Depresi pada usia muda terutama pada remaja, merupakan sebuah isu yang kompleks dan membutuhkan perhatian serius.
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menemukan, penduduk usia 15-24 tahun merupakan kelompok usia dengan prevalensi depresi tertinggi. Sekelompok manusia yang lahir dari tahun 1997-2012 sering disebut sebagai generasi ZÂ
Depresi jadi masalah kesehatan mental global termasuk di Indonesia. Gangguan yang umum dialami oleh remaja termasuk kecemasan, depresi, dan gangguan perilaku. Penting untuk mendukung kesehatan mental remaja dan memberikan akses ke sumber daya yang diperlukan.
Tingkat depresi di kalangan Generasi Z mengalami lonjakan yang mengkhawatirkan, dengan banyak faktor yang berkontribusi terhadap kondisi ini. Di tengah paparan terus-menerus terhadap media sosial dan tekanan akan ketidakpastian masa depan, generasi muda ini menghadapi tantangan kesehatan mental yang semakin kompleks.Â
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa perbandingan sosial dan kecemasan terkait pekerjaan serta kehidupan di era modern semakin memperburuk kesehatan mental mereka, menjadikan perhatian terhadap isu ini sangat mendesak.
Paparan Media Sosial
Salah satu faktor signifikan yang berkontribusi terhadap meningkatnya kasus depresi adalah paparan media sosial. Banyak Gen Z menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari di platform media social seperti Instagram, TikTok, Twiter (x). Meskipun media sosial dapat menjadi sarana untuk berinteraksi dan berbagi pengalaman, penelitian menunjukkan bahwa perbandingan sosial yang terus-menerus dapat memicu perasaan tidak cukup baik dan rendah diri.
"Media sosial menciptakan standar yang hampir tidak mungkin dicapai, yang bisa membuat seseorang merasa terasing dan kurang berharga," kata Dr. Rina, seorang psikolog anak. "Gambaran hidup yang disajikan seringkali tidak realistis, dan hal ini dapat menambah tekanan mental yang mereka rasakan."
Ketidakpastian Masa Depan
Selain dampak media sosial, ketidakpastian tentang masa depan juga menjadi masalah yang signifikan bagi Generasi Z. Dengan tantangan ekonomi global, perubahan iklim, dan situasi politik yang tidak stabil, banyak dari mereka merasa cemas dan tidak yakin tentang langkah selanjutnya dalam hidup mereka.
"Banyak Gen Z yang merasa terjebak antara harapan dan kenyataan," jelas Dr. Rina. "Kekhawatiran mengenai pekerjaan, pendidikan, dan kehidupan sosial menciptakan beban mental yang berat."
Solusi dan Dukungan
Sebagai respons terhadap krisis kesehatan mental ini, berbagai organisasi dan institusi pendidikan mulai memperkenalkan program dukungan psikologis. Kampanye kesadaran juga digalakkan untuk mengurangi stigma seputar masalah kesehatan mental.
"Penting bagi kita untuk menciptakan lingkungan di mana Generasi Z merasa aman untuk berbicara tentang perasaan mereka dan mencari bantuan," tambah Dr. Rina.Â
Kesadaran akan pentingnya kesehatan mental di kalangan Generasi Z menjadi langkah awal yang krusial. Dengan dukungan yang tepat, diharapkan mereka dapat mengatasi tantangan ini dan menemukan cara untuk beradaptasi dengan dunia yang terus berubah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H