Mohon tunggu...
Dhenys Fauzy
Dhenys Fauzy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa program studi Hukum keluarga Islam

Jalani, hadapi, dan nikmati. Berproses lah semaksimal mungkin, dan jadikan dirimu sebagai acuan kegiatan mu.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tugas UTS Hukum Perdata Islam Indonesia (Jadikan Hidupmu Lebih Berarti dengan Ilmu)

29 Maret 2023   22:47 Diperbarui: 4 Juni 2023   02:15 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

1. hukum antar-perorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan keluarga dan di dalam pergaulan masyarakat. Dan juga beberapa yang berkaitan dengan hukum perkawinan, kewarisan dan pengaturan masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, aturan jual beli, pinjam meminjam, persyarikatan (kerjasama bagi hasil), pengalihan hak dan segala yang berkaitan dengan transaksi.


2. prinsip-prinsip
perkawinan berdasarkan pandangan mereka masing-masing. Menurut pandangan M. Yahya Harahap beberapa asas-asas yang cukup prinsip dalam UU. Perkawinan adalah:
(1) Menanmpung segala kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat bangsa
Indonesia dewasa ini. (2) Sesuai dengan tuntutan Zaman. (3) Tujuan perkawinan
membentuk keluarga bahagia yang kekal. 

(4) Kesadaran akan hukum agama dan
keyakinan masing-masing warga Negara bangsa Indonesia yaitu perkawinan harus
dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaannya masing-masing. (5) Undangundang perkawinan menganut asas-asas monogami akan tetapi terbuka peluang untuk
melakukan poligami selama hukum agamanya mengizinkan. 

(6) Perkawinan dan
pembentukan keluarga dilakukan oleh pribadi-pribadi yang telah matang jiwa dan
raganya. (7) Kedudukan suami istri dalam kehidupan seimbang, baik dalam kehidupan
rumah tangga ataupun masyarakat.


3. pentingnya pencatatan perkawinan dan apa dampak yang terjadi bila pernikahan tidak dicatatkan sosiologis, religious dan yuridis.
Pentingnya pencatatan perkawinan yaitu untuk mengantisipasi bahwa ketika ada beberapa problematika yang terjadi dalam lingkup kekeluargaan maka salah satu pihak yang di rugikan bisa menggugat kepada pengadilan, dan juga pentingnya pencatatan perkawinan yaitu untuk menjelaskan nasab seorang anak kepada bapak dan ibunya.

1) Dampak yang terjadi bila pernikahan tidak dicatatkan dalam sudut pandang Sosiologis yaitu: bahwa ketika mempelai laki" Dan perempuan sudah kumpul satu rumah dan tidak ada peresmian terkait pencatatan perkawinan maka sudut pandang masyarakat sekitar bakal lebih negatif dikarenakan mereka tidak tau akan nikah nya kapan dan dimana. Dan untuk mengantisipasi ketika terdapat beberapa problematika keluarga anak dari kedua belah pihak (suami&istri) aman akan nasab yang di tangguhkan.

2) Dampak yang terjadi bila pernikahan tidak dicatatkan dalam sudut pandang Yuridis yaitu: menurut sudut pandang yuridis sendiri pencatatan perkawinan adalah hal yang sangat penting karena pencatatan perkawinan telah menjadi aspek hukum dinegara Indonesia.

3) Dampak yang terjadi bila pernikahan tidak dicatatkan dalam sudut pandang Religius yaitu:  secara sudut pandang aspek religius dalam pentingnya pencatatan perkawinan yakni wajib hukumnya dikarenakan mengacu pada kemaslahatan umat di negara ini untuk mengantisipasi perceraian yang tidak adil. Contohnya: seorang istri yang terkena KDRT ia tidak bisa mengajukan gugatan cerai atau gugatan terhadap suaminya yang melakukan KDRT tersebut.


