Kekerasan dalam rumah tangga diartikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat pada penderitaan fisik, psikiatrik, atau seksual, serta penelantaran
rumah tangga. Larangan Melakukan Kekerasan Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, atau penelantaran rumah tangga. Sanksi hukuman Sanksi hukumannya cukup berat, termasuk pidana penjara maksimal 15 tahun jika kekerasan fisik menyebabkan korban meninggal dunia, dan pidana penjara maksimal 20 tahun jika kekerasan menyebabkan korban tidak sembuh atau hilang ingatan. Tugas dan Tanggung Jawab PemerintahPemerintah, khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga melalui perumusan kebijakan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, penyelenggaraan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga, serta sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Tujuan Pembentukan UU TPKS Undang-Undang ini dibentuk untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi, dan memberikan akses keadilan serta pemulihan bagi korban kekerasan seksual. Tujuan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa kekerasan seksual bertentangan dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan serta mengganggu keamanan dan ketenteraman masyarakat.Â
Definisi Tindak Pidana Kekerasan Seksual Tindak pidana kekerasan seksual diartikan sebagai segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan perbuatan kekerasan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang sepanjang ditentukan dalam Undang-Undang ini. Sanksi Hukuman Sanksi hukumannya juga beragam, termasuk pidana penjara maksimal 15 tahun jika kekerasan seksual menyebabkan korban meninggal dunia, dan pidana penjara maksimal 20 tahun jika kekerasan menyebabkan korban tidak sembuh atau hilang ingatan. Selain itu, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa pembatasan gerak pelaku atau penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu Dengan demikian, kedua undang-undang ini memberikan landasan hukum yang kuat untuk mencegah dan menindak kekerasan dalam berbagai bentuk, serta melindungi hak-hak dasar korban.Â
Implementasi yang efektif dari kedua undang-undang ini sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan hormat bagi semua individu.
Undang-Undang yang mengatur ketenagakerjaan di Indonesia, khususnya yang dapat melindungi Rohimah sebagai pekerja, adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Kedua undang-undang ini bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pekerja, termasuk asisten rumah tangga seperti Rohimah, yang sering kali rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan.
Perlindungan dalam UU Ketenagakerjaan UU No. 13 Tahun 2003 memberikan kerangka hukum yang jelas mengenai hak-hak pekerja, termasuk hak atas upah yang layak, jaminan kesehatan, dan perlindungan dari pemutusan hubungan kerja yang tidak adil. Dalam konteks Rohimah, undang-undang ini menjamin bahwa setiap pekerja berhak atas penghidupan yang layak dan tidak boleh diperlakukan secara semena-mena oleh majikan. Selain itu, undang-undang ini juga mengatur tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan pemutusan hubungan kerja (PHK), di mana pekerja berhak mendapatkan pesangon jika dipecat tanpa alasan yang sah.Revisi Melalui UU Cipta Kerja Sementara itu, UU Cipta Kerja, yang merupakan revisi dari UU Ketenagakerjaan sebelumnya, juga berfokus pada perlindungan pekerja. Salah satu perubahan penting adalah pengaturan mengenai pekerja alih daya (outsourcing) dan ketentuan tentang upah minimum. Dengan adanya ketentuan ini, perusahaan outsourcing harus memenuhi syarat tertentu dan tidak boleh sembarangan dalam memperkerjakan tenaga kerja. Hal ini bertujuan untuk mencegah eksploitasi terhadap pekerja yang sering terjadi dalam sistem outsourcing. Upah Minimum dan Kesejahteraan Pekerja UU Cipta Kerja juga menegaskan bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah. Ini penting bagi Rohimah agar ia tidak hanya mendapatkan perlindungan hukum tetapi juga kesejahteraan finansial yang memadai. Upah minimum menjadi standar terendah dalam sistem pengupahan di Indonesia, sehingga memastikan bahwa semua pekerja menerima kompensasi yang adil atas pekerjaan mereka. Secara keseluruhan, kedua undang-undang ini memberikan dasar hukum yang kuat untuk melindungi hak-hak Rohimah sebagai pekerja. Dengan adanya UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja, diharapkan akan tercipta lingkungan kerja yang lebih aman dan adil bagi semua pekerja di Indonesia, termasuk mereka yang bekerja dalam sektor informal seperti asisten rumah tangga. Perlindungan hukum ini sangat penting untuk mencegah kekerasan verbal dan fisik serta memastikan bahwa setiap individu diperlakukan dengan hormat dan dignitas.
Undang-Undang yang melindungi hak-hak pekerja di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. UU Ketenagakerjaan memberikan kerangka hukum yang jelas mengenai hak-hak dasar pekerja, termasuk hak atas upah yang layak, perlindungan dari diskriminasi, dan jaminan keselamatan serta kesehatan kerja. Dalam pasal-pasalnya, undang-undang ini menegaskan bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan upah yang sesuai dengan standar minimum yang ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu, pekerja juga memiliki hak untuk mendapatkan pelatihan guna meningkatkan kompetensi mereka, serta hak untuk bergabung dalam serikat pekerja.UU Cipta Kerja membawa sejumlah perubahan penting yang bertujuan untuk memperkuat perlindungan bagi pekerja. Salah satu aspek utama dari undang-undang ini adalah kewajiban perusahaan untuk memberikan pesangon kepada pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), serta memastikan bahwa perjanjian kerja tidak boleh merugikan hak-hak pekerja. Selain itu, undang-undang ini juga mengatur tentang jam kerja, cuti, dan hak istirahat, yang semuanya bertujuan untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat dan adil. Dengan adanya kedua undang-undang ini, diharapkan pekerja seperti Rohimah dapat merasa lebih terlindungi dari perlakuan semena-mena dan mendapatkan hak-hak mereka secara penuh. Perlindungan hukum ini sangat penting untuk mencegah eksploitasi dan kekerasan dalam berbagai bentuk di tempat kerja.
Dalam konteks Islam, larangan terhadap kekerasan verbal sangat jelas tertuang dalam Al-Qur'an, khususnya dalam surat Al-Hujurat. Dalam QS. Al-Hujurat ayat 11, Allah melarang umat-Nya untuk saling mencela dan menghina satu sama lain, menekankan pentingnya menjaga kehormatan dan martabat sesama. Ayat ini menyatakan, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain; boleh jadi mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka." Ini menunjukkan bahwa tindakan merendahkan orang lain tidak hanya dilarang, tetapi juga bertentangan dengan prinsip keadilan dan penghormatan dalam hubungan antarmanusia.Lebih lanjut, QS. Al-Hujurat ayat 12 juga memperingatkan tentang bahaya berburuk sangka dan menggunjing, yang merupakan bentuk lain dari kekerasan verbal. Dalam ayat ini, Allah mengingatkan bahwa menggunjing orang lain sama dengan memakan daging saudaranya yang sudah mati, sebuah gambaran yang kuat tentang betapa menjijikannya tindakan tersebut. Ini menegaskan bahwa ucapan yang menyakiti hati orang lain dianggap sebagai dosa besar dalam Islam, dan harus dihindari oleh setiap Muslim.Rasulullah SAW juga menekankan pentingnya menjaga lisan dalam sabdanya: "Seorang Muslim adalah yang orang lain selamat dari lisan dan tangannya" (HR. Bukhari). Pernyataan ini menunjukkan bahwa tindakan verbal yang menyakitkan, seperti hinaan atau ejekan, tidak hanya merugikan korban tetapi juga menciptakan suasana permusuhan di antara umat. Oleh karena itu, ajaran Islam mendorong umatnya untuk berperilaku baik satu sama lain, membangun empati, dan menciptakan lingkungan sosial yang penuh kasih sayang serta saling menghormati.Secara keseluruhan, larangan melakukan kekerasan verbal dalam Islam bukan hanya sekadar aturan, tetapi merupakan bagian integral dari ajaran moral dan etika yang bertujuan untuk melindungi kehormatan individu serta menciptakan masyarakat yang harmonis. Dengan menghindari perilaku merendahkan dan saling menghargai satu sama lain, umat Islam diharapkan dapat berkontribusi pada terciptanya lingkungan yang damai dan penuh kasih.Â
Untuk mencegah terjadinya kekerasan verbal di masyarakat, baik individu maupun pemerintah memiliki peran penting yang harus dijalankan secara sinergis. Rekomendasi untuk masyarakat dimulai dari pendidikan karakter yang harus ditanamkan sejak dini. Orang tua dan pendidik perlu memberikan contoh komunikasi yang baik kepada anak-anak, mengajarkan nilai-nilai empati, menghargai orang lain, dan cara berkomunikasi yang tidak menyakiti. Hal ini penting karena anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kasih sayang dan pengertian cenderung akan menghindari perilaku kekerasan verbal di kemudian hari. Selain itu, masyarakat juga perlu melatih kontrol emosi mereka. Mengelola emosi dengan baik dapat membantu individu berkomunikasi secara lebih efektif tanpa melibatkan kata-kata kasar atau menghina.Di sisi lain, pemerintah juga memiliki tanggung jawab untuk menciptakan kebijakan yang mendukung pencegahan kekerasan verbal. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan menerapkan program-program sosialisasi di sekolah-sekolah dan komunitas tentang pentingnya komunikasi yang sehat dan dampak negatif dari kekerasan verbal. Pemerintah dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan untuk mengembangkan kurikulum yang mencakup pendidikan sosial dan emosional, serta keterampilan komunikasi non-kekerasan. Selain itu, perlu ada kebijakan yang jelas mengenai penanganan kasus kekerasan verbal, termasuk prosedur pelaporan dan dukungan bagi korban.Penting juga bagi pemerintah untuk memfasilitasi pelatihan bagi guru dan tenaga pendidik tentang bagaimana menangani konflik di kelas dan membangun iklim sekolah yang positif. Dengan menciptakan lingkungan yang mendukung dan inklusif, diharapkan siswa dapat belajar untuk saling menghormati dan memahami perasaan satu sama lain. Selain itu, program anti-bullying harus diterapkan secara komprehensif di semua tingkat pendidikan untuk menanggulangi segala bentuk kekerasan verbal.Dengan adanya upaya dari masyarakat untuk mendidik generasi muda dan dukungan dari pemerintah dalam menciptakan kebijakan yang tepat, diharapkan kekerasan verbal dapat diminimalisir. Masyarakat yang sadar akan pentingnya komunikasi yang baik dan pemerintah yang responsif terhadap isu ini akan menciptakan lingkungan sosial yang lebih aman dan harmonis bagi semua individu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H