Sociological jurisprudence mengembangkan paradigma baru dalam memahami hukum sebagai institusi sosial yang hidup dan berkembang. Aliran ini diprakarsai oleh Roscoe Pound, yang menekankan perlunya hukum responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Hukum tidak sekadar instrumen kontrol, tetapi sarana rekayasa sosial yang dapat mengakomodasi perubahan dan keadilan. Perspektif ini mendorong pemahaman hukum yang lebih kontekstual, mempertimbangkan faktor sosial, ekonomi, dan budaya dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum. Sociological jurisprudence mengajak para praktisi hukum untuk tidak sekadar menerapkan aturan, tetapi memahami spirit dan tujuan sosial di balik norma hukum.
(Madzhab Pemikiran Hukum Living Law dan Utilitarianism)
Living law mengkonseptualisasikan hukum sebagai entitas yang hidup dalam masyarakat, tidak terbatas pada aturan tertulis. Eugen Ehrlich, pencetus konsep ini, menekankan bahwa hukum sejati terletak pada praktik sosial dan kesadaran hukum masyarakat. Living law memandang hukum sebagai fenomena dinamis yang terus berkembang melalui interaksi sosial.
Utilitarianism, yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham, memandang hukum dari perspektif kemanfaatan sosial. Prinsip dasarnya adalah bahwa hukum harus memberikan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak. Pendekatan ini menilai keadilan hukum berdasarkan konsekuensi dan dampak sosial yang ditimbulkannya.
(Pemikiran Emile Durkheim dan Ibnu Khaldun)
Emile Durkheim melihat hukum sebagai refleksi solidaritas sosial dan pembagian kerja dalam masyarakat. Menurutnya, hukum merepresentasikan kesadaran kolektif dan mekanisme integrasi sosial. Durkheim membedakan antara hukum represif (yang memberikan sanksi) dan hukum restitutif (yang memulihkan kondisi sosial).
Ibnu Khaldun, dengan konsep 'ashabiyahnya', menganalisis hukum dalam konteks dinamika sosial dan kekuasaan. Ia melihat bahwa sistem hukum berkembang seiring dengan perubahan struktur sosial dan siklus peradaban. Kedua pemikir ini menekankan pentingnya memahami hukum sebagai produk interaksi sosial yang kompleks.
(Pemikiran Hukum Max Weber dan H.L.A Hart)
Max Weber mengembangkan teori rasionalisasi hukum, memandang hukum sebagai sistem rasional yang semakin kompleks seiring perkembangan masyarakat. Ia mengidentifikasi tipe-tipe otoritas hukum: tradisional, kharismatik, dan legal-rasional. Weber menekankan profesionalisasi dan birokratisasi dalam sistem hukum modern.
H.L.A Hart memperkenalkan konsep hukum sebagai sistem aturan primer dan sekunder. Aturan primer mengatur perilaku langsung, sementara aturan sekunder mengatur prosedur pembuatan, perubahan, dan penegakan hukum. Hart menekankan pentingnya perspektif internal dalam memahami praktik hukum.
(Effectiveness of Law)