Mohon tunggu...
Dhea Putry
Dhea Putry Mohon Tunggu... -

Selalu mencoba menjadi lebi baik. Mempunyai orang tua yang sangat hebat THANKS FOR MY MOM AND MY DAD :* my twitter :@dheaaputry and my blog : http://diaryuty.blogspot.com/ (з´⌣`ε)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pantai Itu Menjadi Saksinya

21 Januari 2012   07:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:37 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

-Nggak cuma bertengkar, Ma. Tapi kami udah putus,” jawabku dengan mata kosong. Dan pantai indah itu menjadi saksinya- "Jujur, akhir-akhir ini aku ingin dekat sama kamu, tapi aku nggak tahu bagaimana caranya,"ungkapnya lagi. Masih pagi dan perasaan aku baru memejamkan mata semenit, setelah bangun sholat shubuh tadi. Aku bahkan tertidur dengan mukenah yang masi melekat ditubuhku. Tapi ada yang lain pagi ini, tidak ada lagi suara kicauan dari dia yang selalu menggingatkan ku untuk bangun dan beribadah. Pagi yang sedikit berbeda dari sebelumnya aku mencoba untuk kembali bangkit dari ketepurukan ku beberapa hari lalu karena sebuah keputusan. Hiruk piruk kesibukan kota sudah terdengar. Aku pun bersiap-siap mengemasi barang-barang dan peralatan yang ingin ku bawa ke kampus dengan menggeleng sedikit ke hp mungil yang ada ditempat tidur "sudahlah terlalu sulit" kataku dalam hati. Aku berharap handphone mungil itu berbunyi yaaah yang pastinya aku ingin mendapatkan pesan singkat dari mu walaupun hanya satu, tapi itu hanya mimpiku saja. Dan ku masukin handphone mungil ku tadi kedalam sebuah tas yang berwarna biru, dan keuar menuju kampus. Tapi apa yang kurasakan dikampus? sama sekali membosankan tidak ada satupun yang mampu membuatku tersenyum lepas seperti sebelumnya. Kupandangi sekitar kampus yang mulai heboh oleh mahasiswa yang membicarakan tugas, dan juga ada yang menggosip. "Ah tak ada satupun yang menarik dari semua ini" kataku keras sambil berlari kebelakang kampus. Tiba-tiba tanpa aku sadari pipi aku basah dalam lamunan ku hanya wajah mu. Tapi wajah mu telah menjadi fatomorgana yang tak mampu ku sentuh. "Cii" sapa salah satu teman kampusku. "apa?" "pulang yuk?" "malas" "Udahlah ada apa juga lagi, jangan sedih. kita pulang, kita cerita dirumah" sahut lara mulai meyakinkan bahwa aku tak sendiri. "iya" Mulai ku berjalan melewati jalan raya dikampus. Angin dingin bersemilir turut merayakan suasana yang telah berubah. Dijalan raya terlihat seorang remaja bersama seorang lain menaiki motor hendak menuju kesuatu tempat. Aku dan laras hanya berbincang seadanya, mood ku mulai memudar untuk bicara. Aku terlalu sering berbicara dengan hati dan pikiranku sendiri semenjak kejadian itu. Sampai dirumah ku telungkupkan badan ke tempat tidur dan lagi air mata pun mengalir. Laras tidak jadi mampir kerumah karena ibunya telah menelpon. Tanpa sadar aku tertidur dengan wajah yang sudah basah. Masih sayup-sayup terdengar isak tangisku yang tertahan. Sebenarnya aku ingin berteriak mengeluarkan kekesalan hati, tapi niat itu diurungkan juga olehnya demi dilihatnya hari telah larut. Aku tak ingin mengganggu penghuni rumah. Dengan kepala yang sedikit berat serta mata yang bengkak, aku beranjak dari tempat tidur. Dipandanginya foto Wiga yang terpampang di dinding kamarnya, seorang cowok yang selama ini mengisi hari-harinya dengan kebersamaan dan cinta. Dan ketika kebersamaan itu telah tiada, aku baru merasa sakitnya patah hati. Namun apa mau dikata, bila cinta itu tak selamanya bisa dipertahankan. Dan yang serba manis itu kini hanya menyisakan pahit empedu. Dan dengan sigap aku menurunkan foto tersebut, aku kumpulkan bersama barang- barang pemberian Wiga yang lain. Kemudian dikemas menjadi satu dan disimpannya di rak buku yang lama tak terpakai. Dengan perasaan kesal, aku bergumam sendiri, tidak jelas, masih dengan isak tangis yang begitu menggetarkan hati. Akhirnya aku kembali berbaring lagi ke tempat tidur, perlahan matanya mulai terkatup meski isak tangis itu masih juga terdengar lirih. Aku masih tidur ketika suara Mama dari lantai bawah memanggil-manggil namanku agar segera bangun dan turun ke bawah. Karena sekian lama tidak ada sahutan juga, akhirnya Mama naik ke kamarku. Dengan hati-hati Mama membuka pintu kamarku. Mama heran kenapa pintu kamarnya tidak dikunci. Kemudian Mama melangkah masuk ke kamar, dilihatnya anak kesayangannya itu masih berbaring di tempat tidur. Mama tidak tega membangunkanku, karena dilihatnya aku sangat pulas tidurnya. Ketika Mama hendak keluar dari kamar, aku memanggil mama dengan lirih yang rupanya terjaga oleh suara langkah Mama. “Ma …?” “Eh, Uci sayang udah bangun ya? Mama kira masih tidur. "Mama nggak mau ngebangunin Uci, karena Mama tahu kemarin kamu tidurnya larut banget. Iya, kan?” Aku menggeliat manja di atas kasur empuk berwarna kuning. Aku merasa kepalaku sangat pening, pasti karena jam tidur yang kurang atau mungkin karena kebanyakan menangis tadi malam. Mataku pun kelihatan bengkak. Wajahnya kelihatan lusuh dan pucat. “Uci, kamu kenapa sayang? Tadi malam kamu nangis? Kenapa?” tanya Mama cemas. “Nggak kok, Ma,” jawabku lesu. “Nggak gimana? Kamu pucat kayak gini? Kamu sakit?” tanya Mama lagi. aku menggeleng lesu. “Ayolah sayang … kamu ceritakan sama Mama. Nggak biasanya kamu kayak gini,” bujuk Mama. Aku menghampiri Mama lalu memeluknya. Kembali Aku terisak menangis, membuat Mama makin cemas. “Uci … kalau kamu diam dan nggak mau ngomongin masalah kamu, Mama nggak bisa bantu kamu. Jangan bikin Mama cemas dong …” Kata Mama sambil membelai lembut rambut Mara. “Wiga, Ma …” Ucapku amat lirih. “Kenapa Wiga? Kalian bertengkar?” tanya Mama dengan dahi terlipat. “Nggak cuma bertengkar, Ma. Tapi kami udah putus,” jawabku dengan mata kosong. “Kenapa? Bukankah kalian selama ini baik-baik aja. Mama nggak pernah lihat atau dengar kalian ribut-ribut. Eh … sekali dengar kok malah putus.” Mama nampak bingung. Selama ini memang sering ada pertengkaran kecil, Aku sering merasa kecewa tapi aku nggak pernah ambil hati kok, Ma. Aku nggak suka ceritain masalah pribadi ke semua orang. Aku lebih senang menyelesaikannya sendiri. Aku nggak ingin …” “Tapi Mama kan bukan orang lain, Ci?” potong Mama cepat. “Mama juga bisa jadi teman dekat kamu. Nggak baik menyimpan masalah sendiri. Kalau bisa diselesaikan sendiri sih nggak apa-apa, tapi kalau makin nambah beban kamu kan juga nggak baik. Kalau kamu mau share sama teman atau orang terdekat kamu, setidaknya kamu bisa sedikit mengurangi beban kamu,” lanjut Mama kemudian. “Maafin Uci, Ma …” Ucap ku sambil menundukkan wajahnya. Mama pun mulai menghapus airmataku dan menyandarkan kepalaku kepahanya. Sungguh mulai tenang hati ini. Ketika mama keluar aku mengambil pena dan buku yang dulu sering ku ceritakan apa yang ku rasakan. Aku tak kuasa air mata keluar lagi. Seandainya kau tau aku disini merindukanmu, aku yang menyayangimu setulus hati. Pantai itu... iya dikala senja dengan angin sepoinya membuat helusan rambutku terbang dan disanalah hatiku mulai hancur. Saat aku berdiri ditepi pantai ancol dan bercerita padamu sayang, dan ketika kau memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang sudah cukup lama ini kita jalani. Bagaikan petir datang di siang bolong. Dia pergi dan apa? Air mataku mulai merintih jatuh. Pasir pantai pun mulai menertawaiku. yaaah Ancol , pantai Ancol yang begitu indah menjadi saksi hubungan ku berakhir dengan dia. Twitter : https://twitter.com/#!/Dheaaputry Facebook : http://www.facebook.com/profile.php?id=100002621068068&ref=tn_tnmn

13271529981322543426
13271529981322543426

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun