Para pendemo ini memang gila mereka benar benar hanya ingin merusak bukan untuk menyampaikan suara, bahkan semakin malam semakin banyak yang datang.Â
Memangnya apa tujuan mereka yang sebenarnya? Apakah mereka benar benar tersakiti karena pengurangan karyawan? Bukankah memang sudah seharusnya kita mempersiapkan masa depan? Bukankah seharusnya mereka harus lebih mempersiapkan diri agar bisa bersaing nantinya? Aku tidak tahu mana yang benar.Â
Padahal kecerdasan adalah sesuatu yang dapat diasah, ya memang kecerdasan bisa menjadi belati bermata dua jika kita tidak siap mengantisipasi nya. Tapi tetap saja mereka merasa paling dirugikan karena kecerdasan ini, walaupun mereka sambil ikut menikmati manfaatnya.Â
"lo bengong aja dari tadi, merasa paling bersalah?"
 "tenang aja kali, bukan lo doang yang ngerencanain ini" Teriakan santai mentor ku.
Akhirnya para demonstran dibubarkan oleh polisi dan status di luar gedung dinyatakan aman, aku bergegas untuk pergi dari kantor dan mengendarai mobil futuristik ku ke pusat kota. Sekedar menenangkan hati, aku memang sering sekali ke pusat kota sendirian dan berjalan melewati gedung gedung pencakar langit.Â
Kali ini aku memperhatikan betul bagaimana kecerdasan buatan ini sangat mempengaruhi kehidupan, di kanan kiri ku banyak orang yang sangat bergantung pada handphone nya padahal sedang di jalan, papan papan videotron yang sangat futuristik juga terpajang di mana mana, mobil dan kendaraan lain yang menggunakan listrik juga di pakai dimana mana.Â
Hujan tiba tiba turun dan langsung deras, mungkin merupakan jawaban dari gumpalan awan hitam tadi pagi. Ternyata memang benar perkataan ku tadi pagi ada seseorang yang akan tersenyum di atas kesedihan orang lain, dan orang itu adalah aku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H