Setiap orang terlahir dari rahim seorang wanita yang selanjutnya akan disebut sebagai Ibu Kandung. Kalimat tersebut adalah sebuah peringatan sekaligus perenungan. Dalam sebuah buku berjudul "Catatan Pinggir 1", yang di dalamnya memuat tulisan Goenawan Muhamad--seorang penulis yang mengisi rubrik "Catatan Pinggir" di majalah Tempo. Bahasa sastra yang renyah adalah hal yang akan mudah dijumpai dalam setiap tulisannya. Ketika banyak penulis menanggapi peristiwa-peristiwa dengan bahasa yang sarkas lagi keras, justru dia memilih bahasa sastra sebagai penghubung antara tulisannya dengan para pembaca. Banyak memang makna tersirat dalam rangkaian kalimat. Namun, bisa jadi hal itu pula yang menjadi salah satu daya pikat.
Pada tanggal 2 Februari 1980, rubrik "Catatan Pinggir" berjudul "Seorang Anak Bayi Cacat, dst". Sebuah judul yang menarik, bukan? Dengan kepiawian merangkai kata-kata, Goenawan menulis tentang seorang wartawan asal Italia. Dialah Oriana Fallaci. Seseorang yang pernah melemparkan mikrofon kepada Muhammad Ali saat pertanyaan yang dia lontarkan dijawab dengan nada membentak oleh sang juara. Tetapi bukan itu yang menjadi fokus tulisan Goenawan. Dengan kisah dan tema yang berbeda, dia membuat tulisan yang lain daripada yang lain tentang Fallaci yang saat itu namanya sedang naik daun.
Baiklah, saya rasa sudah cukup perkenalan kita dengan Goenawan dan Fallaci. Kali ini saya akan menulis tentang hal di atas dengan gaya bahasa sendiri tanpa mencoba terpengaruh oleh gaya bahasa keduanya.
Bagaimana perasaan seorang wanita ketika sedang mengandung seorang anak hasil dari hubungan yang haram: bisa karena perkosaan, perseligkuhan atau seks bebas?
Seorang wanita tak akan pernah tahu, bagaimana cara Tuhan mendaratkan benih 'cinta' di perutnya. Hal ini harus dipahami, sebab takdir mana ada yang tahu? Meski wanita diberikan pilihan, tak jarang mereka memilih pilihan yang salah. Jika sudah terjadi, mau bagaimana lagi? Jika perut sudah berisi, menyesal diri tiada berguna lagi. Hal inilah yang dialami seorang Fallaci. Sebuah pilihan yang sulit, apakah mau melahirkan anaknya, atau menggugurkannya? Mengingat janin yang dikandungnya bukanlah buah dari hubungan yang seharusnya.
Pada akhirnya, Fallaci memilih untuk mempertahankan kandungan tersebut. Di sisi lain, sebagai seorang wanita karir, dia tak bisa lepas dari pekerjaannya. Selama mengandung, Fallaci tetap bekerja seperti biasa meski kandungannya lemah. Walhasil, Tuhan menghendaki bayi itu mati.
Dalam bukunya, ia menuliskan "Semalam, setetes hidup telah terlepas dari ketiadaan". Sebuah kalimat yang indah, bukan? Kalimat yang mewakili kerisauan. Risau karena setetes hidup yang dihasilkan dari hubungan yang tak semestinya. Sebuah nyawa yang sebelumnya tiada kini menjadi ada. Dan akhirnya, diantara dua pilihan: apakah meniadakan nyawa itu, ataukah menghadirkannya ke bumi, Fallaci memilih pilihan yang kedua meski akhirnya keguguran juga.
Oriana Fallaci sampai-sampai membuat buku untuk mensejarahkan peristiwa tersebut. Bukunya berjudul, "Surat Kepada Seorang Anak yang Tak Pernah Lahir."
Ada kalimat menarik yang dikutip Goenawan dalam buku itu: "Ulurkanlah tanganmu kepadaku," kalimatnya bicara. "Lihat, kini kau memimpinku, membimbingku. Tapi memang kau bukan sebutir telur, kau bukan ikan yang kecil: kau seorang anak! Kau telah tinggi sampai ke lututku. Bukan, malah ke hatiku...."
Kalimat yang indah sekaligus sentimentil. Ulurkanlah tanganmu-- sebuah keinginan sekaligus perintah yang keluar dari mulut penuh penyesalan. Menginginkan suatu hal yang tak mungkin, atas kesalahannya sendiri.
Lihat kini kau memimpinku, membimbingku-- kesalahan yang membawa kepada rasa bersalah. Kesalahan itulah yang akhirnya menjadi kemudi serta pengingat agar tak lagi masuk ke lubang yang sama.
Tapi memang kau bukan sebutir telur, kau bukan ikan yang kecil: kau seorang anak! Kau telah tinggi sampai ke lututku-- pengakuan yang terlambat. Lutut yang bergertar sebab penyesalan yang teramat dalam. Benih dalam rahim, meski belum terlahir ke bumi adalah sebuah titipan. Semestinya harus diperlakukan selayaknya memperlakukan seorang anak. Bukankah benih itu adalah calon anak juga? Bukan sekadar benih tak bertuan yang akan tumbuh dengan sendirinya. dia akan tumbuh jika dirawat oleh yang punya.
Bukan, malah ke hatiku-- meskipun pada akhirnya tak terlahir ke bumi, benih yang sempat singgah di rahim telah terukir di dalam hati. Mengukirkan cerita tentang kesalahan, penyesalan, keinginan serta harapan.
Ah, kalimat pendek yag akan memberikan pelajaran yang begitu panjang. Goenawan sendiri mengartikannya dengan kalimat yang pendek juga: "Seorang ibu pada akhirnya memang menanggung beban, ketika ia bisa memilih antara melahirkan atau tidak melehirkan. Ada kemerdekaan, tapi juga kesendirian dan rasa bersalah yang dalam."
Mari sejanak kita lihat kondisi remaja di negeri tercinta ini. Berapa banyak remaja yang hamil di luar nikah dan memilih untuk mengugurkan kandungan? Alasanya yang lazim adalah karena kandungan itu dihasilkan dari hubungan di luar nikah.
Cerita dan penyesalan Fallaci hendaknya bisa menjadi renungan bagi kaum hawa agar berhati-hati dalam berhubungan dengan lain jenis. Jika pada akhirnya apa yang terjadi pada Fallaci terjadi pada diri sendiri, bukankah akan menjadi pilihan yang sulit untuk menentukan apakah akan melahirkannya atau menggugurkannya? Sedang mengugurkan kandungan sama dengan membunuh, bukan?
Lewat bukunya yang berjudul, "Surat Kepada Seorang Anak yang Tak Pernah Lahir," Fallaci seolah ingin mengatakan dan mengingatkan kepada kaum Hawa: janganlah kalian mengikuti jejak kesalahanku, atau kalian akan menyesal seumur hidup sepertiku!
Â
Yogya, 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H