Mohon tunggu...
Dhela Seftiany
Dhela Seftiany Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad

Penulis Amatir, punya keinginan kuat untuk terus belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kasus Rektor Unila dan Refleksi Kesenjangan Pendidikan di Indonesia

26 Desember 2022   12:09 Diperbarui: 28 Desember 2022   12:17 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini, pemberitaan mengenai perkembangan kasus korupsi Rektor Universitas Lampung (Unila), Prof Karomani terkait penyuapan masuk universitas sedang ramai diperbincangkan. Kasus yang ramai pada Bulan Agustus tahun ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan dan kekayaan menjadi suatu hal berpengaruh besar terhadap seleksi masuk universitas negeri. Di lain sisi, bagi sebagian orang lainnya, jangankan untuk sekolah tinggi, bisa menyelesaikan sekolah menengah selama 9 tahun pun sudah syukur bukan main. 

Budaya suap yang mengakar di masyarakat, menjadikan semuanya terlihat mudah dilakukan, khususnya bagi mereka yang memiliki ‘uang’ dan ‘kekuasaan’. Kasus suap yang dilakukan oleh Rektor Unila memperlihatkan bagaimana hierarki dan kekuasaan yang dimiliki sebuah organisasi universitas memiliki kekuatan sendiri terhadap pemasukan ‘tambahan’ yang masuk padanya. 

Heather Sutherland dalam The Making of A Bureaucratic Elite (1979), menjelaskan bagaimana kerja sistem administrasi modern berelasi dengan adanya pola transfer kekuasaan rakyat dan penguasa.  Kumorotomo (2016) kemudian menjelaskan bahwa pola alat tukar kekuasaan ini merupakan hal standar yang wajar dalam sistem birokrasi modern di Indonesia. 

Fenomena suap dengan relasi kekuasaan yang berkaitan dengan pendidikan ini, menghilangkan esensi pendidikan di sekolah. Hallak dan Poisson (2022) mengungkapkan bahwa korupsi di sektor pendidikan dapat didefinisikan sebagai penggunaan jabatan publik secara sistematis untuk keuntungan pribadi, yang dampaknya signifikan terhadap ketersediaan dan kualitas barang dan jasa pendidikan, dan sebagai konsekuensinya terhadap akses, kualitas atau pemerataan dalam pendidikan. Sistem penerimaan yang seharusnya melalui seleksi kualitas siswa, seolah dilalui begitu saja dengan ratusan juta rupiah.

Di tengah adanya aliran uang suap yang dilakoni langsung oleh rektor menjadi refleksi bagaimana hak mendapatkan pendidikan juga diselewengkan oleh praktisi pendidikan. Di samping itu, hak mendapatkan pendidikan belum dimiliki oleh banyak anak di Indonesia. Masih banyak anak usia sekolah yang tidak melanjutkan pendidikan sesuai dengan usianya, seperti yang terjadi pada angkatan kerja lulusan SMP ke bawah.

Tercatat hingga tahun 2021, terdapat 14.430 siswa SD putus sekolah, 7.417 siswa SMP, 4.780 siswa SMA, dan 32.395 siswa SMK yang putus sekolah. Meski angka tersebut adalah angka terendah dari tahun-tahun sebelumnya, program pemerataan pendidikan dan kesempatan belajar 12 tahun. Namun nyatanya, belum semua anak dengan usia pendidikan atas bisa mengenyam pendidikan yang dijanjikan padanya itu.

Sumber: BPS Indonesia
Sumber: BPS Indonesia

Ketimpangan persentase penyelesaian pendidikan sekolah atas juga ditentukkan oleh perbedaan kelompok ekonomi. Data tingkat penyelesaian pendidikan sekolah atas menurut kelompok pengeluaran selama tiga tahun terakhir memperlihatkan ketimpangan tersebut. Terlihat semakin rendah tingkat pengeluaran, maka semakin kecil persentase penyelesaian pendidikan sekolah atas mereka. Artinya, ketimpangan hak mendapat pendidikan tidak terlepas dari kondisi ekonomi siswa. 

Terjadinya kasus suap masuk universitas maupun masuk instansi pendidikan lainnya, perlu menjadi refleksi bagi para pemangku kepentingan bagaimana hak mendapat pendidikan perlu diberi dan diporsikan sesuai dengan seharusnya. Diperlukan adanya tindakan yang serius dan tegas terkait setiap penyelewengan hak mendapatkan pendidikan di Indonesia. Hal ini dibutuhkan agar tujuan mencerdaskan Bangsa Indonesia dapat dicapai dengan sebagaimana mestinya.

___________________

Referensi

Kumorotomo, W. (2016). Budaya upeti, suap, dan birokrasi publik. Culture of tribute.

Sutherland, H. (1979). The making of a bureaucratic elite: The colonial transformation of the Javanese priyayi (No. 2). Asian Studies Association of Australia.

Hallak, J., & Poisson, M. (2002). Ethics and Corruption in Education. Results from the Expert Workshop (Paris, France, November 28-29, 2001). Policy Forum on Education. United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization, International Inst. for Educational Planning, 7-9 rue Eugene-Delacroix, 75116 Paris, France. Web site: http://www. unesco. org/iiep. For full text: http://www. unesco. org/iiep/PDF/Forum15. Pdf.. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun