Mohon tunggu...
Dhenok Hastuti
Dhenok Hastuti Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger

penyayang binatang, penikmat kopi, penyuka musik dan film, pembaca buku yang buruk, dan penulis yang terus belajar; mari berkunjung ke rumahku: http://www.dhenokhastuti.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

(Mengenang) Sebuah Perjalanan di Kampung Halamanku

13 Agustus 2013   12:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:22 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari sudah agak condong ke barat, saat kami -aku, Dadang Reborn, Misbahus Surur, dan Nurani Soyomukti- melewati area ini. Belum terlalu sore tapi tengah hari sudah terlewati. Pada kemiringan ini cahaya selalu memberi efek dramatis pada setiap objek yang disentuhnya. Begitupun pada peristiwa sore itu. Pada sebuah tikungan kami ‘dipaksa’ berhenti oleh suguhan pemandangan ini: Semilir angin bergerak dari timur. Lirih menghampiri jajaran akasia yang perkasa oleh usia. Lalu meluruhkan daun-daun keringnya. Cahaya memberikan warna yang berbeda pada tiap helainya, saga. Dan daun-daun saga itu pun seolah telah memilih jalannya. Masing-masing; tanpa berbenturan. Pelan bergerak, meluncur, berputar, meliuk, menari. Hingga gravitasi menarik mereka, lembut mencium bumi.

pada jalan ini kulihat dedaunan menari

Mempesona. Tontonan mewah buatku yang menghabiskan sebagian besar waktu di antara bangunan angkuh kota. Dan sebuah melodi mengalun lirih. Are you going to Scarborough Fair?/ parsley, sage, rosemary, and thyme/ Remember me to one who lives there/ for once she was a true love of mine// Scarborough Fair adalah folk song yang dibawakan dengan indah oleh duo Simon and Garfunkel pada dekade 60-an. Ada pengulangan yang menarik pada lagu ini. Di setiap baris kedua dari 10 bait lagu ini memuat kalimat yang sama: Parsley, sage, rosemary, and thyme. Terdengar seperti mantra yang terus dieja ulang. Tentu saja kota pelabuhan nun jauh di belahan benua Eropa itu tak ada sangkut pautnya dengan Bendungan, salah satu dari 14 kecamatan di Trenggalek, kota kelahiranku. Parsley, sage, rosemary, dan thyme pun hanya ada di negeri empat musim tersebut. Namun penyebutan keempat nama tanaman itu sebagai penggambaran spiritualitas, kenangan, cinta, kekuatan, keberanian, dan keteguhan hati, mencipta suasana yang berbeda. Melodi yang indah dengan lirik penuh makna. Dan melodi ini nyaris selalu muncul tiap aku berjumpa dengan keindahan alam yang membuatku tercengang takjub sekaligus nelangsa. Keindahan yang mengharukan. Baiklah, kawan, kita tinggalkan romantisme balada dari tahun yang lama terlewati. (Sambil sedikit bertanya: mengapa kita tak bisa melagukan keindahan alam dalam simbol yang sederhana tapi sarat makna seperti itu?) Mari kita lanjutkan perjalanan. Perjumpaan dengan tarian daun tadi adalah sebuah ketidaksengajaan yang sangat menyenangkan buatku. Karena sebetulnya kami terlalu jauh mengambil jalan, alias kebablasan

:)
:)
Maka berbalik-arahlah kami menuju jalan yang seharusnya dituju. Tak jauh berbeda, jalan menyimpang menuju ex-pabrik kopi dihuni pepohonan aneka jenis. Setidaknya 8 macam tanaman besar yang bisa kuidentifikasi dari jarak berkendara. Pada beberapa titik tampak pohon pinus bertumbangan. Ada tanda dibakar dan dipotong. Entah, untuk tujuan apa. Mungkin sebentar lagi akan berganti rupa? Yang agak mengherankan adalah aku tak berpapasan dengan satu pun kendaraan umum. Lantas terjawab: dulu pernah ada tapi kemudian banyak yang lebih memilih sepeda motor pribadi sebagai kendaraan. Hmm..tentu saja bicara soal sarana transportasi umum berkaitan pula dengan kebijakan pemerintah. Pun dengan rencana jangka panjang wilayah ini. Pastinya ini akan jadi diskusi panjang. Tak lama berselang kami jumpai kandang sapi perah pada sisi kiri jalan. Baru tau, ada penghasil susu juga ternyata di Trenggalek. Sekilas mengingatkanku pada satu kawasan di Temanggung, Jawa Tengah, tempat aku pernah sejenak mengheningkan diri (baca: Berwisata Religi di Pertapaan Rawaseneng). Kurasa tempat yang dituju tak akan lama lagi. Dan betul, tak sampai setengah kilometer tampak berdiri bangunan di seberang sungai. Hanya satu gedung yang tampak utuh. Selebihnya adalah bangunan lapuk tak terawat. Atap compang-camping dan semak tinggi. Dinding pada sebagiannya telanjang, dengan bata merah yang telah dihuni lumut. Gedung yang masih utuh rupanya memang baru direhab pada 2011 lalu. Entah untuk tujuan apa dilakukan perbaikan karena tak ada aktivitas apapun hingga kunjunganku hari itu. Bangunan tersebut tak berpintu. Tampak 4 lubang, dengan 2 lubang di sisi kiri dan 2 di kanan. Tanpa penerangan dan tanpa aktivitas, hanya kujumpai pengap di dalamnya. Enam besi berongga membentang sejajar di tengah bangunan. Setengah berkarat. Penyangganya berupa susunan batu bersemen. Segera bergegas meninggalkan gedung berongga, seram juga membayangkan ada ular menyelinap dari antara semak di balik dindingnya. Ke arah bawah atau depan gedung ini terlihat turbin besar. Turbin air ataukah pemilah biji kopi? Entah. Tapi kolam-kolam di depan bekas bangunan ini mengingatkanku pada waterplant. Untuk pengolahan air sendiri atau sebagai sumber energi? Ah, lagi-lagi tak ada referensi yang menjelaskan itu. Bisajadi kolam-kolam itupun masih berkaitan dengan pengolahan kopi. Lalu pada satu bagian sebuah mesin -dengan cat hijau baru yang sangat mengganggu- kutemukan ini.

mesin tua dalam balutan cat masa kini. aneh.

“OCTR001 No 19780 d d 16 Maart 1929 NV stoomwerkplaats SMEROE Malang Kottalama.” Tak kutemukan penjelasan apapun juga tentang tulisan tersebut. Sebuah bangunan cukup mentereng terlihat pada arah seberang agak jauh. Wisma Wilis. Lumayan penasaran. Namun sudah saatnya untuk bergegas kembali ke arah kota. Maka kami pun meninggalkan samar aroma kopi dari masa lalu. Pada sebuah persimpangan kami berhenti. Warung sederhana menanti. Lalu nasi gegog pun tersaji.

menyantap nasi gegog

Sebuah perjalanan pendek yang mengendap dalam ingatan. Jalanan mulus dengan kelok dan turunan-tanjakan tajam. Pada tepiannya, daun aneka pepohonan luruh, bersekutu tanpa perlu bertanya muasalnya. Alam bernyanyi dengan caranya sendiri. Aku lebur dalam resonansi. Ekstase singkat yang membuatku menjerit kegirangan. Ah, suatu kali aku musti kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun