Mohon tunggu...
Delvis Sonda
Delvis Sonda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ekofeminisme: Kerusakan Alam Papua Selatan dan Dampak terhadap Perempuan

16 Mei 2024   03:53 Diperbarui: 16 Agustus 2024   16:38 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: Mongabay.com

Provinsi Papua selatan merupakan kawasan yang kaya dengan ekologi yang meliputi berbagai ekosistem dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, mulai dari hutan mangrove rawa dan lahan basah, sampai sabana dan hutan yang lebat. Bagi masyarakat asli merauke termasuk suku Marind Anim, hidup bukan hanya dari hasil alam tetapi juga hidup bersama alam, menganggap alam sebagai ibu yang memberikan kehidupan. Hutan juga sebagai surga karena hidup mereka sangat bergantung terhadap hutan, hutan merupakan bagian dari produksi dan reproduksi Masyarakat asli merauke, sehingga praktik pengelolaan hutan yang dilakukan oleh OAP merupakan praktik yang berusaha menjaga atau mempertahankan kelestarian hutan.

Hutan merupakan bagian penting dan tak terpisahkan dari kebutuhan seluruh umat manusia, namun dalam beberapa dekade terakhir ini krisis hutan mulai meningkat diberbagai penjuru dunia hingga menjadi suatu fenomena global. Krisis hutan ini bahkan turut dirasakan oleh masyarakat Papua selatan yang terkenal dengan kawasan hutannya yang luas dan tropis. Namun sekarang tingkat deforestasi hutan di Papua selatan yang terjadi terus mengalami peningkatan sejak tahun 2001 sampai sekarang, dan deforestasi terbesar terjadi di wilayah Merauke.

Wilayah yang terkenal sebagai tempat tangkapan karbon di bagian Timur Indonesia, surga bagi keanekaragaman flora-fauna dan kaya akan kebudayaan local bagi masyarakat asli papua selatan. Namun sejak beberapa tahun terakhir, keindahan hutan-hutan yang berdiri kokoh dan tanah masyarakat asli Papua selatan telah beralih fungsi menjadi hutan industry demi keperluan ekspansi bisnis dan memenuhi permintaan pasar global. Akibatnya, beberapa tempat penting bersejarah rusak karena penggundulan dan penggusuran yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing yang datang. Hal ini mejadikan hutan industry mampu menjadi ancaman bagi keberlangsungan hutan hujan di Papua selatan.

Hal ini dikeluhkan oleh perempuan asli papua selatan karena merasa bahwa hutan yang menjadi tempat mereka untuk mencari makan demi kelangsungan hidup telah berubah menjadi perkebunan sawit. Disisi lain kehadiran perusahaan menjadi sebuah peluang yang baik bagi sebagian perempuan untuk merubah keadaan ekonomi. Namun sebagian lainnya dari perempuan asli papua selatan yang cukup terdampak oleh krisis hutan harus memikul peran ganda yang lebih berat. Karena memiliki kedekatan dengan alam, perempuan cenderung dikaitkan dengan kegiatan menanam dan memanen buah serta sayur untuk dikonsumsi, sedangkan laki-laki akan pergi berburu hewan. Akibat pengaruh budaya patriarki, perempuan masih harus memiliki tanggung jawab lain yaitu mengurus rumah tangga, melayani suami, merawat anak, melahirkan anak hingga memelihara ternak. Hal ini tentunya semakin tidak mudah mengingat banyak hutan yang merupakan sumber penghidupan telah beralih menjadi perkebunan sawit.

Dampak dari krisis hutan terhadap perempuan di papua selatan dalam perspektif ekofeminisme. Perambahan hutan yang terus terjadi demi kepentingan elit politik membuat masyarakat kecil khususnya perempuan, yang harus turut menanggung akibat dari krisis hutan tersebut. Perempuan menjadi kelompok yang paling rentan terhadap ketidakamanan akibat krisis hutan, sehingga dalam menurut ekofeminisme, keduanya dikatakan memiliki kesamaan, yaitu sama-sama mengalami opresi atau tekanan yang didominasi dilakukan oleh laki-laki. Meski pun isu lingkungan dan gender kini mulai banyak disuarakan, namun khususnya di Papua selatan belum banyak yang menyuarakan tentang hal tersebut, karena budaya patriarki yang masih sangat kuat.

Perempuan dan Alam Menurut Ekofeminisme

Perempuan dan Alam memiliki kesamaan, pertama, yaitu persamaan dalam fungsi menghasilkan. Hutan cenderung dianggap bersifat pasif, yang mana alam menghasilkan sumber daya alam yang begitu melimpah, hasil alam tersebut kemudian dimanfaatkan dan dinikmati oleh manusia. Sedangkan perempuan memiliki fungsi menghasilkan, dalam hal ini adalah fungsi reproduksi-biologis, yaitu menghasilkan keturunan yang bertujuan untuk melanggengkan keturunan, melakukan pekerjaan rumah tangga, dan menyediakan makanan yang bergantung pada alam. Antara alam dan perempuan keduanya harus sama-sama dijaga dan dilindungi untuk keberlangsungan hidup. Kedua, alam dan perempuan merupakan dua objek yang berbeda, namun keduanya mengalami penindasan. Penindasan yang didominasi dilakukan oleh kaum laki-laki. Sebagaimana perempuan saat ini sangat rentan terhadap kasus-kasus pelecehan dan juga diskriminasi. Sedangkan alam, begitu dengan mudahnya dieksploitasi oleh para pemerkosa lingkungan.

Perempuan memproduksi dan mereproduksi kehidupan tidak hanya secara biologis, tetapi juga melalui peran sosial dalam menyediakan makanan. perempuan dalam menghasilkan rezeki sebagai produksi kehidupan dan memandangnya sebagai hubungan yang benar-benar produktif dengan alam, karena perempuan tidak hanya mengumpulkan dan mengonsumsi apa yang tumbuh di alam tetapi mereka membuat segala sesuatunya tumbuh. Perempuan mentransfer kesuburan dari hutan ke ladang dan ke hewan. Mereka mentransfer kotoran hewan sebagai pupuk untuk tanaman dan produk sampingan tanaman ke hewan sebagai pakan ternak. Mereka bekerja dengan hutan untuk membawa air ke ladang dan ke keluarga mereka. Kemitraan antara pekerjaan perempuan dan alam ini menjamin keberlanjutan rezeki, dan kemitraan kritis inilah yang juga telah terbelah dimana proyek pembangunan menjadi proyek patriarki, mengancam alam dan perempuan.

Rusaknya hutan di papua selatan dalam skala besar yang mengatasnamakan pembangunan memberi dampak kepada masyarakat adat papua selatan khususnya kaum perempuan, mengingat dalam adat masyarakat papua selatan, alam memiliki hubungan dengan khusus dengan manusia. Dalam hal ini, perempuan terikat secara budaya dengan alam sehingga dapat dikatakan memiliki hubungan konseptual, simbolis dan linguistik. Keterikatan ini membuat perempuan merasakan dampak dari rusaknya hutan di Merauke yang diantaranya adalah menipisnya bahkan hilangnya bahan pangan berupa sagu yang adalah sumber karbohidrat dan merupakan makanan pokok masyarakat papua. Kehilangan lahan kebun yang selama ini digunakan untuk menanam pangan lainnya berupa sayur-sayuran, ubi dan buah-buahan. Kehilangan sumber air bersih untuk dikonsumsi karena sungai-sungai telah tercemar limbah perusahaan. Hal-hal ini membuat anak-anak kecil di Merauke mengalami gizi buruk sehingga mudah sakit hingga meninggal dunia. Beban berat ini harus dipikul oleh perempuan. Perempuan harus berpikir dan bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, harus berjalan lebih jauh untuk mencari sumber air bersih untuk dikonsumsi. Dan ketika anak sakit, perempuan harus mencari cara untuk mengobati anaknya, ini jauh lebih sulit karena kehilangan hutan berarti kehilangan apotek alam, keterbatasan fasilitas kesehatan di kampung-kampung kecil di Merauke membuat perempuan tidak bisa berharap banyak hingga memutuskan menjadi buruh lepas di area perkebunan, namun yang terjadi justru mendapati tindakan diskriminasi, pelecehan seksual dan terlilit utang.

Penulis:Delvis sonda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun