Rabindranath Tagore, seorang penyair kelahiran India pernah berkata: “Setiap anak, tiba dengan membawa pesan bahwa Tuhan belum jera dengan manusia.”
Kalimat ini sangat terkenal, bahkan pernah dituliskan di majalah Tempo pada 12 Mei 1979 di rubrik Catatan Pinggir dengan judul, “Kepada Anak Yang Sedang Tidur.” Beberapa kali saya membaca rubrik tersebut tanpa bosannya. Mencoba menggali dan terus menggali pesan apa yang ingin disampaikan oleh Tagore lewat kalimatnya itu. Apakah benar Tuhan belum jera dengan manusia?
Berbicara menyoal angka kelahiran di Indonesia, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan, "Laju pertumbuhan 1,49 persen itu akan tambah (manusia) di Indonesia ini sebanyak 4,5 juta. Itu sama dengan satu negara Singapura. Jadi, kalau 10 tahun, ya 10 negara Singapura," kata Surya seusai menemui Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (29/9/2015). Sebuah kelahiran adalah hal yang tak bisa lepas dari Kemaha-an Allah, bukan?
Dimana tentu setiap kepala sepakat bahwa setiap yang terlahir di dunia ini adalah bukti bahwa Allah Maha Pencipta. Tentu kita—umat islam—akan percaya dan dengan tegas akan menjawab “Bisa” ketika saya bertanya, “Bisakah Allah tidak melahirkan seorang pun di Indonesia tahun ini?”
Mari kita lihat lagi kalimat dari Tagore, “SETIAP ANAK, TIBA dengan MEMBAWA PESAN bahwa TUHAN BELUM JERA DENGAN MANUSIA.” Setiap anak tiba bisa akan saya artikan sebagai sebuah kelahiran. Bahwa Allah masih menciptkan manusia—menus-menus kegedhen rumongso(mahluk-mahluk kebanyakan maunya) —meski dengan jelas Dia tahu jika manusia hanya akan membawa kerusakan di muka bumi ini. Setiap kelahiran akan membawa pesan bahwa Tuhan belum jera dengan manusia—kata Tagore—bisa jadi benar juga bisa salah.
Menjadi benar ketika nyatanya memang Allah yang tahu segalanya—apakah anak yang terlahir akan menjadi manusia takwa atau tidak—masih tetap menambah jumlah manusia di bumi ini. Dengan kata lain, apapun yang diperbuat manusia di bumi ciptaan-Nya masih belum membuat jera Allah untuk tetap melahirkan mereka di muka bumi itu.
Baiklah, kita tinggalkan masalah tersebut dan lanjut ke dalam dunia nyata yang semakin membingungkan ini. Siang tadi, di sebuah perempatan, saya melihat dua orang pemuda berumur belasan tahun sedang mengamen. Pakaian mereka begitu lusuh, tangan penuh dengan tattoo, juga kuping terlihat berlobang di bagian ujungnya—terdapat benda berbentuk lingkaran berwarna hitam—menatap dengan tatapan tajam. Seiring keramaian lalu-lintas, terlintas pikiran di benak, “Mau jadi apa mereka kelak?” Sebuah pertanyaan atau pesimistis? Bisa jadi dua-duanya. Nyatanya memang pertanyaan itulah yang kerap muncul ketika melihat orang-orang seperti mereka. Bukankah secara tidak langsung kita telah menghakimi tanpa mau tahu apa sebab mereka menjadi seperti itu?
Lagi kata Tagore, “Siapa yang mencuri tidur dari pelupuk-pelupuk bayi?” Pertanyaan tersebut bisa jadi sama artinya dengan pertanyaan saya ini, “Siapakah yang mencuri mimpi-mimpi dua orang pengamen tadi?” Toh, ketika kita melihat anak-anak yang masa kecilnya hilang, digadai dengan mengamen, mengemis, berjualan koran, saat seharusnya duduk manis di bangku sekolah, saat itu juga sedikit demi sedikit mimpi mereka akan terampas dan memunculkan pertanyaan naïf,
“MAU JADI APA MEREKA KELAK?” Bukan terampas, tapi dirampas! Atau mari kita simak pertanyaan berikutnya dari seorang Goenawan Mohammad ketika melihat anak bertubuh cungkring, “Siapa yang mencuri nasi anak itu?” Akan timbul pertanyaan-pertanyaan serupa yang pada akhirnya bermuara kepada sebuah kesepakatan bahwa, “Mereka—anak-anak jalanan—adalah korban dari pencuri-pencuri di bumi Kartini ini. Bisa jadi kita sendiri adalah salah satu dari pencuri itu.”
Dalam sebuah film, yang saya lupa judulnya, di satu adegan, ada seseorang yang bertanya kepada gadis kecil—anak dari keluarga miskin yang tidak bisa bersekolah karena tidak ada biaya. Ia bertanya, “Mau jadi apa kamu kelak?” Gadis kecil itu hanya diam, lalu beberapa saat kemudian menjawab, “Bahkan saya belum pernah berpikir mau jadi apa kelak.” Padahal, saya ingat ketika duduk di Sekolah Dasar banyak guru yang bertanya pertanyaan serupa, “Mau jadi apa kamu kelak?”, dengan tegas saya jawab, “Mau jadi polisi.”
Saya pun yakin akan banyak anak-anak ditanyai pertanyaan itu saat mereka duduk di Sekolah Dasar, tapi gadis ini tidak sekolah, itulah bedanya. Dalam akhir film tersebut, si gadis akhirnya mempunyai jawaban berbeda, “Saya mau jadi bunga. Karena bunga itu indah. Mau tumbuh dimana saja tidak akan ada orang yang akan mencabutnya, karena setiap orang akan menyukai bunga. Berbeda dengan rumput.” Jadilah ia bunga sakura, yang gugur ditebas pedang para samurai dalam perang memperebutkan kerajaan.
Inilah kenyataan, bahwa bagaimanapun juga nyatanya Tuhan belum jera dengan manusia. Manusialah yang jera dengan Tuhan. Kejeraan itu juga pada akhirnya membuat manusia menjadi pencuri-pencuri mimpi juga nasi dari anak-anak terlahir sungsang. Nyawa-nyawa yang sejak lahir sudah harus menerima kenyataan pahit, bahwa mimpi-mimpi mereka sedang dicuri.
Berbeda dengan anak-anak para konglomerat yang sejak lahir diberi minum susu dengan harga jauh lebih tinggi dari harga mimpi-mimpi anak-anak itu, disekolahkan dengan biaya berlipat-lipat lebih banyak dari biaya kehidupan bertahun-tahun anak-anak itu. Maka bersyukurlah saya, meski bukan terlahir dari anak seorang kolongmerat namun masih bisa bermimpi dengan nyaman sebab perut yang tak pernah kelaparan, dan saat itulah saya percaya bahwa Tuhan tidak jera-jeranya memberikan banyak hal dalam kehidupan ini sejak 26 tahun yang lalu.
Yogya, 02 Maret 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H