Pembaca buku, generasi 80-90an, dapat dipastikan mengenal Gol A Gong. Dari yang sekadar tahu nama, maupun yang betul-betul mengikuti karyanya. Aku sendiri tak cukup tahu karya Gong pada masa itu. Lingkungan terdekatku lebih banyak bersentuhan dengan karya penulis satu generasinya, Hilman Hariwijaya, dengan Lupus-nya. Maka, begitu mencoba mengenal lebih dekat Gol A Gong dan karyanya, cuma satu kata yang cukup mewakili: edan! Biarlah kata "luar biasa" menjadi milik para motivator saja.
Iya, betul, "edan" itu kata yang tepat disematkan kepada Gol A Gong. Bayangkan, hanya dengan satu tangan, ia telah melahirkan 126 buku, terhitung sejak usianya 26 tahun, hingga terakhir, tepat 60 tahun pada 15 Agustus lalu. Buku terbarunya, "I Am A Survivor" dirilis di Bandung hanya selang beberapa hari dari perayaan ulang tahunnya.
Yang unik, melalui buku terbarunya ini, Gol A Gong berniat menuntaskan janjinya kepada sang istri pada awal pernikahan.
"Jadi, waktu saya melamar Tias (istrinya, red), saya sodorkan beberapa maskawin seperti perhiasan dan uang. Tias langsung menolak benda-benda yang harganya tak seberapa itu. Lalu waktu saya tawari perpustakaan sebagai maskawin, dia mau. Tapi masih mau ditambahi. Saya kasih tambahan 'jalan-jalan, backpaker-an ke luar negeri dengan cara dicicil', dia langsung terima," ungkap Gong saat peluncuran buku I Am A Survivor, Sabtu (19 Agustus 2023), di sebuah kafe di bilangan Bandung utara.
Perihal "maskawin" ini mewarnai sebagian besar bab dalam buku ini. Di antara kisah-kisah lain, yang menjadi pengalaman hidup Gol A Gong.
Menjadi Seorang Survivor dengan Dukungan Orang Tua yang Hebat
Mengapa ia menyebut diri survivor? Sebagai seorang dengan hanya satu tangan, Gol A Gong jelas seorang survivor. Tapi lebih dari itu, ia telah mengalami banyak masalah kesehatan. Sebelum sampai pada momentum kebuntungan tangan kirinya, ia sudah beberapa kali masuk rumah sakit. Tentu saja bukan kasus yang ringan, jika ada bagian di kepalamu yang harus dijahit.
Sedari kecil benak Gong dipenuhi imajinasi. Kemampuannya itu makin terpupuk sejak peristiwa kecelakaan yang memaksanya kehilangan sebelah lengan. Ayahnya mengenalkannya pada lebih banyak bacaan. Gol A Gong menyebut dirinya punya gangguan di kepala. Dan ia memahfumi, tindakan ayahnya yang menyuruhnya membaca adalah semata sebagai cara sang ayah mengobati "gangguan" di kepalanya. Apa yang dilakukan sang ayah memberikan andil yang besar dalam kerja kreatif Gong di tahun-tahun setelahnya.
Membaca pola asuh yang diterapkan orang tua Gong, tak ayal membuatku tersentuh, terpukau, terpikat, ah, entah istilah apa yang lebih tepat. Kurasa, bukan semata karena kedua orang tua Gong adalah kalangan terdidik. Lebih dari itu, menurutku mereka adalah orang-orang dengan kelapangan dada dan keluasan pikir. Membaca beberapa contoh interaksi antara Gong dengan Bapak dan Emaknya, membuatku ikut bahagia. Orang tua-orang tua seperti Bapak dan Emaknya Heri -nama kecil Gol A Gong- inilah yang bisa melahirkan anak-anak yang kuat, percaya diri, dan kreatif. Cukuplah aku ikut berbahagia tanpa perlu beranda-andai.
Tak heran, jika dalam perjalanannya, hanya dengan memiliki satu tangan, kreativitas Gong tak terhentikan. Melakukan perjalanan, mencatatkannya dalam berjilid-jilid buku, lantas memprosesnya menjadi novel yang di kemudian hari menjadi semacam "manual book" anak-anak muda yang memilih jalur petualang.
Tak heran pula, jika di masa usia melewati setengah abad, dengan penyakit lain yang menyambangi, tak menyurutkan langkah Gong untuk berkarya. Tahun 2021 ia mendapat tugas sebagai Duta Baca Indonesia, melanjutkan pengemban sebelumnya, Najwa Shihab. Langkah yang diambil pun tak biasa, mengenalkan dunia literasi melalui pelatihan menulis yang dilakukan di segenap penjuru tanah air. Berbagai program literasi sudah dilaksanakan dalam masa tugasnya. Jejaknya dapat dilihat di berbagai kota di tanah air, dan masih akan bisa dijumpai hingga purna tugasnya pada 2026 mendatang.
Perjalanan Menuju Balada si Roy
Buku ini terbagi dalam 12 bagian, dengan total 35 bab. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa apa yang diceritakan Gong dalam buku ini adalah proses kreatif dia dalam melahirkan Balada si Roy (BSR).
Gol A Gong mengangankan kisah yang akan ditulisnya itu sejak tahun 1981. Ketika ia berusia 18 tahun. Berbagai macam bacaan yang dikunyahnya sedari bocah telah memperkaya khasanah imajinasinya. Namun bukan Gong jika idenya ide yang biasa. Ia tak mau merawi cerita yang biasa saja. Ia ingin menampilkan sosok yang berbeda. Untuk menemukan sosok yang tepat, ia perlu melakoni sendiri kisah si sosok petualang tersebut.
Gong mengawali perjalanannya dengan kabur dari rumah. Tanpa pamit. Di masa jelang ujian akhir sekolah. Perjalanan berikutnya, sudah dengan persetujuan kedua orang tuanya. Kali ini tak hanya dalam hitungan hari, melainkan bulan, bahkan tahun. Ia rela melepaskan pendidikan tingginya. Hasilnya adalah berjilid-jilid catatan perjalanan yang kemudian menjadi cikal bakal BSR dan beberapa kisah lainnya.
Â
BSR pertama kali muncul di Majalah HAI pada 1988. Artinya, tujuh tahun dari kali pertama Gong mengangankan sosok imajinasinya tersebut. Sebuah kurun waktu yang panjang hingga menjadikan tokoh olahannya itu matang. Roy, sosok yang kemudian menjadi panutan remaja masa itu. Anak yang bandel namun punya sikap, dan ... rajin membaca! Bukan sekadar bandel yang ngawur. BSR menjadi serial yang ditunggu dari majalah terbitan Gramedia itu.
Yang menarik adalah fakta bahwa hingga hari ini para penggemar BSR masih bertahan. Berbeda dengan serial lain yang juga berjaya pada dekade 80-90an, para penggemar BSR masih guyup dalam wadah komunitas. Mereka menamakan dirinya "Sahabat Roy". BSR memang sebuah fenomena menarik dunia literasi di tanah air.
Mendapati berbagai karyanya, orang sering lupa bahwa Gol A Gong hanya berlengan satu. Bahkan mungkin banyak yang tak tahu, Gong pernah membawa nama Indonesia sebagai pemenang badminton di ajang Asian Para Games. Pada 1986 ia menyabet tiga emas untuk permainan single, beregu, dan double. Sedangkan pada 1989 dan 1990, dia menjadi juara se-Asia di Fespic Games di Solo dan Kobe-Jepang. Soal badminton juga mewarnai banyak bab dalam buku ini.
Gong seolah tak terhentikan. Hal yang bisa jadi membuat rikuh kita yang memiliki tangan lengkap. Masa hanya bisa bersedekap? Masa hanya bisa sibuk dengan gawai? Masa sedikit mengalami kesulitan saja sudah langsung berkesah? Dan lelaki berlengan satu itu kini tengah berusaha melunasi janji pernikahannya dengan Tias Tatanka, yakni melakukan perjalanan keliling dunia, yang kali ini diagendakan ke negara-negara di Eropa. Tak sekadar perjalanan, berbagai agenda kampanye literasi sudah ia siapkan.
"Aku yakin, Allah akan memudahkan, karena niatku ingin membahagiakan istri. Juga ingin melihat alam semesta dan aneka suku bangsa ciptaan-Nya. Aku sedang bertasbih untuk-Nya." Demikian niat yang disampaikan Gol A Gong. So sweet, nggak, sih?
Judul: I Am A Survivor
Penulis: Gol A Gong
Penerbit: Epigraf, Cetakan Pertama, 2023
ISBN: 978-623-7285-41-0
Tebal: 200 halaman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H