4. Pandangan para alim ulama' dan KHI terkait perkawinan wanita hamil diantaranya:
1) Menurut pandangan para ulama': Dalil Masing-Masing Imam Mazhab Tentang Hukum Pernikahan Wanita
Hamil Karena Zina
Perzinaan dapat terjadi melalui hubungan ilegal, atau melalui
hubungan akibat pemerkosaan, atau melalui hubungan suka Sama suka di
luar nikah. 

Hamil di luar nikah merupakan perbuatan yang seharusnya
dihukum dengan berdasarkan kriteria Islam. Ketika hamil diluar nikah telah
terjadi maka akan muncul masalah yaitu aib bagi keluarga. Dengan
terjadinya hamil diluar nikah, maka pasangan tersebut diharuskan untuk
segera menikah demi melindungi keluarga dari aib yang lebih besar.

Sebuah hal yang berbeda ketika pernikahan dilakukan oleh
seseorang yang didahului dengan perbuatan tidak halal misalnya melakukan
persetubuhan antara dua jenis kelamin yang berbeda diluar ketentuan hukum
Islam dan undang-undang perkawinan yang berlaku.

Pernikahan ini
biasanya dinamakan perkawinan akibat perzinaan.
Al-Quran dalam merespon permasalahan hamil diluar nikah, tidak
membeda-bedakan antara perzinaan, incest, atau prostitusi. Segala
persetubuhan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang
dilakukan diluar pernikahan adalah zina, al-Quran memandang perbuatan hamil diluar nikah sebagai perbuatan keji, hal ini ditegaskan dalam Q.S alIsra/17:3268
Terjemahnya:

"Dan janganlah kamu mendekati zina, Sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk."
Pernikahan wanita hamil karena zina para ulama berbeda pendapat,
ada yang secara ketat tidak memperbolehkan, ada pula yang menekankan
pada penyelesaian masalah tanpa mengurangi kehati-hatian mereka. 

Sejalan
dengan sikap para ulama itu, ketentuan hukum Islam menjaga batas-batas
pergaulan masyarakat yang sopan dan memberikan ketenangan dan rasa
aman. 

Patuh terhadap ketentuan hukum Islam, akan menwujudkan
kemaslahatan dalam masyarakat. Yang dimaksud dengan "kawin hamil"
disini adalah kawin dengan seorang wanita yang hamil di luar nikah, baik
dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki bukan
yang menghamilinya. Berikut perbedaan pendapat imam Mazhab terhadap
pernikahan wanita hamil karena zina;

a. Imam Abu Hanfi
Syariat Islam memberi sanksi yang tegas terhadap pelaku
zina, baik pria maupun wanita. Sanksi tersebut berlaku wajib dengan
hukuman Dera 100 kali, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah
Q.S an-Nur/24:2
b. Imam Malik

Pandangan mazhab mliki tentang hukum perkawinan dengan
wanita hamil karena zina pada dasarnya membedakan antara perkawinan
wanita hamil karena zina dengan laki-laki yang menghamilinya dan perkawinan wanita hamil karena zina dengan laki-laki yang tidak
menghamilinya. Dalam kasus yang pertama, Mazhab Mlik
memperbolehkannya, hal ini berdasarkan pada QS an-Nur/24:3

c. Imam Syafi'i
Imam Syfii dan ulama-ulama Syfii berpendapat bahwa
menikahi wanita hamil di luar nikah akibat zina hukumnya tetap sah,
baik yang menikahi maupun bukan pria yang menghamilinya.81 Wanita
yang hamil diluar nikah akibat zina, maka tidak ada hukum kewajiban
iddah baginya, dan diperbolehkan untuk menikah dan juga menggaulinya.82 Menurut imam Syfii membolehkan pernikahan
wanita hamil yaitu dengan dalil sebagai berikut:

"Diperbolehkan berakad nikah dengan wanita pezina walaupun
wanita itu dalam keadaan hamil, bahwasanya tidak ada larangan
hanya karena kandungan ini"

d. Imam Hambali
Ulama mazhab hanbali berpendapat bahwa hukum pernikahan
wanita hamil karena zina adalah tidak sah atau tidak boleh dilakukan
ketika wanita dalam keadaan hamil. Hal ini berarti bahwa pernikahan
wanita hamil karena zina adalah tidak sah apabila pernikahan dilakukan
dengan laki laki yg bukan menghamilinya, kecuali setelah wanita
tersebut melahirkan dan bertaubat.

88 Jika yang akan menikahi wanita
tersebut adalah laki-laki yang menghamilinya, maka keduanya boleh
dinikahkan. Dengan syarat; keduanya telah bertaubat dengan taubat
nashuha.
2) pandangan KHI terkait Perkawinan wanita hamil diantaranya: Pasal 53 merupakan pasal yang didalamnya menjelaskan tentang
kebolehan wanita yang hamil sebelum kawin untuk melaksanakan
perkawinan. Selain mengenai kebolehan tersebut, dalam Pasal 53 KHI juga
terkandung ketentuan-ketentuan tentang prosedur perkawinan wanita hamil.

Lebih jelasnya dapat dilihat dalam Pasal 53 KHI berikut ini100:
a. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya.
b. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
c. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Dari bunyi pasal di atas dapat dijelaskan ketentuan dalam
Kompilasi hukum islam Pasal 53 sebagai berikut101:
1) Perkawinan wanita hamil diperbolehkan kepada siapa saja wanita yang
dalam keadaan hamil tanpa ada ketentuan sebab-sebab kehamilannya.
Maksudnya, apapun yang menyebabkan kehamilan wanita sebelum
perkawinan yang sah dapat menjadi syarat kebolehan perkawinan wanita
hamil selama memenuhi syarat perkawinan. 

Kehamilan wanita yang
terjadi akibat perkosaan, wati syubhat, maupun perzinaan
diperbolehkan terjadinya perkawinan wanita hamil. Jadi meskipun
kehamilan tersebut karena adanya perbuatan zina yang dilakukan secara sengaja dan tidak ada syubhat di dalamnya, tetap saja wanita yang hamil
itu dapat dinikahkan.


5. Memang betul jika perceraian dibolehkan oleh Allah SWT. dan halal hukumnya akan tetapi allah sangat membenci yang namanya perceraian. Alasan logisnya seperti ini: jika pada sebelum pernikaha 2 belah pihak suami dan istri adalah pasangan yang bukan mahrom setelah menikah mereka menjadi pasangan yang mahrom dan boleh mebgkumpuli satu sama lain anta (istri dan suami) lalu kenapa harus terjadi perceraian apakah allah kurang adil terhadap kalian wahai manusia.

Kutipan diatas hanyalah sebuah gambaran terkait metode yang di buat untuk mengantisipasi perceraian, dan ada beberapa poin penting yang harus saudara-saudari perhatikan supaya terhindar dan jauh dari kata dan perbuatan cerai, antara lain:
1) Menjaga komunikasi yang baik dengan pasangan.
2) Menghargai pasangan dan memperlakukannya dengan baik.
3) Menghindari tindakan kekerasan.
4) Menghindari sikap egois.
5) emperbaiki kesalahan dengan jujur dan tulus.
6) erdoa dan berserah diri kepada Allah.
Dari ke-6 poin tersebut insyaallah akan menghindarkan saudar-saudari sekalian dari yang namanya perceraian. Insyaallah, wallahua'lam bisshoab.


6. Judul dari buku  yang saya baca kemari yaitu terkait. "Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia", yang di tulis oleh: (Taufiqurrohman Syahuri, Maret 2013).

Dan disini saya juga akan memberikan kesimpulan terkait buku yang saya baca diantaranya: Setelah dilakukan penelitian dan pembahasan menge nai proses pembentukan Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan hubungan antara Undang-undang tersebut dengan hukum Islam sebagaimana telah diuraikan di dalam bab-bab terdahulu, dapat ditarik beberapa kesimpulan atas permasalahan-permasalahan yang diajukan dalam peneli- tian ini, sebagai berikut:

1) Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 adalah hasil akhir dari dialog panjang bangsa Indonesia tentang hukum perkawinan, yang telah dilakukan sejak tahun 1950 dengan dibentuknya Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk atau dikenal dengan sebutan Panitia NTR. Sejak dibentuknya Pani- tia NTR ini, sudah ada lima rancangan undang-undang perkawinan (4 RUU usul Pemerintah dan I RUU usul inisiatif anggota DPR) yang pernah dibahas dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi semuanya gagal untuk dijadikan undang-undang. 

Kegagalan ini disebabkan karena ada nya perbedaan pendapat me ngenai sistem undang-undang perkawinan yang hen dak dibentuk itu, Pendapat pertama menghendaki satu sistem undang-undang perkawinan yang berlaku umum dengan tidak menyinggung hukum agama. Pendapat kedua menghendaki masing-masing golongan masyara kat memiliki undang-undang perkawinan sendiri. Pendapat ketiga menghendaki ada satu undang-undang pokok dan selanjutnya untuk masing-masing golongan diadakan undang-undang tersendiri.

2) Maksud dikeluarkannya Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah untuk mengadakan perubahan sosial dan pembinaan perilaku perkawinan dalam masyarakat, yang waktu itu cenderung merugi kan wanita dan anak-anak, karena banyaknya perkawin an anak-anak di bawah umur, seringnya lembaga per- ceraian dan poligami disalahgunakan.
3)Dalam proses pembentukan Undang-undang No. 1 ta- hun 1974 tentang Perkawinan, sikap atau pandangan masyarakat terbagi ke dalam tiga aliran, yaitu: (1) aliran yang menginginkan adanya jaminan perlindungan hukum terhadap istri dalam hidup berumah tangga. 

(2) aliran yang menghendaki suatu undang-undang perkawinan yang tidak bertentangan dengan hukum agama yang dipeluk oleh bangsa Indonesia, dan (3) aliran yang menghendaki adanya pemisahan antara hukum negara dengan hukum agama dalam mengatur soal perkawinan. Aliran pertama umumnya disuarakan oleh kaum wanita. karena sebelum ada Undang-undang Perkawinan tahun 1974, kaum wanita inilah yang merasa paling dirugikan oleh perilaku perkawinan masyarakat pada waktu itu. 

Aliran kedua umumnya disuarakan oleh golongan Islam yang berpendapat bahwa masalah perkawinan, di sam- ping masalah sosial adalah juga masalah agama. Oleh karena itu, undang-undang yang mengatur perkawinan tidak boleh bertentangan dengan norma-norma agama. Undang-undang yang bertentangan dengan norma-norma agama menurut aliran kedua ini, berarti bertentang- an juga dengan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, sila pertama Pancasila.

Atas dasar pemikiran itu, umat Islam secara tegas menolak RUU Perkawinan (rumus- an pihak Departemen Kehakiman) yang diajukan oleh Presiden kepada DPR pada tanggal 31 Juli 1973, karena RUU tersebut mengandung hal-hal yang bertentangan dengan norma hukum agama (Islam). Baru setelah di- adakan perubahan berat terhadap RUU Perkawinan itu, atas usul sebagian anggota DPR dan anggota masyarakat (khususnya golongan Islam), sehingga RUU itu tidak lagi bertentangan dengan norma hukum agama (Islam), umat Islam menerimanya.

Aliran ketiga pada umumnya disuarakan oleh golongan nonIslam terutama umat Nasrani. Aliran ketiga ini didasarkan atas doktrin gereja yang menganut paham pemisahan antara urusan negara dengan urusan gereja. Urusan negara diatur oleh hukum negara dan urusan agama diatur oleh hukum gereja. Doktrin ini sama de ngan paham sekuler, dan karenanya tidak cocok untuk. diterapkan di negara yang berdasarkan Pancasila.
4) Perkawinan menurut hukum Islam, mengandung segi- segi muamalah atau hablun minannas (hubungan sosial) dan segi-segi ibadah atau hablun minallah (hubung an dengan Allah); 

atau dengan kata lain, perkawinan mengandung hubungan keperdataan dan hubungan ke imanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan me nurut paham hukum Barat (sekuler), perkawinan hanya dilihat dari segi-segi hubungan keperdataan semata, dengan pengertian hukum perkawinan sama sekali terpisah dari kerohanian atau unsur keagamaan. Dari ke-dua pengertian perkawinan yang bertolak belakang itu, pengertian perkawinan yang pertamalah yang memiliki kesamaan dengan pengertian perkawinan yang dimak sud dalam Pasal 1 UU No.1/1974 sebagai perwujudan kongkrit paham politik hukum Indonesia berdasarkan Pancasila dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, se bagai sila pertamanya.

5) Dalam hubungannya dengan hukum Islam, materi Un- dang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 sudah sejalan dengan prinsip-prinsip perkawinan menurut hukum Is lam. Karena itu, jika dilihat dari proses pembentukannya yang melibatkan juga para ahli (hukum) Islam atau para ulama disamping Pemerintah dan DPR sebagai lembaga resmi pembentuk Undang-undang, dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Perkawinan tahun 1974 dapat dianggap sebagai produk pemikiran hukum Islam.

 Se- bagai produk pemikiran hukum Islam yang dikeluarkan oleh negara (Pemerintah), maka berdasarkan al-Qur'an surat an-Nisa ayat 59, Undang-undang Perkawinan itu mempunyai kekuatan hukum yang mengikat untuk di- taati oleh umat Islam warga negara Indonesia. Artinya kepatuhan umat Islam Indonesia terhadap Undang-u dang Perkawinan itu, dari segi agama, mempunyai nila yang sama dengan kepatuhan terhadap "hukum Allah", Tuhan Yang Maha Esa. 

Dan karena di dalam Undang-undang Perkawinan itu terdapat beberapa ketentuan yang tidak bersumber langsung pada hukum fikih (klasik) seperti misalnya keharusan pencatatan perkawinan. pembatasan usia kawin, serta pengawasan pengadilan terhadap perceraian dan poligami, tetapi tidak bertentangan dan bahkan sejalan dengan al-Qur'an dan Sunnah Rasul, ketentuan-ketentuan itu dianggap sebagai pembaharuan (hukum) fikih di Indonesia.

6) Dengan berlakunya Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, lembaga pencatatan perkawinan (pegawai catatan sipil) bukan lagi sebagai lembaga yang memi- liki kewenangan untuk mengesahkan suatu perkawinan sebagaimana yang dipahami oleh hukum BW dan Per- aturan Perkawinan Campuran (GRH) S. 1896 Mo. 158 misalnya, tetapi adalah lembaga yang bertugas dan berwenang hanya snencatat perkawinan yang telah meme- nuhi syarat sahnya berdasarkan hukum agamanya dan kepercayaannya itu.

7) Putusan Mahkamah Konstitusi telah menambah keten- tuan baru bahwa hubungan keperdataan anak di luar kawin yang semula hanya menunjuk kepada ibu yang melahirkan juga dapat memiliki hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya.

Dan setelah saya membaca buku ini (Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia) saya alhamdulillah sebagai anak Hukum terkhususnya HUKUM KELUARGA ISLAM, saya menjadi faham lagi terkait sejara bagaimana Undang-undang perkawinan yang sekarang terbentuknya dari mana dan bagaimana prosesnya. 

Pesan saya kepada teman" Mahasiswa (marilah berproses bersama-sama dan menjadi mahasiswa yang kritis dan juga transformatif)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun