Mohon tunggu...
Dhedi R Ghazali
Dhedi R Ghazali Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Saya hanya seorang penulis yang tidak terkenal.

Saya hanya pembaca yang baik dan penulis yang kurang baik

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Surat Kepada Seorang Anak yang Tak Pernah Lahir

5 Maret 2016   23:12 Diperbarui: 9 Maret 2016   07:58 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Setiap orang terlahir dari rahim seorang wanita yang selanjutnya akan disebut sebagai Ibu Kandung. Kalimat tersebut adalah sebuah peringatan sekaligus perenungan. Dalam sebuah buku berjudul "Catatan Pinggir 1", yang di dalamnya memuat tulisan Goenawan Muhamad--seorang penulis yang mengisi rubrik "Catatan Pinggir" di majalah Tempo. Bahasa sastra yang renyah adalah hal yang akan mudah dijumpai dalam setiap tulisannya. Ketika banyak penulis menanggapi peristiwa-peristiwa dengan bahasa yang sarkas lagi keras, justru dia memilih bahasa sastra sebagai penghubung antara tulisannya dengan para pembaca. Banyak memang makna tersirat dalam rangkaian kalimat. Namun, bisa jadi hal itu pula yang menjadi salah satu daya pikat.

Pada tanggal 2 Februari 1980, rubrik "Catatan Pinggir" berjudul "Seorang Anak Bayi Cacat, dst". Sebuah judul yang menarik, bukan? Dengan kepiawian merangkai kata-kata, Goenawan menulis tentang seorang wartawan asal Italia. Dialah Oriana Fallaci. Seseorang yang pernah melemparkan mikrofon kepada Muhammad Ali saat pertanyaan yang dia lontarkan dijawab dengan nada membentak oleh sang juara. Tetapi bukan itu yang menjadi fokus tulisan Goenawan. Dengan kisah dan tema yang berbeda, dia membuat tulisan yang lain daripada yang lain tentang Fallaci yang saat itu namanya sedang naik daun.

Baiklah, saya rasa sudah cukup perkenalan kita dengan Goenawan dan Fallaci. Kali ini saya akan menulis tentang hal di atas dengan gaya bahasa sendiri tanpa mencoba terpengaruh oleh gaya bahasa keduanya.

Bagaimana perasaan seorang wanita ketika sedang mengandung seorang anak hasil dari hubungan yang haram: bisa karena perkosaan, perseligkuhan atau seks bebas?

Seorang wanita tak akan pernah tahu, bagaimana cara Tuhan mendaratkan benih 'cinta' di perutnya. Hal ini harus dipahami, sebab takdir mana ada yang tahu? Meski wanita diberikan pilihan, tak jarang mereka memilih pilihan yang salah. Jika sudah terjadi, mau bagaimana lagi? Jika perut sudah berisi, menyesal diri tiada berguna lagi. Hal inilah yang dialami seorang Fallaci. Sebuah pilihan yang sulit, apakah mau melahirkan anaknya, atau menggugurkannya? Mengingat janin yang dikandungnya bukanlah buah dari hubungan yang seharusnya.

Pada akhirnya, Fallaci memilih untuk mempertahankan kandungan tersebut. Di sisi lain, sebagai seorang wanita karir, dia tak bisa lepas dari pekerjaannya. Selama mengandung, Fallaci tetap bekerja seperti biasa meski kandungannya lemah. Walhasil, Tuhan menghendaki bayi itu mati.

Dalam bukunya, ia menuliskan "Semalam, setetes hidup telah terlepas dari ketiadaan". Sebuah kalimat yang indah, bukan? Kalimat yang mewakili kerisauan. Risau karena setetes hidup yang dihasilkan dari hubungan yang tak semestinya. Sebuah nyawa yang sebelumnya tiada kini menjadi ada. Dan akhirnya, diantara dua pilihan: apakah meniadakan nyawa itu, ataukah menghadirkannya ke bumi, Fallaci memilih pilihan yang kedua meski akhirnya keguguran juga.

Oriana Fallaci sampai-sampai membuat buku untuk mensejarahkan peristiwa tersebut. Bukunya berjudul, "Surat Kepada Seorang Anak yang Tak Pernah Lahir."

Ada kalimat menarik yang dikutip Goenawan dalam buku itu: "Ulurkanlah tanganmu kepadaku," kalimatnya bicara. "Lihat, kini kau memimpinku, membimbingku. Tapi memang kau bukan sebutir telur, kau bukan ikan yang kecil: kau seorang anak! Kau telah tinggi sampai ke lututku. Bukan, malah ke hatiku...."

Kalimat yang indah sekaligus sentimentil. Ulurkanlah tanganmu-- sebuah keinginan sekaligus perintah yang keluar dari mulut penuh penyesalan. Menginginkan suatu hal yang tak mungkin, atas kesalahannya sendiri.

Lihat kini kau memimpinku, membimbingku-- kesalahan yang membawa kepada rasa bersalah. Kesalahan itulah yang akhirnya menjadi kemudi serta pengingat agar tak lagi masuk ke lubang yang sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun