Matahari sudah agak condong ke barat, saat kami -aku, Dadang Reborn, Misbahus Surur, dan Nurani Soyomukti- melewati area ini. Belum terlalu sore tapi tengah hari sudah terlewati. Pada kemiringan ini cahaya selalu memberi efek dramatis pada setiap objek yang disentuhnya. Begitupun pada peristiwa sore itu. Pada sebuah tikungan kami ‘dipaksa’ berhenti oleh suguhan pemandangan ini: Semilir angin bergerak dari timur. Lirih menghampiri jajaran akasia yang perkasa oleh usia. Lalu meluruhkan daun-daun keringnya. Cahaya memberikan warna yang berbeda pada tiap helainya, saga. Dan daun-daun saga itu pun seolah telah memilih jalannya. Masing-masing; tanpa berbenturan. Pelan bergerak, meluncur, berputar, meliuk, menari. Hingga gravitasi menarik mereka, lembut mencium bumi.
Mempesona. Tontonan mewah buatku yang menghabiskan sebagian besar waktu di antara bangunan angkuh kota. Dan sebuah melodi mengalun lirih. Are you going to Scarborough Fair?/ parsley, sage, rosemary, and thyme/ Remember me to one who lives there/ for once she was a true love of mine// Scarborough Fair adalah folk song yang dibawakan dengan indah oleh duo Simon and Garfunkel pada dekade 60-an. Ada pengulangan yang menarik pada lagu ini. Di setiap baris kedua dari 10 bait lagu ini memuat kalimat yang sama: Parsley, sage, rosemary, and thyme. Terdengar seperti mantra yang terus dieja ulang. Tentu saja kota pelabuhan nun jauh di belahan benua Eropa itu tak ada sangkut pautnya dengan Bendungan, salah satu dari 14 kecamatan di Trenggalek, kota kelahiranku. Parsley, sage, rosemary, dan thyme pun hanya ada di negeri empat musim tersebut. Namun penyebutan keempat nama tanaman itu sebagai penggambaran spiritualitas, kenangan, cinta, kekuatan, keberanian, dan keteguhan hati, mencipta suasana yang berbeda. Melodi yang indah dengan lirik penuh makna. Dan melodi ini nyaris selalu muncul tiap aku berjumpa dengan keindahan alam yang membuatku tercengang takjub sekaligus nelangsa. Keindahan yang mengharukan. Baiklah, kawan, kita tinggalkan romantisme balada dari tahun yang lama terlewati. (Sambil sedikit bertanya: mengapa kita tak bisa melagukan keindahan alam dalam simbol yang sederhana tapi sarat makna seperti itu?) Mari kita lanjutkan perjalanan. Perjumpaan dengan tarian daun tadi adalah sebuah ketidaksengajaan yang sangat menyenangkan buatku. Karena sebetulnya kami terlalu jauh mengambil jalan, alias kebablasan
“OCTR001 No 19780 d d 16 Maart 1929 NV stoomwerkplaats SMEROE Malang Kottalama.” Tak kutemukan penjelasan apapun juga tentang tulisan tersebut. Sebuah bangunan cukup mentereng terlihat pada arah seberang agak jauh. Wisma Wilis. Lumayan penasaran. Namun sudah saatnya untuk bergegas kembali ke arah kota. Maka kami pun meninggalkan samar aroma kopi dari masa lalu. Pada sebuah persimpangan kami berhenti. Warung sederhana menanti. Lalu nasi gegog pun tersaji.
Sebuah perjalanan pendek yang mengendap dalam ingatan. Jalanan mulus dengan kelok dan turunan-tanjakan tajam. Pada tepiannya, daun aneka pepohonan luruh, bersekutu tanpa perlu bertanya muasalnya. Alam bernyanyi dengan caranya sendiri. Aku lebur dalam resonansi. Ekstase singkat yang membuatku menjerit kegirangan. Ah, suatu kali aku musti kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H