yang lain atau tidak, atau mungkin karena muka saya nyebelin makanya tidak dikasih sebrang, saya juga tidak melakukan riset yang banyak. Tapi setiap saya nyebrang, bawaannya istigfar terus, mau langkah dikit, swing! Dibabat habis sama pengendara motor, langkah dikit lagi, swing! Diserobot oleh angkot ugal-ugalan, elus dada kerjaan saya di Padang ini.
Hingga sehari-hari saya adalah mendoakan pada pengendara untuk diberikan kesabaran yang lebih pada Tuhan Yang Maha Esa. Pendapat saya, berkendara harusnya sabar, bisa menempatkan diri dan utamakan orang yang ingin menyebrang. Tapi anehnya, semenjak saya di Padang, saya jadi orang yang tidak sabaran juga ketika berkendara, rasanya ingin balas dendam saja terus. Tapi itu awal saja, kok, sekarang sudah jadi anak baik lagi.
Kelalaian dalam berkendara itu bisa menjerumuskan siapapun disekitar untjk terjadinya kecelakaan, terlebih pada pengendara yang angkuh dan tidak mau mengikuti aturan yang ada. Biarlah jika itu akan mencelakakan diri sendiri, tapi ini juga mencelakakan orang yang tidak brrsalah. Padahal berkendara tidak perlu terlalu kencang, santai-santai saja asal selamat sampai tujuan, kalaupun terburu-buru, harusnya lebih pandai lagi mengatur waktu. Kasus ini dibutuhkan kesadaran oleh masing-masing orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H