Mohon tunggu...
Dhea Chairunnisa
Dhea Chairunnisa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Man Jadda Wajada. Menjadi yang paling baik diantara yang terbaik. I love reading so much.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Cinta

27 Juli 2014   03:15 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:04 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tidak begitu peduli kamu menyebutnya apa, bila yang kamu bilang cinta hanya untuk satu orang, bagaimana pula aku dapat mencintai kedua orang sekaligus? Jika kamu pikir ini aneh, tapi inilah yang aku rasakan sekarang. Aku, mencintai dua orang pada waktu yang bersamaan, aku ingin memiliki keduanya walau aku tahu itu salah. Aku ingin bersama dengan keduanya, tanpa harus mengorbankan salah satu. Tuhan, bolehkah aku seperti ini?

***

Semua berawal saat cinta yang kujaga dengan baik, kandas, begitu saja. Sebutlah dia matahari. Cahayanya pudar, lambat laun, tapi pasti. Sang matahari pergi, meninggalkanku dalam kegelapan, begitu saja. Aku berjuang sendiri mencari jalan untuk pulang, aku menangis di tengah kegelapan, bagaimana mungkin cinta yang kubangga-banggakan pada semua orang harus berakhir begitu saja? Mengapa? Semudah itu dia meninggalkanku disaat aku susah payahnya merekatkan ikatan yang mulai retak, dengan harapan akan menyatu kembali seperti dulu. Bodoh. Harusnya aku sadar sebaiknya aku mundur saat itu.

“Kenapa?” tanyaku. Air mata tak dapat kutahan lagi. Aku menangis sejadi-jadinya. Saat itu kamu ada disampingku, dan mengatakan perpisahan itu. Kupikir ini lelucon, tapi ternyata bukan. “Kupikir aku butuh waktu sendiri,” begitu jawabmu. Jawaban yang sangat egois. Tidakkah kamu memikirkan sedikit bagaimana kerasnya aku berjuang mempertahankan ikatan ini, dan dengan mudahnya kamu bilang ingin hidup tanpaku.

“Jangan pergi… Bagaimana aku bisa hidup tanpamu?” kucoba segala upaya agar ikatan  ini tak berakhir. “Aku sangat mencintaimu, sangat!”

“Aku tak ingin kamu terbebani dengan kesibukanku, aku takut tak bisa membagi waktu,” jawaban egois lagi yang keluar dari lisanmu. Bahkan tak ada sedikitpun raut wajah kesedihan yang kamu tunjukkan. Hanya senyum tipis, entah untuk apa. Aku bahkan lupa caranya tersenyum saat itu. Yah, tapi begitulah kenyataannya. Ikatan ini berakhir sudah.

Kamu mencium keningku lembut, kuharap bukan untuk yang terakhir kalinya.

***

Tak peduli sesakit apa luka yang kurasakan, hidup harus terus berlanjut bukan? Hariku berjalan seperti biasa, hanya saja sudah tak ada gairah apalagi semangat. Kosong. Pikiranku kosong. Jiwaku kosong. Apa kamu merasakan hal yang sama? Ah tidak mungkin. Kamu bahkan masih bisa tersenyum saat itu. Teman-teman saling bergantian memberiku semangat, mengajakku berpergian, tetap saja, aku seperti tak mempunyai jiwa.

Yang kutakutkan adalah saat aku beranjak tidur. Di tengah kegelapan itu, semua memori denganmu muncul kembali, menambah goresan di relung hati ini, lalu aku menangis sejadi-jadinya.

Dan aku takut saat aku kembali terjaga di pagi hari, menyadari bahwa tidak ada kamu disisiku. Menerima fakta bahwa kepergianmu nyata, bukan mimpi di siang bolong. Dan aku harus melalui hari-hariku yang hambar. Aku benci. Sesakit inikah mencintai?

***

Selang beberapa waktu, aku mulai terbiasa dengan absennya kamu dihatiku. Aku mulai tersenyum, bercanda ria dengan orang-orang disekitarku. Kadang sosokmu datang mengganggu, tapi air mataku sudah habis untuk menangisi itu. Aku berdamai dengan kenyataan. Kuputuskan untuk berdiri, walau terseok-seok. Karena kutahu hanya kamu yang mampu menyeimbangkan langkahku. Aku merindukanmu, sosokmu, kenangan kita, semuanya. Kenapa kamu pergi? Cintaku bahkan tak pudar sedikitpun. Bagaimana denganmu?

Tiba-tiba saja seseorang hadir di hatiku, dia bukan kamu. Tapi dia membuatku tertawa kembali, membantuku menatap dunia dengan indah kembali. Dia membuatku bahagia, tapi dia bukan kamu.

Tiba-tiba saja aku menjadi dekat dengannya. Dia pun menyatakan perasaannya padaku. Menawarkan sebuah ikatan baru, yang lebih baik tentunya. Kusambut ajakan itu, berharap dengan bersamanya aku dapat melupakanmu. Wajahnya bahkan lebih tampan, senyumnya lebih menawan, tubuh tegapnya, kematangan jiwanya, kamu tak akan dapat menandinginya.

Tapi dia bukan kamu.

Aku berusaha mencari sosokmu dalam dirinya.

Dia orang yang benar-benar berbeda. Dia bukan kamu.

Hari-hari dengannya begitu indah. Berwarna, penuh makna. Dia adalah pelangi. Badaiku sudah berlalu, kabutku memudar, pelangi yang indah telah datang. Kesedihanku sirna. Aku benar-benar tertawa lepas. Kepergianmu sudah dapat kuikhlaskan. Tapi lagi-lagi aku masih mencari sosokmu. Mengapa bukan kamu saja yang menjadi pelangiku?

***

Di suatu hari yang sejuk itu, ponselku bordering, menampilkan namamu di kayarnya. Ya! Namamu! Tanpa sadar aku menjawab panggilan itu.

“Apa kabar?” suara berat yang khas itu seakan-akan mengisi kembali tempatmu di hatiku yang mulai kosong. Kukira aku sudah bisa tanpamu, tapi ternyata belum. Aku masih mencintaimu.

“Aku, baik-baik saja,” jawabku. Aku berusaha tetap tenang. Meskipun hati ini tidak.

Selanjutnya kata-kata yang kudengar membuatku seperti hilang akal. Kamu bilang kamu masih mencintaiku, kamu meminta maaf padaku, kamu berjanji untuk memperbaiki semuanya, sungguh aku senang. Bila kamu bertanya masih adakah aku dihatimu, aku bahkan tak ingin menghilangkannya!

Namun aku sadar, saat ini aku memiliki pelangi yang juga mencintaiku, bahkan lebih tulus darimu. Segala cara kucoba untuk menepis kehadiranmu, aku relakan perasaanku padamu, tapi aku tidak bisa. Kamu terus datang terus memintaku kembali, kita saling mencintai, aku tahu itu.

“Aku rela menjadi yang kedua, asalkan bisa bersamamu,” katamu lirih.

Aku menyetujuinya. Kujalani hubungan diam-diam denganmu, bahagia tentu. Mencintai orang yang mencintai kita. Namun aku tak ingin menepis kehadiran pelangi, aku tak ingin menyakitinya. Aku menyayanginya, aku ingin membahagiakannya juga. Namun perasaanku pada matahari pun tak akan pernah padam.

Akan sampai kapan aku seperti ini?

Tuhan, maafkan aku. Apakah aku akan mendapat karma?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun