Mohon tunggu...
D. Henry Basuki
D. Henry Basuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Kerinduan akan bersatunya seluruh lapisan masyarakat dalam suasana damai menjadikan tekun dalam Interfaith Comitte Kota Semarang (IFC), Hati Nurani Interfaith Forum (Hanif), Paguyuban Manusia Ranah Semesta (PAMARTA), Forum Keadilan dan Hak Azasi Umat Beragama (Forkhagama) serta Bhinneka Swa Budaya Nusantara (BSBN) Kiprah sebagai Pandita Agama Buddha dalam MAGABUDHI (Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia) bukan melulu melaksanakan pembinaan agama Buddha di pedesaan Jawa Tengah, namun berusaha mengembangkan serta memelihara budaya lokal maupun budaya nasional Indonesia yang pluralis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saudagar Cerdas

23 Maret 2016   13:28 Diperbarui: 23 Maret 2016   21:12 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammă Sambuddhassa (3x)

“Yo bãlo mannati bãlyam ~ Pandito vãpi tena so
 Bãlo ca panditamãni ~ Sa ve bãlo’ti vuccati

 Orang bodoh yang menyadari kebodohannya sendiri
 sesungguhnya orang yang bijaksana,
 Sedangkan orang bodoh yang sombong dan menganggap dirinya bijaksana
 adalah orang yang sungguh-sungguh bodoh
                                                                     (Dhammapada 5:4 = 63)

Anathapindika, salahseorang dayaka Sang Buddha yang kaya raya suatu ketika mengajak 500 sahabatnya mendengarkan dhamma Sang Buddha. Karena kagum, selesai dhammassavana mereka banyak dana paramita, namun tidak lama kemudian mereka sudah melupakan dhamma dan kembali pada keyakinan semula.

Delapan bulan kemudian Sang Buddha datang lagi di Savatthi dan hartawan Anathapindika mengajak lagi 500 sahabat yang sama untuk mendengarkan dhamma. Saat itulah dhamma dapat diresapi oleh mereka dan 500 sahabat Anathapindika meninggalkan pandangan salah.
 Sang Buddha kemudian menjelaskan bahwa sejak masa lampau orang yang memiliki pandangan salah dimangsa yakkha di hutan rimba, sebaliknya yang mengerti pandangan benar selamat. Setelah ditanya Anathapindika, Sang Buddha menceriterakan kelahiran lampau sebagai “saudagar cerdas” di Benares yang memiliki 500 kereta. Pada waktu dan tempat yang sama ada “saudagar dungu” yang juga mempunyai 500 kereta.

Ketika diajak berjalan bersama, Sang Bodhisatva merasa bahwa apa yang direncanakan rekannya tidak tepat sehingga keduanya memilih cara berbeda pergi ke suatu tempat. “Saudagar dungu” merasa gembira mendapat kesempatan pergi lebih dahulu. Dia mengira akan memperoleh barang dagangan berupa rempah rempah berkualitas bagus. Dalam perjalanan, “saudagar dungu” bertemu seorang “raja” dengan berhias bunga segar dengan tubuh & rambut yang basah kuyup, “Raja” tersebut meminta “saudagar dungu” membuang semua air persediaan agar beban perjalanan menjadi ringan. “Saudagar dungu” menuruti permintaan tersebut. Ternyata “raja” tersebut adalah jadi-jadian yakkha yang kemudian memangsa “saudagar dungu” beserta semua pengikutnya dalam perjalanan di tengah hutan karena kehausan dan kelaparan.

 Ketika waktu berikunya “saudagar cerdas”, ~ kelahiran Sang Bodhisatva masa lampau ~ bertemu hal yang sama di tepi hutan dia tidak mau mengikuti anjuran membuang persediaan air karena secara logica hutan tersebut gersang. Juga dirasakan ada suasana jahat membujuknya agar mendapat celaka. Di tengah hutan, ditemukan 500 kereta dan tulang belulang sisa santapan yakkha. Sang “saudagar cerdas” sampai ke tujuaan, lancar bertransaksi dan pulang kembali ke Benares, Kereta kudanya membawa keuntungan berlimpah dan anakbuahnya kembali dalam keadaan sehat dan bugar.

 Ceritera ini diambil dari kisah pertama Jataka berjudul “Apannaka Jataka”, kisah pertama dari seluruh ceritera Jataka yang konon jumlahnya 550, sedangkan Ehipassiko Foundation berhasil mendapatkan 547. Kalau dicari, “Apannaka Jataka” adalah panel pertama yang terlukis sebagai rentetetan Jataka pada dinding Candi Borobudur.

Ceritera ini mengingatkan kita agar cermat menganalisa apapun dalam kehidupan karena punya bekal pengetahuan serta pengertian yang benar. Kalau kita amati orang di sekitar kita, banyak diantaranya yang merasa “sok tahu”, berarti dia tidak tahu. Orang demikian kalau bertanya sudah punya anggapan akan jawab yang disampaikan lawan bicaranya. Bila ternyata jawabnya tidak sama, dia lebih mempercayai anggapannya sendiri sehingga sasaran pertanyaannya tidak berguna. Dia tidak mendapat manfaat dari jawab yang didengarnya.

Setiap orang yang bertanya, hendaknya menyimak dan menganalisa jawab dari lawan bicaranya. Setelah itu barulah disimpulkan kebenarannya. “Apannaka Jataka” menyampaikan pesan ini, suatu pesan moral yang seyogyanya merubah setiap manusia yang punya pandangan salah.
 Begitu juga ketika kita masuk ke dhammasala, wajib melepaskan semua kilesa sehingga batin kita bagaikan gelas kosong yang siap diisi. 

Setelah itu, kita kaji isi dhammadesana secara cermat, melakukan ehipassiko sehingga jadi “orang cerdas” yang punya prinsip, bukannya acuh tak acuh terhadap sekitarnya yang masih diliputi avijja, tapi bertindak untuk bantu mencerahkan mereka yang masih dalam kegelapan.
 Sabbe satta bhavantu sukkhitattã

Semoga semua makhluk berbahagia ~ sadhu, sadhu, sadhu !
ringkasan dhammadesana (khotbah) di Vihara BUDDHAGAYA Watugong
Semarang, 13 Maret 2016

[caption caption="saudagar cerdas"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun