Mohon tunggu...
D. Henry Basuki
D. Henry Basuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Kerinduan akan bersatunya seluruh lapisan masyarakat dalam suasana damai menjadikan tekun dalam Interfaith Comitte Kota Semarang (IFC), Hati Nurani Interfaith Forum (Hanif), Paguyuban Manusia Ranah Semesta (PAMARTA), Forum Keadilan dan Hak Azasi Umat Beragama (Forkhagama) serta Bhinneka Swa Budaya Nusantara (BSBN) Kiprah sebagai Pandita Agama Buddha dalam MAGABUDHI (Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia) bukan melulu melaksanakan pembinaan agama Buddha di pedesaan Jawa Tengah, namun berusaha mengembangkan serta memelihara budaya lokal maupun budaya nasional Indonesia yang pluralis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Asita

23 Maret 2016   10:36 Diperbarui: 23 Maret 2016   22:01 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Asita"][/caption]Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammă Sambuddhassa (3x)

“Yathã’pi rahado gambiro ~ Vippasano anãvilo
 Evam dhammãni sutvãna ~ Vippasidani panditã

 Seperti air di laut yang dalam jernih dan tidak bergelombang,
 demikian pula orang bijaksana menjadi tenang dan tentram setelah
 mendengarkan dhammma
                                                   (Dhammapada 6:7 = 82)

Masih dalam suasana gembira atas kelahiran Pangeran Siddhartha, Raja Suddhodana mengundang para brahmana ke istana. Yang hadir tidak direncanakan berjumlah 108. Itulah sebabnya hingga sekarang angka 108 dianggap: angka keramat dalam kehidupan beragama Buddha.
Salahseorang brahmana petapa yang hadir adalah salah seorang guru dari Raja Suddhodana bernama Asita yang juga dikenal dengan nama Kaladevala. Setelah berbasa basi antara raja dan sang guru, Pangeran Sidharttha digendong keluar untuk dilihat oleh Asita. Di luar dugaan, kaki Pangeran tiba-tiba berada pada kepala Petapa Asita. Raja sangat terkejut menganggap peristiwa ini tidak sopan, namun Asita justru merapatkan kedua telapak tangan beranjali pada bayi Pangeran. Tanpa disadari, ternyata Raja Suddhodana juga melakukan hal yang sama, suatu kejadian yang menyalahi “tradisi”

 Petapa Asiita segera merasakan kekuatan luar biasa pada diri Pengeran Siddhartha, Bodhisatva yang lahir dari Surga Tavatimsa, Suasana “menccekam”, hening penuh penantian akan sesuatu yang akan terjadi lagi. Petapa Asita Kaladevala memeriksa tanda-tanda tubuh bayi agung Kerajaan Kapilawasthu di daerah pengunungan bersalju ini. Dia paham bahwa bayi ini akan menjadi samma sambuddha, memperoleh Penerangan Agung yang kemudian mengajarkan Hukum Kesunyataan pada semua makhluk agar bebas dar penderitaan. Memahami ha tersebut Asita tertawa, tak lama kemudian menangis tersedu sedu,

 Suasana istana segera berubah. Sebagian mengira bahwa Asita menangis karena akan ada bahaya di istana maupun Kerajaan. Setwlah suasana kembali tenang Asita menjelaskan bahwa dia tidak “melihat” akan ada bahaya. Bangsa dan Negara aman terkendali. Dijelaskan bahwa dia tertawa karena Pangeran Siddhartha akan menjadi Buddha, mengajarkan pada semua makhluk untuk bebas dari “penderitaan”. Asita sangat gembira bahwa seorang calon Buddha telah lahir, namun dia menangis karena usianya tidak dapat ikut mendengarkan pembabaran dhamma yang sangat berharga dikemudian hari.

 Pada lunjungan ini, Pertapa Asita menyampaikan penjelasan tentang arti dari 32 tanda Makhluk Agung pada diri Pangeran Siddhartha. Setelah Raja Suddhodana mendengar penjelasan ini, ia merasa puas dan bahagia, serta menggendongnya dengan gembira.
Asita bangkit dari duduknya, bernamaskara terhadap Bodhisatva,melantunkan seloka demikian:
"Engkau yang disembah oleh
semua dewa bersama-sama Indra,
juga dihormati para resi,
Tabib bagi seluruh semesta, demikian pula denganku,
bersujud di hadapanmu, oh Pelindung!"

 Kisah Asita ini tercantum dalam Lilitavistara, kitab yang memuat riwayat hidup Sang Buddha Gotama. Terukir pada dinding sebelah barat Candi Borobudur panel ke 31. Dinding ini maih masuk pada bagian rupa dhatu seperti halnya relief yng berisi Jataka.
 Makna dari kisah ini adalah keselarasan dalam hidup. Kita tidak mengalami kegembiraan terus menerus dan tidak mengalami kesedihan terus menerus, Itulah corak upekkha yg harus kita alami selama mengalami kelahiran, berproses dan kematian.
Keadaan demikian diungkapkanoleh Asita, Guru Raja Suddhodana penguasa kerajaan. Masyarakat hormat padanya dan dia menunjukkan perilaku yang diamati oleh masyarajat sekelilingnya.
Betapa agung seorang Pangeran sehingga brahmana kraton menyampaikan hormat beranjali bahkan diikuti oleh raja yang sebenarnya ayah dari bayi Bodhisatva.

Ini juga keteladanan saling menghargai dalam kehidupan, pada mana secara bijak kita tahu posisi atau kedudukan setiap orang, bukannya asal asalan terhadap pihak lain.
 Semoga dengan pencaran netta, karuna, mudita dan upekkha kita hidup bahagia sejahtera.
Sabbe satta bhavantu sukkhitattã
Semoga semua makhluk berbahagia ~ sadhu, sadhu, sadhu !

ringkasan dhammadesana (khotbah) di Vihara TANAH PUTIH
Semarang, 17 Januari 2016

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun