Mohon tunggu...
Dia ramadani
Dia ramadani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kekerasan verbal: Kasus pelanggaran undang-undang dasar Ketenagakerjaan (Rohima)

7 Januari 2025   13:03 Diperbarui: 7 Januari 2025   13:03 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

ARTIKEL KASUS PELANGGARAN UUD KETENAGA KERJAAN (ROHIMA)

DIA RAMADANI

Absrak

Dampak Kekerasan Verbal: 

Pelecehan verbal merupakan suatu bentuk kekerasan yang dilakukan melalui kata-kata dan komunikasi yang intens yang dapat menimbulkan dampak yang mendalam dan berkepanjangan bagi korbannya. Penyebab kekerasan verbal sering kali terkait dengan ketidakmampuan pelaku dalam mengelola emosi, ketidakseimbangan kekuasaan dalam hubungan, dan pola komunikasi tidak sehat yang sudah berlangsung lama. Pelaku sering kali menggunakan kata-kata untuk mengendalikan atau mendominasi orang lain, sehingga menciptakan suasana ketakutan dan penyusupan dalam diri korbannya. Dampak pelecehan verbal sangat luas, yang mengakibatkan perasaan rendah diri, tidak berharga, dan hilangnya kepercayaan diri pada korban. Selain itu, banyak korban menderita gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan bahkan gangguan stres pascatrauma (PTSD), yang memengaruhi kualitas hidup mereka secara keseluruhan. Stres kronis akibat pelecehan verbal juga dapat berdampak negatif pada kesehatan fisik, meningkatkan risiko penyakit jantung, gangguan tidur, dan masalah kesehatan lainnya. Akar Penyebab Kekerasan Verbal: Kekerasan verbal dapat terjadi karena berbagai faktor yang saling terkait, sering kali berasal dari pengalaman masa lalu dan kondisi psikologis pelaku. Salah satu penyebab utamanya adalah luka emosional yang belum terselesaikan, di mana individu yang mengalami trauma masa kecil cenderung mengulangi pola perilaku yang sama di masa dewasa. Komitmen untuk mengelola emosi negatif seperti kemarahan dan kekecewaan dapat memicu kekerasan verbal sebagai cara untuk melindungi diri sendiri atau mengekspresikan ketidakpuasan. Faktor lingkungan, termasuk pola asuh yang keras dan tekanan ekonomi, juga berkontribusi terhadap munculnya kekerasan verbal. Memahami akar penyebab dan dampak kekerasan verbal sangat penting dalam mengambil tindakan pencegahan untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan lebih mendukung bagi semua individu. Studi Kasus: Kekerasan Verbal di Sekolah: Kasus kekerasan verbal di sebuah sekolah menengah melibatkan seorang siswa bernama Andi yang menjadi korban bullying oleh sekelompok teman sebayanya. Peristiwa tersebut terjadi di lingkungan sekolah, khususnya di kafetaria dan lapangan olahraga, dengan intensitas meningkat menjelang akhir semester. Pelecehan verbal yang dihadapi Andi memengaruhi prestasi akademis dan interaksi sosialnya, yang menyebabkannya menarik diri dari interaksi sosial karena malu dan bersalah. Intervensi oleh seorang guru, dengan melaporkan penganiayaan tersebut kepada pihak berwenang di sekolah, menekankan pentingnya kewaspadaan dan tindakan cepat dalam menangani kekerasan verbal di lingkungan pendidikan guna memastikan keselamatan dan kesejahteraan semua siswa. Perlindungan Hukum bagi Pekerja Rumah Tangga: Kasus Rohimah, seorang pekerja rumah tangga di Indonesia, menyoroti masalah serius pelecehan verbal yang sering diabaikan dalam konteks pekerjaan informal. Keterlibatan Rohimah sebagai korban dan majikannya sebagai pelaku menandakan dinamika kekuasaan yang berlaku dalam pekerjaan rumah tangga. Ketentuan hukum dalam UU Ketenagakerjaan dan Omnibus Law bertujuan untuk melindungi pekerja seperti Rohimah, memastikan perlakuan yang adil, rasa hormat, dan kompensasi yang layak. Penerapan perlindungan hukum ini penting untuk mencegah eksploitasi dan kekerasan di tempat kerja.

Pelecehan verbal merupakan salah satu bentuk ciuman yang dilakukan melalui kata-kata dan komunikasi yang intens serta dapat menimbulkan dampak yang mendalam dan bertahan lama bagi korbannya. Penyebab kekerasan verbal sering kali berkaitan dengan ketidakmampuan pelaku kekerasan dalam mengelola emosinya, kesenjangan kekuasaan dalam hubungan, dan pola komunikasi tidak sehat yang sudah berlangsung lama. Pelaku kekerasan verbal sering kali menggunakan kata-kata untuk mengontrol atau mendominasi orang lain, sehingga menciptakan suasana ketakutan dan infiltrasi pada korbannya. Dampak kekerasan verbal sangat luas. Pelanggaran yang terus-menerus dapat menyebabkan korbannya merasa rendah diri, merasa tidak berharga, dan kehilangan kepercayaan diri. Selain itu, banyak korban menderita gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan bahkan gangguan stres pascatrauma (PTSD), yang dapat berdampak pada kualitas hidup mereka secara keseluruhan. Stres kronis akibat pelecehan verbal juga dapat berdampak buruk pada kesehatan fisik Anda, meningkatkan risiko penyakit jantung, gangguan tidur, dan masalah kesehatan lainnya. Dalam situasi sosial, korban sering kali mengalami kesulitan menjalin hubungan sehat dengan orang lain dan cenderung menarik diri dari interaksi sosial karena perasaan malu dan bersalah. Penurunan kinerja akademis dan pekerjaan juga merupakan dampak umum, karena korban mungkin tidak dapat berkonsentrasi atau berfungsi optimal di lingkungan kerja atau pendidikan. Jadi, meskipun pelecehan verbal mungkin tidak meninggalkan kerusakan fisik yang terlihat, dampaknya dapat sangat merusak kesehatan mental dan emosional seseorang. Menciptakan lingkungan komunikasi yang sehat dan mendukung adalah kunci untuk mencegah pelecehan verbal dan memberikan dukungan kepada korban untuk pulih dan membangun kembali harga diri dan kepercayaan dirinya.

Kekerasan verbal dapat terjadi karena berbagai faktor yang saling berkaitan, dan sering kali dihilangkan dari pengalaman masa lalu serta kondisi psikologis pelaku. Salah satu penyebab utama adalah luka emosional yang belum terselesaikan, di mana individu yang mengalami trauma di masa kecil—seperti kekerasan fisik atau verbal—cenderung kembali pola perilaku yang sama ketika mereka dewasa. Selain itu, janji untuk mengelola emosi negatif, seperti kemarahan dan kekecewaan, juga dapat memicu seseorang untuk melakukan kekerasan verbal sebagai cara untuk melindungi diri atau mengungkapkan ketidakpuasan. Faktor lingkungan, termasuk pola asuh yang keras dari orang tua dan tekanan ekonomi, juga berkontribusi terhadap munculnya kekerasan verbal. Ketika orang tua tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang perkembangan anak atau tidak mampu memberikan dukungan emosional, mereka mungkin melampiaskan kekecewaan mereka dengan kata-kata kasar.Dampak dari kekerasan verbal sangat merugikan, terutama bagi anak-anak yang menjadi korban. Anak-anak yang mengalami kekerasan verbal secara terus-menerus dapat mengalami gangguan emosi, seperti kecemasan dan depresi, serta merasa tidak berharga dan kehilangan rasa percaya diri. Mereka mungkin juga mengembangkan perilaku agresif sebagai respons terhadap perlakuan yang diterima, dan ini bisa berlanjut hingga dewasa. Selain itu, dampak jangka panjang dari kekerasan verbal dapat menghambat perkembangan sosial dan akademik anak, membuat mereka sulit berinteraksi dengan teman sebaya dan berfungsi baik di lingkungan sekolah atau pekerjaan. Oleh karena itu, penting untuk memahami penyebab kekerasan verbal dan dampaknya agar langkah-langkah pencegahan dapat diambil untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung bagi semua individu.

Dalam sebuah kasus kekerasan verbal yang terjadi di sebuah sekolah menengah, seorang siswa bernama Andi menjadi korban dari tindakan bullying yang dilakukan oleh sekelompok temannya. Siapa yang terlibat dalam kasus ini adalah Andi sebagai korban dan sekelompok siswa lain yang berperan sebagai pelaku. Apa yang terjadi adalah Andi sering diejek dan dihina dengan kata-kata kasar terkait kemunculan dan prestasinya di sekolah. Di mana kejadian ini berlangsung adalah di lingkungan sekolah, terutama di area kantin dan lapangan olahraga, tempat di mana interaksi sosial antar siswa sering terjadi. Kapan kekerasan verbal ini berlangsung selama beberapa bulan terakhir, dengan intensitas yang meningkat menjelang ujian akhir semester. Mengapa tindakan ini terjadi bisa jadi karena pelaku ingin menunjukkan dominasi mereka atau mungkin merasa tidak aman dalam diri mereka sendiri, sehingga melampiaskan ketidakpuasan terhadap orang lain. Bagaimana kasus ini terungkap adalah ketika seorang guru menyaksikan perlakuan tidak baik terhadap Andi dan melaporkannya kepada pihak sekolah, yang kemudian memicu penyelidikan lebih lanjut dan intervensi untuk mendukung Andi serta memberikan edukasi kepada pelaku mengenai dampak kekerasan verbal. Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya kesadaran dan tindakan cepat dalam menangani kekerasan verbal di lingkungan pendidikan agar semua siswa merasa aman dan dihargai.

Kasus kekerasan verbal yang dialami Rohimah, seorang asisten rumah tangga (ART) asal Garut, Jawa Barat, menggambarkan isu serius yang sering kali terabaikan dalam konteks hubungan kerja di sektor informal. Siapa yang terlibat dalam kasus ini adalah Rohimah sebagai korban dan pasangan suami istri, Yulio Kristian dan Loura Francia, sebagai pelaku kekerasan. Apa yang terjadi adalah Rohimah mengalami perlakuan verbal yang berisi dan menyakitkan, di mana ia sering dibentak, diejek, dan dipermalukan di depan anggota keluarga majikannya. Tindakan ini tidak hanya menciptakan lingkungan kerja yang penuh tekanan tetapi juga mengganggu kesehatan mentalnya. Di mana kejadian ini terjadi di rumah majikannya di Bandung Barat, tempat seharusnya ia merasa aman dan dihargai sebagai pekerja. Kapan kekerasan verbal ini mulai terjadi adalah setelah bulan pertama Rohimah bekerja, menunjukkan bahwa meskipun ada harapan awal untuk hubungan kerja yang baik, situasi berubah drastis ketika majikannya mulai menunjukkan sikap dominan dan kontrol.Mengapa tindakan kekerasan ini terjadi bisa jadi disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk ketidakpahaman majikan tentang hak-hak pekerja rumah tangga dan norma-norma etika dalam perlakuan terhadap orang lain. Dalam banyak kasus, pelaku merasa berhak untuk mengontrol dan mendominasi pekerja mereka karena adanya ketimpangan kekuasaan yang melekat dalam hubungan kerja tersebut. Selain itu, tekanan dari kehidupan sehari-hari atau masalah pribadi juga dapat memicu perilaku agresif terhadap orang lain. Bagaimana kasus ini terungkap adalah melalui pengakuan Rohimah kepada media, di mana ia menceritakan pengalaman traumatisnya dan kondisi fisik serta mentalnya yang terganggu akibat perlakuan buruk tersebut. Pengakuan ini menjadi titik awal bagi banyak orang untuk menyadari betapa seriusnya masalah kekerasan verbal dalam konteks pekerjaan rumah tangga.Kasus Rohimah menyoroti pentingnya perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga dan kesadaran masyarakat akan dampak negatif dari kekerasan verbal serta fisik dalam hubungan kerja. Ini juga perlunya menunjukkan edukasi bagi majikan tentang cara memperlakukan pekerja dengan hormat dan adil. Selain itu, dukungan dari organisasi masyarakat sipil dan pemerintah sangat penting untuk memberikan perlindungan kepada pekerja rumah tangga agar mereka tidak menjadi korban kekerasan dan eksploitasi. Dengan meningkatnya kesadaran akan isu ini, diharapkan akan ada perubahan positif dalam cara kita memandang dan memperlakukan pekerja rumah tangga di Indonesia.

Kekerasan verbal memiliki dampak psikologis yang signifikan dan sering kali merusak bagi korban, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Salah satu dampak utama adalah penurunan harga diri. Korban sering kali merasa tidak berharga dan kehilangan rasa percaya diri akibat penghinaan dan ejekan yang mereka alami secara terus-menerus. Hal ini dapat menyebabkan mereka merasa terasing dari lingkungan sosial dan sulit untuk membangun hubungan yang sehat dengan orang lain. Selain itu, kekerasan verbal dapat memicu kecemasan yang berkepanjangan, di mana korban hidup dalam ketakutan akan penilaian negatif dari orang lain, yang mengarah pada perasaan khawatir berlebihan dalam situasi sosial.Dampak psikologis lainnya adalah depresi, di mana korban mungkin merasa putus asa dan tidak berdaya, sering kali berpikir bahwa hidup mereka tidak akan pernah membaik. Dalam beberapa kasus, kekerasan verbal yang parah dapat menyebabkan gangguan stres pascatrauma (PTSD), di mana korban mengalami kilas balik atau mimpi buruk terkait pengalaman traumatis yang dialami. Ini mengganggu kehidupan sehari-hari mereka dan membuat mereka sulit untuk menjalani aktivitas normal.Paparan terus-menerus terhadap kekerasan verbal juga dapat menyebabkan stres kronis, yang berdampak negatif pada kesehatan mental dan fisik. Korban mungkin mengalami gejala fisik seperti sakit kepala, gangguan tidur, dan masalah pencernaan sebagai respons terhadap tekanan emosional yang dialami. Selain itu, mereka dapat mengalami perubahan suasana hati yang drastis, beralih antara perasaan marah, sedih, dan cemas tanpa alasan yang jelas.Anak-anak yang menjadi korban kekerasan verbal juga sangat rentan terhadap dampak psikologis ini. Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam belajar dan berinteraksi dengan teman sebaya, serta cenderung menarik diri dari lingkungan sosial. Dengan kata lain, kekerasan verbal dapat meninggalkan bekas jangka panjang pada perkembangan emosional dan sosial individu. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kesadaran tentang kekerasan verbal dan memberikan dukungan kepada korban agar mereka dapat pulih dan membangun kembali harga diri serta kepercayaan diri mereka. 

Indonesia memiliki Undang-Undang yang spesifik untuk mengatasi kekerasan dalam berbagai bentuk, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Berikut adalah penjabaran detail tentang kedua undang-undang ini: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Tujuan Pembentukan UU PKDRT Undang-Undang ini dibentuk untuk mencegah terjadinya segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Lingkup Ruang TeritorialLingkup ruang teritori yang dilindungi oleh UU PKDRT bukan hanya terbatas pada perempuan, namun juga mencakup suami, istri, anak, dan orang-orang yang memiliki hubungan keluarga baik karena darah, perkawinan persusuan, pengasuhan, dan yang menetap dalam rumah tangga. Bahkan, orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap di dalam rumah tangga tersebut juga termasuk dalam proteksi ini. Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga diartikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat pada penderitaan fisik, psikiatrik, atau seksual, serta penelantaran

rumah tangga. Larangan Melakukan Kekerasan Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, atau penelantaran rumah tangga. Sanksi hukuman Sanksi hukumannya cukup berat, termasuk pidana penjara maksimal 15 tahun jika kekerasan fisik menyebabkan korban meninggal dunia, dan pidana penjara maksimal 20 tahun jika kekerasan menyebabkan korban tidak sembuh atau hilang ingatan. Tugas dan Tanggung Jawab PemerintahPemerintah, khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga melalui perumusan kebijakan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, penyelenggaraan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga, serta sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Tujuan Pembentukan UU TPKS Undang-Undang ini dibentuk untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi, dan memberikan akses keadilan serta pemulihan bagi korban kekerasan seksual. Tujuan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa kekerasan seksual bertentangan dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan serta mengganggu keamanan dan ketenteraman masyarakat. 

Definisi Tindak Pidana Kekerasan Seksual Tindak pidana kekerasan seksual diartikan sebagai segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan perbuatan kekerasan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang sepanjang ditentukan dalam Undang-Undang ini. Sanksi Hukuman Sanksi hukumannya juga beragam, termasuk pidana penjara maksimal 15 tahun jika kekerasan seksual menyebabkan korban meninggal dunia, dan pidana penjara maksimal 20 tahun jika kekerasan menyebabkan korban tidak sembuh atau hilang ingatan. Selain itu, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa pembatasan gerak pelaku atau penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu Dengan demikian, kedua undang-undang ini memberikan landasan hukum yang kuat untuk mencegah dan menindak kekerasan dalam berbagai bentuk, serta melindungi hak-hak dasar korban. 

Implementasi yang efektif dari kedua undang-undang ini sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan hormat bagi semua individu.

Undang-Undang yang mengatur ketenagakerjaan di Indonesia, khususnya yang dapat melindungi Rohimah sebagai pekerja, adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Kedua undang-undang ini bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pekerja, termasuk asisten rumah tangga seperti Rohimah, yang sering kali rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan.

Perlindungan dalam UU Ketenagakerjaan UU No. 13 Tahun 2003 memberikan kerangka hukum yang jelas mengenai hak-hak pekerja, termasuk hak atas upah yang layak, jaminan kesehatan, dan perlindungan dari pemutusan hubungan kerja yang tidak adil. Dalam konteks Rohimah, undang-undang ini menjamin bahwa setiap pekerja berhak atas penghidupan yang layak dan tidak boleh diperlakukan secara semena-mena oleh majikan. Selain itu, undang-undang ini juga mengatur tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan pemutusan hubungan kerja (PHK), di mana pekerja berhak mendapatkan pesangon jika dipecat tanpa alasan yang sah.Revisi Melalui UU Cipta Kerja Sementara itu, UU Cipta Kerja, yang merupakan revisi dari UU Ketenagakerjaan sebelumnya, juga berfokus pada perlindungan pekerja. Salah satu perubahan penting adalah pengaturan mengenai pekerja alih daya (outsourcing) dan ketentuan tentang upah minimum. Dengan adanya ketentuan ini, perusahaan outsourcing harus memenuhi syarat tertentu dan tidak boleh sembarangan dalam memperkerjakan tenaga kerja. Hal ini bertujuan untuk mencegah eksploitasi terhadap pekerja yang sering terjadi dalam sistem outsourcing. Upah Minimum dan Kesejahteraan Pekerja UU Cipta Kerja juga menegaskan bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah. Ini penting bagi Rohimah agar ia tidak hanya mendapatkan perlindungan hukum tetapi juga kesejahteraan finansial yang memadai. Upah minimum menjadi standar terendah dalam sistem pengupahan di Indonesia, sehingga memastikan bahwa semua pekerja menerima kompensasi yang adil atas pekerjaan mereka. Secara keseluruhan, kedua undang-undang ini memberikan dasar hukum yang kuat untuk melindungi hak-hak Rohimah sebagai pekerja. Dengan adanya UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja, diharapkan akan tercipta lingkungan kerja yang lebih aman dan adil bagi semua pekerja di Indonesia, termasuk mereka yang bekerja dalam sektor informal seperti asisten rumah tangga. Perlindungan hukum ini sangat penting untuk mencegah kekerasan verbal dan fisik serta memastikan bahwa setiap individu diperlakukan dengan hormat dan dignitas.

Undang-Undang yang melindungi hak-hak pekerja di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. UU Ketenagakerjaan memberikan kerangka hukum yang jelas mengenai hak-hak dasar pekerja, termasuk hak atas upah yang layak, perlindungan dari diskriminasi, dan jaminan keselamatan serta kesehatan kerja. Dalam pasal-pasalnya, undang-undang ini menegaskan bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan upah yang sesuai dengan standar minimum yang ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu, pekerja juga memiliki hak untuk mendapatkan pelatihan guna meningkatkan kompetensi mereka, serta hak untuk bergabung dalam serikat pekerja.UU Cipta Kerja membawa sejumlah perubahan penting yang bertujuan untuk memperkuat perlindungan bagi pekerja. Salah satu aspek utama dari undang-undang ini adalah kewajiban perusahaan untuk memberikan pesangon kepada pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), serta memastikan bahwa perjanjian kerja tidak boleh merugikan hak-hak pekerja. Selain itu, undang-undang ini juga mengatur tentang jam kerja, cuti, dan hak istirahat, yang semuanya bertujuan untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat dan adil. Dengan adanya kedua undang-undang ini, diharapkan pekerja seperti Rohimah dapat merasa lebih terlindungi dari perlakuan semena-mena dan mendapatkan hak-hak mereka secara penuh. Perlindungan hukum ini sangat penting untuk mencegah eksploitasi dan kekerasan dalam berbagai bentuk di tempat kerja.

Dalam konteks Islam, larangan terhadap kekerasan verbal sangat jelas tertuang dalam Al-Qur'an, khususnya dalam surat Al-Hujurat. Dalam QS. Al-Hujurat ayat 11, Allah melarang umat-Nya untuk saling mencela dan menghina satu sama lain, menekankan pentingnya menjaga kehormatan dan martabat sesama. Ayat ini menyatakan, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain; boleh jadi mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka." Ini menunjukkan bahwa tindakan merendahkan orang lain tidak hanya dilarang, tetapi juga bertentangan dengan prinsip keadilan dan penghormatan dalam hubungan antarmanusia.Lebih lanjut, QS. Al-Hujurat ayat 12 juga memperingatkan tentang bahaya berburuk sangka dan menggunjing, yang merupakan bentuk lain dari kekerasan verbal. Dalam ayat ini, Allah mengingatkan bahwa menggunjing orang lain sama dengan memakan daging saudaranya yang sudah mati, sebuah gambaran yang kuat tentang betapa menjijikannya tindakan tersebut. Ini menegaskan bahwa ucapan yang menyakiti hati orang lain dianggap sebagai dosa besar dalam Islam, dan harus dihindari oleh setiap Muslim.Rasulullah SAW juga menekankan pentingnya menjaga lisan dalam sabdanya: "Seorang Muslim adalah yang orang lain selamat dari lisan dan tangannya" (HR. Bukhari). Pernyataan ini menunjukkan bahwa tindakan verbal yang menyakitkan, seperti hinaan atau ejekan, tidak hanya merugikan korban tetapi juga menciptakan suasana permusuhan di antara umat. Oleh karena itu, ajaran Islam mendorong umatnya untuk berperilaku baik satu sama lain, membangun empati, dan menciptakan lingkungan sosial yang penuh kasih sayang serta saling menghormati.Secara keseluruhan, larangan melakukan kekerasan verbal dalam Islam bukan hanya sekadar aturan, tetapi merupakan bagian integral dari ajaran moral dan etika yang bertujuan untuk melindungi kehormatan individu serta menciptakan masyarakat yang harmonis. Dengan menghindari perilaku merendahkan dan saling menghargai satu sama lain, umat Islam diharapkan dapat berkontribusi pada terciptanya lingkungan yang damai dan penuh kasih. 

Untuk mencegah terjadinya kekerasan verbal di masyarakat, baik individu maupun pemerintah memiliki peran penting yang harus dijalankan secara sinergis. Rekomendasi untuk masyarakat dimulai dari pendidikan karakter yang harus ditanamkan sejak dini. Orang tua dan pendidik perlu memberikan contoh komunikasi yang baik kepada anak-anak, mengajarkan nilai-nilai empati, menghargai orang lain, dan cara berkomunikasi yang tidak menyakiti. Hal ini penting karena anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kasih sayang dan pengertian cenderung akan menghindari perilaku kekerasan verbal di kemudian hari. Selain itu, masyarakat juga perlu melatih kontrol emosi mereka. Mengelola emosi dengan baik dapat membantu individu berkomunikasi secara lebih efektif tanpa melibatkan kata-kata kasar atau menghina.Di sisi lain, pemerintah juga memiliki tanggung jawab untuk menciptakan kebijakan yang mendukung pencegahan kekerasan verbal. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan menerapkan program-program sosialisasi di sekolah-sekolah dan komunitas tentang pentingnya komunikasi yang sehat dan dampak negatif dari kekerasan verbal. Pemerintah dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan untuk mengembangkan kurikulum yang mencakup pendidikan sosial dan emosional, serta keterampilan komunikasi non-kekerasan. Selain itu, perlu ada kebijakan yang jelas mengenai penanganan kasus kekerasan verbal, termasuk prosedur pelaporan dan dukungan bagi korban.Penting juga bagi pemerintah untuk memfasilitasi pelatihan bagi guru dan tenaga pendidik tentang bagaimana menangani konflik di kelas dan membangun iklim sekolah yang positif. Dengan menciptakan lingkungan yang mendukung dan inklusif, diharapkan siswa dapat belajar untuk saling menghormati dan memahami perasaan satu sama lain. Selain itu, program anti-bullying harus diterapkan secara komprehensif di semua tingkat pendidikan untuk menanggulangi segala bentuk kekerasan verbal.Dengan adanya upaya dari masyarakat untuk mendidik generasi muda dan dukungan dari pemerintah dalam menciptakan kebijakan yang tepat, diharapkan kekerasan verbal dapat diminimalisir. Masyarakat yang sadar akan pentingnya komunikasi yang baik dan pemerintah yang responsif terhadap isu ini akan menciptakan lingkungan sosial yang lebih aman dan harmonis bagi semua individu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun