Mohon tunggu...
DHEA ATHALIA FRIDAYANTI
DHEA ATHALIA FRIDAYANTI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Pembangunan Jaya

Seorang mahasiswi Universitas Pembangunan Jaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pembentukan Generasi Konsumtif Masa Kini

25 Mei 2023   14:23 Diperbarui: 25 Mei 2023   14:30 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

 Pernahkah kamu membayangkan membeli sebuah kertas foto yang dirilis oleh artis atau idol Korea seharga jutaan rupiah? Faktanya, hal ini tengah menjadi tren bagi pecinta budaya Korea beberapa tahun terakhir. Pada Sabtu, 17 Desember 2022 pukul 12:06 PM yang lalu, sebuah postingan anonim di akun Twitter @sbtcon, "sbt! 32jt yay/nay? Sender ditawarin sellkor & kebetulan sender nyari ga in rush, pict not mine," sembari menyertakan sebuah jepretan kertas foto anggota grup terkenal dari Korea Selatan, V BTS. 

Di dalam postingan tersebut, pengunggah tengah meminta pendapat pengikut akun tersebut apakah sebaiknya tetap membeli kertas foto V BTS seharga Rp. 32.000.000,- atau tidak. 

Bagi pihak yang tidak pernah tenggelam terlalu dalam dalam dunia fangirl maupun fanboy, fakta ini tentu saja sangat mencengangkan. Uang sebanyak dua digit tersebut tidak dapat dikatakan sebagai jumlah yang sedikit. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa arus budaya Korea Selatan yang biasa disebut K-wave ini telah membentuk generasi yang konsumtif. Aspek apa saja yang menjadi bukti bahwa K-wave telah membentuk generasi konsumtif masa kini? Mari kita bahas lebih rinci.

 

Biaya bulanan untuk situs siaran legal menonton drama dan mendengarkan musik

Bentuk yang paling umum dari mencintai budaya Korea yang masuk ke dalam negeri kita adalah dengan menikmati produknya seperti drama dan musik melalui berbagai situs legal yang disediakan. Mari kita bandingkan. Sebelum-sebelumnya, untuk mengakses produk sinetron domestik, kita bisa cukup mengaksesnya melalui saluran televisi di rumah. Namun, seiring berjalannya waktu, akses tersebut semakin berkurang karena ramainya situs siaran berbayar yang mulai bermunculan karena tingginya impor drama dan film asing yang masuk melalui siaran berbayar tadi. Situs siaran berbayar seperti Netflix, VIU, Disney+ Hotstar dan masih banyak lainnya memberikan penawaran akses eksklusif siaran drama Korea yang tengah tayang di negara aslinya. Hanya saja, untuk dapat mengakses situs-situs tersebut, tentu saja para penikmat drama negeri gingseng ini perlu merogoh kantong untuk membayar biaya langganan. Bayangkan, jika setiap bulan kita berlangganan paket dasar Netflix seharga Rp. 60.000,- , VIU seharga Rp. 25.000,- , dan Disney+ Hotstar seharga Rp. 20.000,-, maka biaya minimal yang harus kita keluarkan per bulannya untuk menikmati drama-drama Korea adalah sebesar Rp. 105.000,-.

Tidak hanya cukup sampai disitu saja. Jika ingin menikmati musik legal di situs siaran seperti Spotify, kita perlu menambah biaya pengeluaran sebanyak Rp. 59.000,- per bulannya. Di samping biaya pengeluaran untuk situs-situs siaran dram dan musik, tentu saja kita juga perlu mengeluarkan biaya lainnya untuk pembayaran paket internet bulanan yang bisa dipilih melalui paket data seluler ataupun paket Wifi. Anggap saja biaya bulanan untuk paket internet kita sebesar Rp. 35.000,-, maka total yang perlu kita keluarkan secara rutin setiap bulannya berada di kisaran Rp. 200.000,-. Untuk ukuran pekerja, biaya pengeluaran rutin sebesar dua ratus ribu rupiah, bisa saja tidak terasa memberatkan. Akan tetapi, bagi target pasar K-wave yang kebanyakan merupakan remaja dengan rentang usia 15-22 tahun yang belum mampu menghasilkan pendapatan sendiri, biaya pengeluaran tersebut tentu saja dapat menjadi beban tambahan bagi mereka.

Budaya impor produk berbau Korea

Setelah mendapatkan paparan budaya negeri gingseng melalui drama dan musik pop yang masuk melalui situs siaran, kecenderungan untuk menirukan gaya hidup mereka pun juga semakin meningkat. Penelitian oleh Lathifah et al (2018), Ri'aeni et al (2019) maupun Putri (2020) menekankan adanya kecenderungan perilaku imitasi terhadap budaya asing yang mereka ikuti tersebut. Beberapa contohnya adalah dengan memakai pakaian dan aksesoris dari Korea, make-up dan skincare dari Korea, kuliner khas Korea, dan lain sebagainya. Perilaku imitasi ini yang nantinya akan mendorong mereka untuk semakin konsumtif terhadap produk yang diimpor dari Korea Selatan.

Mari kita ambil contoh bentuk imitasi dalam bidang fashion. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Novarianti dan Ardhiyansyah (2021) dari Badan Pusat Statistik, terjadi peningkatan yang sangat signifikan pada berat impor dari tahun 2017-2021, yaitu dari 3593928,00 di tahun 2017 menjadi 6927202,00 di tahun 2021. Data ini timbul karena tingginya budaya membeli pakaian bekas layak pakai yang biasa disebut thrifting dari Korea Selatan. Budaya thrifting ini menjadi sangat digemari penikmat budaya Korea mengingat Korea Selatan merupakan negara dengan arus perubahan fashion yang sangat cepat karena pengaruh perubahan 4 musimnya. Produk fashion yang dibeli kemudian dijadikan sebagai identitas sosial Novarianti dan Ardhiyansyah (2021).

Begitu juga dengan make-up dan skincare impor dari Korea Selatan. Setyani et al (2021) dalam penelitian Novarianti dan Ardhiyansyah (2021) menekankan bahwa minat beli produk make-up dan skincare Korea sangat dipengaruhi oleh K-wave yang sedang terjadi di negeri kita. Buktinya, jasa penitipan pesanan berupa make-up dan skincare dari negeri asal grup band BTS ramai bermunculan. Salah satu jasa yang terkenal di kalangan pengguna Twitter adalah akun @brick_velvet. Bermunculannya jasa seperti ini sekali lagi memberikan bukti kuatnya daya konsumsi produk impor make-up dan skincare dari sana. Apalagi, Korea Selatan diketahui menyuguhkan pilihan produk yang sangat beragam dan mampu menguras kantong pembelinya. Tidak hanya harga produknya yang lumayan menentukan, tetapi biaya pengirimannya pun juga turut andil dalam menambah list pengeluaran bulanan kita sebagai konsumen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun