Jokowi) untuk mencapai swasembada gula dan bioetanol kini menarik perhatian publik, khususnya masyarakat di merauke. Dengan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023, Jokowi menginisiasi pembangunan perkebunan tebu di Merauke, Papua Selatan, seluas 2,29 juta hektare. Targetnya adalah memperluas areal perkebunan tebu hingga 700 ribu hektare, dengan Bahlil Lahadalia, sebagai ketua satuan tugas untuk proyek ini.
Proyek besar yang dicanangkan oleh pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2024 menekankan pentingnya percepatan swasembada gula dan bioetanol, termasuk penyiapan lahan perkebunan tebu dan pabrik bioetanol seluas 1,11 juta hektare. Namun, proyek ini juga mengakibatkan kerusakan hutan di Papua Selatan, dengan ratusan ribu hektare hutan dibabat untuk lahan pertanian baru.
Proyek ini mendapat perhatian khusus terkait dampak ekologis yang ditimbulkan. Laporan dari Koran Tempo berjudul "Kongsi Sepuluh Raja Gula di Food Estate" mencatat bahwa proyek ini meliputi 19 dari 22 distrik di Merauke. PT Global Papua Abadi, salah satu perusahaan yang terlibat, melakukan pembukaan lahan besar-besaran dengan subkontraktor PT Myesha Shafiyah Gemilang (MSG) yang bertugas meratakan hutan. Proses ini menghasilkan kerusakan yang signifikan, dengan banyak kayu besar ditebang.
Untuk mengatasi dampak lingkungan, Kementerian Investasi dan PT Global Papua Abadi bekerja sama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk menyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang akan fokus pada perkebunan tebu di kluster 3 seluas 600 ribu hektare. Peneliti IPB, Selamet Kusdaryanto, menjelaskan bahwa kajian ini bertujuan untuk meminimalisir dampak kerusakan lingkungan.
Dokumen KLHS menunjukkan bahwa PT Global Papua Abadi berencana membangun pabrik tebu dengan kapasitas giling 80 ribu ton per hari, yang juga akan memproduksi biogas dan etanol. Proyek ini diperkirakan akan memberikan dampak ekonomi signifikan bagi Papua Selatan, tetapi perlu regulasi lingkungan yang ketat.
Keterlibatan Uskup Agung Merauke dalam Perusakan Hutan Adat
Sikap dan pernyataan Uskup Agung Merauke dalam beberapa tahun terakhir dianggap bertentangan dengan Misi Ajaran Kristen Katolik di kalangan masyarakat adat. Ironisnya, Uskup Agung Merauke tampak menerima dana besar dari perusahaan perkebunan sawit yang merampas tanah dan hutan adat, serta merusak ekosistem di wilayah masyarakat adat Papua yang beragama Katolik.
Lebih jauh, Uskup Agung Merauke menyebut proyek strategis nasional sebagai upaya untuk "memanusiakan manusia," meskipun jelas bahwa masyarakat adat di daerah tersebut tidak memiliki budaya menanam padi dan tebu. Ketika beliau membuka kantor Keuskupan untuk militer Indonesia, yang menjalankan proyek strategis nasional, beliau mengabaikan keluhan masyarakat adat tentang perampasan tanah mereka. Ini menunjukkan adanya agenda yang berpotensi melanggar hak asasi masyarakat adat Papua selatan.
Uskup Agung Merauke dan Budaya Umat Katolik
Masyarakat adat Marind, yang merupakan bagian dari umat Katolik di Keuskupan Agung Merauke, memenuhi kebutuhan pokok mereka dengan berburu dan mengumpulkan hasil hutan sesuai tradisi. Praktik ini menciptakan hubungan harmonis antara mereka dan alam, dengan aturan adat yang mengatur pemanfaatan sumber daya.
Pernyataan Uskup Agung Merauke tentang proyek strategis nasional menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap budaya umat Katolik di daerahnya. Beliau, yang sebelumnya menjabat sebagai Uskup Amboina, lebih mengenal budaya Menado daripada budaya masyarakat Marind di Papua. Sikap mendukung proyek tersebut dianggap menghina budaya berburu dan meramu yang penting bagi kehidupan masyarakat Marind. Oleh karena itu, Uskup Agung Merauke seharusnya meminta maaf kepada umat Katolik di Keuskupan Merauke dan menarik pernyataannya tentang proyek tersebut.
Uskup Agung Merauke dan Teori Inkulturasi
Pandangan Uskup Agung Merauke mengenai proyek strategis nasional sangat bertentangan dengan teori inkulturasi, yang merupakan metode adaptasi ajaran Gereja Katolik dalam konteks budaya non-Kristiani. Inkulturasi telah berhasil mengintegrasikan masyarakat Marind dengan tradisi Kristen, namun dukungan Uskup Agung terhadap proyek tersebut menunjukkan pengabaian terhadap prinsip-prinsip inkulturasi.
Uskup Agung Merauke dan Ensiklik Laudato Si
Sikap Uskup Agung Merauke yang mendukung proyek sawit dan tebu jelas akan merusak hutan dan merampas tanah adat masyarakat Animha. Ini bertentangan dengan ajaran ensiklik Laudato Si dari Paus Fransiskus, yang menekankan pentingnya menjaga ciptaan dan ekosistem. Sikap ini mencerminkan dukungan terhadap kepentingan perusahaan dan negara, sementara mengabaikan nilai-nilai yang diajarkan dalam Laudato Si. Tindakan Uskup Agung Merauke menunjukkan lebih banyak dukungan kepada perusahaan perampas tanah adat dan militer Indonesia daripada kepada masyarakat adat Papua dan hak-haknya. Ketidakmampuannya untuk mendengarkan keluhan masyarakat menunjukkan risiko besar bagi umat Katolik di wilayah tersebut. Oleh karena itu, Uskup Agung Merauke seharusnya diemerituskan dari jabatannya agar tidak melanggar prinsip-prinsip inkulturasi dan ajaran Laudato Si.
Penulis: Delvis Sonda (Ketua PMKRI Cabang Jakarta Timur)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H