Buku itu mengangkat cerita tentang kenapa kita harus saling memaafkan. Namun, teman saya ternyata menolak. "Ngga dulu deh ya, aku ngga mau beli buku dulu yang ada keluarga cemaranya," balas teman saya.
Membaca balasan tersebut saya seketika merasa menjadi orang yang tidak sensitif. Saya tidak menyangka bahwa sampul buku itu bisa memengaruhi keputusan teman saya untuk tidak membelinya.Â
Menyesal sekali rasanya saya tidak berhati-hati sebelum menawarkan kepada seseorang yang telah bercerai dan pemilihan buku anaknya pun mungkin sedang disesuaikan dengan kondisinya saat itu.
Dari pengamatan dan pengalaman saya di atas, saya berharap bahwa ini bisa menjadi kritik atau masukan bagi penerbit maupun penulis buku anak.Â
Keberagaman latar belakang keluarga juga perlu diangkat pada karya sastra anak sebagai media pembelajaran. Anak-anak tidak hanya akan bisa memahami latar belakang keluarga temannya yang berbeda namun juga memiliki rasa empati saat merespon perbedaan.
Buku-buku yang mengangkat perbedaan latar belakang keluarga anak, bisa dimanfaatkan oleh guru di sekolah. Pendidikan inklusi semestinya tidak hanya menyinggung soal keberagaman ras, budaya, dan agama tetapi juga tentang keluarga.Â
Hal ini dapat meminimalisir terjadinya perundungan di sekolah terhadap anak yang dianggap berbeda dari anak kebanyakan.Â
Sementara untuk orang tua, bisa memberikan gambaran pada anak di rumah bahwa di luar sana ada anak yang dibesarkan dengan nenek saja atau orang tua tunggal misalnya.
Walaupun terdengar tabu dan sulit, namun penulis buku anak tentunya tahu bagaimana mengangkat isu yang dianggap berat oleh anak menjadi sesuatu yang ringan, wajar, dan bahkan bisa menyenangkan.Â
Kolaborasi antara penulis dan ilustrator juga bisa membawa cerita yang bertema berat menjadi cerita yang mudah dipahami oleh anak.Â