Mohon tunggu...
Dhea Riski Triani
Dhea Riski Triani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sociology Education

Hello, it is me, Dhea.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Isu Pendidikan Neoliberalisme di Sekolah: Sebuah Pemikiran dari Henry A. Giroux

21 Desember 2022   16:34 Diperbarui: 12 Januari 2023   09:46 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika mendengar kata "pendidikan", sebagian orang akan berasumsi bahwa pendidikan merupakan penghubung bagi setiap individu untuk menuju ke dunia kerja. Di sekolah, siswa dipersiapkan untuk dapat bersaing di dunia luar dan patuh terhadap kekuasaan. Padahal, sekolah tidak hanya sekedar membuat siswa mempunyai suatu keahlian tertentu untuk mengerjakan sesuatu. Seperti pernyataan seorang Sosiolog Pendidikan bernama Henry A. Giroux dalam (Wattimena, 2018) yang mengemukakan bahwa sekolah bukan hanya membantu peserta didik untuk menemukan kerja, tetapi juga terlibat di dalam proses pembentukan masyarakat demokratis secara menyeluruh. Dari sanalah dapat diartikan bahwa seharusnya sekolah mencetak individu untuk memiliki kesadaran akan sikapnya sendiri melalui pikiran kritis.


Asumsi Giroux di atas lahir dari fenomena pendidikan yang mengalami masa neoliberal di Amerika Serikat. Pada saat itu, sekolah dipersempit maknanya sebagai tempat untuk membentuk seorang pegawai demi perdagangan ekonomi pasar, yang di mana budaya kepatuhan adalah hal yang diterapkan di dalamnya, sehingga pengetahuan di terima secara pasif (Panjaitan & Juanda, 2022). Berdasarkan hal tersebut, tampaknya di Indonesia sendiri masih melanggengkan hubungan erat sekolah dengan dunia kerja dan kepentingan kapitalisme. Di bawah rezim neoliberalisme, pendidikan masih menjadi hak pribadi daripada produk publik. Sehingga bagi sekolah dengan fasilitas seadanya dan ditempati oleh anak-anak miskin, akan mudah digerakkan oleh pasar. Karena biasanya, tujuan anak-anak dari lapisan masyarakat kelas bawah tersebut ingin bersekolah dengan tujuan mencari kerja demi menyambung hidup.  

Sampai hari ini, banyak lembaga sekolah yang gejala komersialisasinya masih sangat terlihat. Sekolah yang bagus akan tampak dari bangunan yang indah, fasilitas lengkap dan mewah, SPP mahal, serta upah guru yang tinggi. Siapa yang dapat merasakannya? Tentu bukan siswa dari lapisan masyarakat kelas bawah, melainkan kaum elite yang memiliki akses terhadap modal materi. Hal tersebut senada dalam (Wibowo, 2008) bahwasanya dari komersialisasi pendidikan tadi telah mengubah institusi pendidikan yang berbasis efisiensi ekonomis menjadi perusahaan penyedia elite masyarakat dan kuli kerja. Dan salah satu konsekuensi dari banyaknya sekolah umum murah atau bahkan gratis, terutama yang ditempati oleh anak-anak miskin, tempat tersebut malah menjadi pabrik baru untuk membodohi kurikulum bahkan mengubah guru menjadi bagian mesin.

Untuk melihat lebih lanjut terkait dengan masalah di atas, penulis ingin mencoba menganalisisnya menggunakan perspektif pedagogis kritis milik Henry A. Giroux. Adapun dikutip dalam (Hidayat, 2013) bahwasanya pedagogi kritis mencakup teori pendidikan dan praktik pembelajaran yang bertujuan untuk membangun kesadaran kritis peserta didik pada kondisi sosial yang menindas. Hal serupa dikutip dalam (Mushodiq, 2021) bahwa pendidikan kritis yang Giroux rumuskan mengacu pada politisasi guru dan murid serta pemberdayaannya sebagai radical intellectual yang mengubah sekolah sebagai salah satu bagian dari perjuangan perubahan sosial masyarakat. Menurut beberapa pemahaman tersebut, pedagogi kritis berusaha menantang struktur sosial serta hubungan sosial yang membentuk kondisi di mana orang hidup dan di mana sekolah beroperasi. Sehingga dari adanya kesadaran kritis, dapat menuntut orang untuk berulang kali mempertanyakan peran mereka dalam masyarakat. Sehingga perlahan-lahan mereka akan menyadari, jangan-jangan apa yang dianggap masalah itu bukan masalah yang sesungguhnya, atau justru jangan-jangan ada masalah lain yang lebih mendasar lagi.

Peran Guru sebagai Intelektual untuk Membangun Pedagogi Kritis


Untuk membuat pedagogi yang bermakna dan kritis, guru harus memfokuskan tugas mereka dalam mengajar pada isu-isu sosial penting. Isu-isu tersebut menghubungkan apa yang dipelajari di kelas dengan masyarakat yang lebih luas dan kehidupan siswa mereka. Di sana lah guru dapat menjadi moderator untuk mengontrol diskusi yang aktif. Dalam (Ahmad, dkk., 2015) mendefinisikan pendewasaan diri melalui pedagogi kritis yang merupakan sebuah upaya untuk meminimalisir otoritas peran guru di dalam ilmu pengetahuan. Sehingga diharapkan guru tidak menjadikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya sebagai simbol otoritas, melainkan memberikan seluas-luasnya kebebasan di dalam kelas agar terbuka lebar ruang diskusi.

Salah satu permasalahan muncul di ruang kelas ketika ada stigma buruk bahwa siswa yang suka bertanya dianggap cari perhatian kepada guru. Kasus 'cari perhatian' ini masih menjadi bumbu di dalam kelas sampai hari ini.  Mereka yang ingin aktif bertanya atau menjawab pertanyaan guru dianggap sebagai murid yang mencari muka. Akibatnya, pola tersebut terbawa sampai mereka ke perguruan tinggi, di mana banyak mahasiswa yang belum mampu berpikir dan berdialog secara kritis di dalam ruang kelas. Alhasil ruang kelas menjadi pasif. Tentunya itu sama sekali bukan cita-cita dari pedagogi kritis, karena lebih dari itu ruang diskusi di dalam kelas seharusnya menjadi tempat yang memungkinkan siswa memahami dunia yang lebih besar, sehingga nantinya pendidikan akan lebih demokratis.


Pedagogi kritis juga memiliki resep untuk mendorong hak pilihan manusia, bukan membentuknya menjadi tenaga kerja pasif. Guru harus membantu siswa untuk memeriksa latar belakang budaya mereka sendiri agar mengetahui kekuatan dan kelemahannya sehingga mampu mengubah keyakinan dan praktik tidak adil yang ada di dalamnya, seperti intoleransi agama, rasis, ketidakadilan, dan lainnya. Henry Giroux dalam (Hendriani, dkk., 2018) menyatakan bahwa pedagogi kritis berusaha menawarkan siswa bagaimana cara berpikir kritis dan bertindak serta memiliki kewenangan penuh atas dirinya, termasuk di dalamnya menyediakan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan siswa untuk memperluas kapasitas mereka.  Sehingga ruang kelas hadir untuk mewadahi keluasan dalam pembelajaran untuk menghasilkan perubahan sosial positif.

Guru sebagai intelektual publik perlu mengambil peran sebagai pendidik masyarakat yang bertanggung jawab dalam konteks sosial secara luas, seperti yang dikutip dalam (Hidayat, 2009) bahwa menurut Giroux, guru harus progresif memajukan demokrasi dan memperkuat pemberdayaan partisipatif manusia dalam berbagai subjek kehidupan sosial. Dalam hal ini, guru ingin ditempatkan pada posisi terhormat di masyarakat, dengan cara mengembangkan potensi diri.  Adapun beberapa kegiatan yang dapat mengembangkan potensi guru yaitu dengan aktif mengikuti program MGMP atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran yang merupakan salah satu fasilitas untuk tempat berkumpulnya guru mata pelajaran yang sama, dari sana akan terbentuk diskusi terkait apa saja masalah yang ada di dalam pembelajaran sehingga dapat dijadikan refleksi bersama untuk mengembangkan profesionalitas kerja. Selain itu, kompetensi lain yang dapat dikembangkan adalah aktif menulis dan menganalisis masalah-masalah yang sedang terjadi, termasuk di dalamnya memperjuangkan hak guru menggunakan lebih dari satu perspektif, lalu membuat hubungan yang logis antara ide-ide, serta menawarkan pandangan dan saran tentang masalah yang ada berdasarkan evaluasi dan bukti yang konkret. Menulis dapat dilakukan di mana saja, termasuk yang ditawarkan oleh media online, berita, sosial media, dan lainnya.

Kemampuan guru sebagai intelektual publik diharapkan dapat membantu guru melewati ruang dan fungsinya, menjadi aktivis dengan menyuarakan segala bentuk ketidakadilan. Jangan sampai guru merasa sudah selesai begitu saja dengan dirinya sendiri, melainkan ikut serta dalam merobohkan pendidikan neoliberalisme seperti mcdonalisasi yang hanya mencetak dan menghasilkan tenaga kerja secara cepat.

Referensi

Ahmad, Firdaus, dkk. 2015. Perbincangan di Ruang Publik. Pontianak: IAIN Pontianak Press

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun