Effective Decision-Making merupakan salah satu pengambilan keputusan yang mengutamakan pada pengambilan keputusan tanpa menimbulkan potensi masalah baru. Proses pengambilan keputusan dipandang sebagai bentuk respon akan permasalahan yang dihadapi dengan diperlukan alternatif-alternatif solusi yang sekiranya selaras serta mampu memberikan value bagi setiap setiap orang yang terlibat. Alternatif-alternatif yang tersedia perlu dieliminasi berdasarkan pada kriteria yang dapat memberikan manfaat paling efektif. Kualitas dari keputusan diutamakan dalam prosesnya agar penerimaan juga dapat dicapai. Pengambilan keputusan yang efektif didefinisikan sebagai proses bahwa alternatif yang dipilih dan kemudian dikelola melalui implementasi untuk mencapai goals. Keputusan yang efektif dihasilkan dari proses yang sistematis, dengan elemen yang jelas, yang ditangani dalam urutan langkah yang berbeda (Drucker, 1967). Dalam Harvard Business Review pada tahun 1967, 'The Effective Decision', Drucker menguraikan langkah-langkah model pengambilan keputusannya. Menurut Drucker untuk pengambilan keputusan yang efektif memiliki step by step sebagai berikut: clarify the problem, define the problem, specify the answer, decide what is ‘right’ rather than acceptable, build actions into the decision dan test the validity.
Proses keputusan dalam perjalanan Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) sejak lama sudah menjadi permasalahan tetapi terhenti dan terhambat akibat permasalahan honorer yang belum tuntas serta komitmen pada DPR mengenai masalah RUU ini. Dalam hal ini, ternyata pemerintah masih memerlukan lebih aspirasi dan pandangan dari masyarakat terkait pada permasalahan pengangkatan tenaga honorer sebagai salah satu kendala dalam pengesahan UU ASN. Selain itu, RUU ASN ini masih diperlukan kajian lebih menyeluruh tidak hanya pada masalah honorer tetapi juga ASN yang merupakan manusia penggerak dalam birokrasi perlu ditingkatkan kapasitasnya agar dapat melepaskan penilaian-penilaian akan pandangan yang kebanyakan negatif akan pelaksanaan birokrasi seperti berbelit-belit dan lambat.
DPR dalam pelaksanaan Revisi UU ASN ini berujung dengan membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk melihat dan mengkaji permasalahan lebih pada ASN. Dalam RUU ASN ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah dalam rangka mewujudkan manajemen ASN yang berkeadilan dan berkepastian hukum terlebih pada problem dalam UU ASN yang tidak memfasilitasi pengangkatan honorer menjadi ASN. Melalui Komisi II, akan direncanakan pada revisi UU ASN dengan tujuan pokoknya untuk menata secara lebih dalam atau dengan spesifikasi lebih pada masalah yang muncul, baik di lingkungan sosial maupun di diri ASN sendiri. Permasalahan tidak hanya pada pemerintah daerah terhadap peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat tetapi lebih pada sinkronisasi dan koordinasi oleh keduanya agar pelaksanaannya dapat mendapatkan pada keputusan yang efektif.
Meski begitu, RUU ASN saat ini tidak akan lagi mengkaji pengangkatan tenaga honorer menjadi ASN baik PNS maupun PPPK. Menurut Komisi II DPR hanya beberapa pembahasan untuk dilakukan pendalaman lebih. Pemerintah akan memfasilitasi tenaga PNS dan PPPK melalui seleksi terbuka dengan CPNS atau seleksi PPPK. Pelaksanaan seleksi ini dapat menjadi langkah untuk tenaga honorer yang ingin lanjut sebagai ASN. Mengenai masalah honorer yang tidak kunjung pada penyelesaian karena jumlahnya yang semakin banyak setiap tahun dalam konteksnya pengangkatan tenaga honorer menjadi ASN, sehingga masalah ASN tidak dapat diakomodasikan dalam RUU ASN. Melalui RUU ASN juga menjadi harapan bahwa ASN berperan netral dan profesional dalam pelaksanaan pelayanan publik. RUU ASN tentu saja menjadi attention public dengan menimbulkan harapan akan adanya pengangkatan honorer menjadi PNS/PPPK serta kebijakan pengupahan standar UMR untuk tenaga honorer untuk ikut pada analisis Revisi UU ASN ini.
Kemudian Maier berbicara mengenai efektivitas pengambilan keputusan dilihat dan dibandingkan antara kualitas keputusan (quality) dengan penerimaan atas keputusan tersebut (acceptability). Kualitas dari keputusan dipandang secara teknis (terdapat standar) dan rasional apakah sesuai dengan masalah yang dihadapi, dengan tujuan serta prosedur pada pengambilan keputusan tersebut. Selanjutnya jika penerimaan dipandang dari secara subjektif dengan ada tidaknya dukungan dan kepatuhan terhadap keputusan yang ditetapkan. Berdasarkan pada Q dan A secara matematis, keputusan dapat dipandang dalam tiga pandangan. Pertama, efektivitas pengambilan keputusan (Q/A) dicapai apabila sebuah kualitas pengambilan keputusan tersebut tinggi tetapi penerimaan yang rendah. Kedua, pengambilan keputusan yang efektif (A/Q) dicapai apabila penerimaan tersebut tinggi tetapi pada kualitas ternyata rendah. Ketiga, pengambilan keputusan yang efektif (A=Q) dicapai apabila kualitas dan penerimaan pada sama-sama tinggi atau sama-sama pentingnya.
Melihat pada akhir mengenai permasalahan RUU ASN ini adalah pada penghapusan tenaga honorer pada Tahun 2023 dari instansi pemerintah pusat serta daerah. Alasan utamanya adalah pada sistem upah yang masih dibawah dari UMR dan keinginan Presiden Jokowi untuk dalam pelaksanaan birokrasi yang lebih efektif dan efisien dengan digitalisasi atau mengoptimalkan kemampuan penguasaan teknologi dan informasi terbarukan. Penghapusan tenaga honorer terdapat melalui SE Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara tentang Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, bahwa saat ini akan hanya ada dua status pegawai pemerintah yang disebut dengan CPNS dan PPPK. Honorer tetap akan dibutuhkan dengan catatan bahwa proses rekrutmennya sesuai dengan kepentingan dan sistem upah yang sesuai UMR. Selain itu, honorer memiliki big chance untuk berpartisipasi pada seleksi CPNS atau pada outsourcing. Dengan begitu harapannya adalah menjadi bentuk dari perubahan strategis dalam developing human resource process ASN profesional dan sejahtera. Penghapusan tenaga honorer tetap akan menimbulkan kerisauan serta efeknya kepada guru honorer di sekolah. Kurangnya sumber daya manusia dalam pelaksanaan kegiatan di sekolah-sekolah masih diisi dengan para guru honorer tersebut. Penghapusan tenaga honorer dikhawatirkan akan memperbanyak pengangguran jika pemerintah tidak membuka formasi guru ASN sesuai dengan kebutuhan sekolah.
Pada akhirnya permasalahan pada RUU ASN ini adalah bahwa penerimaan (acceptability) atau respon dari masyarakat sangat rendah akan keputusan Revisi UU ASN lebih utamanya pada penghapusan tenaga honorer yang malah memperumit permasalahan-permasalahan sebelumnya, padahal dengan Revisi UU ASN ini sangat diharapkan bahwa mampu untuk memberikan kesempatan dengan menata lebih baik sumber daya manusianya pada lingkup ASN sendiri. Meski begitu, keputusan tersebut dapat dikatakan bahwa kualitasnya (quality) baik atau tinggi karena melalui UU ini dimungkinkan untuk mampu meningkatkan kemampuan kualitas kinerja dan kapasitas dari para pengisi di instansi birokrasi agar lebih netralitas dan profesionalitas. Demikian dalam efektivitas pengambilan keputusan RUU ASN ini mementingkan kepada'quality over the acceptability' atau pada pengambilan keputusan ini mendahulukan kualitas yang tinggi tetapi dengan memerlukan penerimaan yang rendah karena penerimaan dalam keputusan tidak dipentingkan dibandingkan dengan kualitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H