Dalam sebuah puisi, Jalalludin Rumi pernah berkata: Cinta adalah api berkobar// Pecinta adalah bulan kemilau di antara bintang-bintang
Bagi seorang sufi seperti Rumi, cinta adalah jalan untuk memahami dunia dan Tuhan. Baginya, cinta bukan semata pekerjaan fisik. Ia adalah pekerjaan batin yang penuh dengan kemistikan, ia adalah segala-galanya. Sebab, dengan cinta hidup dan kematian sama-sama menjadi sebuah kebahagiaan. Dengan hidup, manusia bisa merasakan cinta dari Tuhan lewat segala pemberian-Nya, dan melalui kematian, manusia mampu bertemu dengan Kekasih yang dicintainya.
Dalam puisi lain Rumi menuliskan:
Karena cinta pahit berubah menjadi manis, karena cinta tembaga berubah menjadi emas
Karena cinta ampas berubah menjadi sari, karena cinta pedih menjadi obat
Karena cinta kematian berubah jadi kehidupan, karena cinta raja berubah menjadi hamba
Dalam puisi itu, Rumi ingin mengatakan bahwa dengan cinta segalanya menjadi sesuatu yang indah. Keindahan itu akan terus datang dan dirasakan serta memberikan kebahagiaan yang tiada tara. Satu-satunya kesedihan hanyalah ketika cinta itu tidak bisa dirasakan, bukan tidak ada, sebab cinta akan selalu ada.
Cinta manusia menurut Rumi punya tiga tahapan. Yang pertama adalah memuja segala hal (materi) seperti harta, tahta, dll. Tahap kedua adalah memuja Tuhan, dan tahap ketiga adalah cinta mistis yang berarti bahwa seseorang tak pernah mengatakan bahwa ia memuja Tuhan atau tidak, sebab pemujaan terhadap Tuhan adalah sebuah hal yang bersifat intim.
Pada tahap ketiga inilah muncul hal yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan, yaitu kemenyatuan manusia dengan Tuhan (Wahdatul Wujud). Dalam artian tak ada wujud hakiki kecuali Tuhan. Manusia itu tiada dan Tuhan adalah segala-galanya. Kefanaan akan membawa manusia kepada yang Satu.Â
Konon katanya-sebab saya tak tahu kebenarannya-Wahdatul Wujud inilah yang membuat Al-Halaj dan Syekh Siti Jenar dianggap sesat. Banyak yang menafsirkan kemenyatuan manusia dengan Tuhan sebagai bentuk bersatunya wujud Tuhan dalam diri manusia sehingga muncul frasa "keakuan" yang secara implisit diartikan bahwa "Aku adalah Tuhan".Â
Rasanya "keakuan" seperti itulah yang dianggap sebagai kesesatan. Terlepas dari hal tersebut, saya pribadi mengartikan "keakuan" sebagai bentuk kefanaan manusia dihadapan Tuhan. Bahwa aku adalah bukan apa-apa dan segala yang ada padaku adalah milik Tuhan. Sebagaimana dalam sebuah puisi Rumi berikut ini: