Mohon tunggu...
Dhedi R Ghazali
Dhedi R Ghazali Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Saya hanya seorang penulis yang tidak terkenal.

Saya hanya pembaca yang baik dan penulis yang kurang baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kesusatraan vs Kekuasaan

21 Maret 2016   06:48 Diperbarui: 21 Maret 2016   07:49 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hilangnya Wijhi Thukul, dilarang beredarnya karya Pramoedya Ananta Toer juga kegelisahan Roestam Efendi adalah bagian dari sejarah antara kesusatraan melawan kekuasaan.

Alexsander Solshenistyn pernah berujar: "bagi sebuah negeri, mempunyai seorang penulis besar adalah seperti mempunyai sebuah pemerintahan yang lain." Senada dengannya, Roestam Efendi pernah menjawab pertanyaan Ajip Rosidi yang termaktub dalam Kapankah Kesusastraan Lahir?(1964): "saya menulis di zaman reaksi yang mahaganas, di bawah ancaman tangan besi Gobnor-Jenderal Foch ... sewaktu selentingan ucapan yang salah dapat membawa orang ke Boven Digul dan Tanah Merah, di masa rakyat penuh dibelukari oleh cecunguk-cecunguk dan mata-mata Belanda...."

Ya, begitulah. Mau tidak mau benturan antara kesusastraan dan kekuasaan pernah terjadi di negeri ini. Boleh jadi, sebuah karya sastra pada akhirnya--waktu itu--menjadi momok yang menakutkan dan dianulir dapat menggoyahkan kekuasaan. Lantas bagaimana di zaman sastra digital saat ini?

Kebebasan mengeluarkan pendapat telah mendapat 'tameng' berupa Undang-Undang. Kebebasan inilah yang pada akhirnya menciptakan jarak antara kesusastraan dan kekuasaan. Tak lagi sedekat zaman sebelum kemerdekaan ataupun juga zaman orde baru. Perkembangan sastra digital--bermunculannya penulis-penulis di media sosial--menjadi hal yang patut disyukuri oleh kaum penikmat ataupun pelaku sastra. Perkembangan kesusastraan menjadi lebih pesat karenanya. 'Kemlempeman' kekuasaan atas kesusastraan juga pada akhirnya menjadi pintu gerbang yang lebar untuk menyuarakan apa yang harus disuarakan tanpa takut di tembak mati, dihukum gantung, dipenjara ataupun dilenyapkan. Jika saja hubungan antara kekuasaan dan kesusastraan masih seperti dulu, barangkali penjara akan dipenuhi oleh penulis-penulis yang pada akhirnya menjadilan dinding penjara sebagai wahana untuk berkarya.

"Menulislah sebelum menulis menjadi hal yang menakutkan."

Yogya, 2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun