Sebagaian orang menilai buruk perempuan yang berpakaian terbuka padahal gaya berpakaian adalah hak setiap individu dan bukanlah tolak ukur. Mengapa demekian?
Ketika seorang perempuan terlihat mengenakan pakaian terbuka seperti atasan tanpa lengan, rok di atas lutus, atau dress slim fit banyak menimbulkan omongan dari orang-orang sekelilingnya. Sebagian orang langsung membuat penilaian di dalam pemikirannya, sebagian lainnya berkomentar tanpa memikirkannya terlebih dahulu. Pakaian seperti itu selalu saja menimbulkan pandangan buruk dari banyak orang yang katanya "Mengundang" padahal kenyataannya bukan begitu.
Gaya berpakaian merupakan hak setiap individu, terlepas dari norma agama. Tidak ada Undang-Undang mengenai tata cara berpakaian yang menyeluruh dari seluruh dunia. Setiap negara memiliki identiknya masing-masing. Tidak ada yang salah dalam berpakaian, semua kembali pada selera dan kriteria berpakaian masing-masing.
Penelitian sebuah studi yang dilakukan University of Survei di Guildford Inggris menjelaskan bahwa wanita yang menggunakan pakaian terbuka sampai memperlihatkan kulit tubuhnya di waktu kelulusan dinilai telah melakukan banyak hal buruk di sekolah dibandingkan dengan teman sekelas mereka yang tampil lebih sederhana.
Fashion bukan tolak ukurÂ
Fashion merupakan sebuah ekspresi estetika yang sedang populer di waktu, masa, tempat tertentu, dan dalam konteks tertentu. Terutama pada pakaian, alas kaki, gaya hidup, aksesoris, riasan wajah, gaya rambut dan proposi tubuh. Seseorang akan tampil percaya diri dengan pakaian yang dikenakannya atau fashion. Semakin kita percaya diri, maka aura positif akan terpancar. Dengan tampil percaya diri semua perempuan memiliki kriteria dalam berpakaian.
Seorang supermodel Indonesia Kimmy Jayanti pernah membuka suara tentang berpakaian wanita yang tidak bisa dijadikan tolak ukur. "Apakah wanita bisa menjadi tolak ukur dari cara berpakaian? Tidak, banyak profesi wanita yang mewajibkan untuk berpakaian (mini) di atas lutut dan bagian atas (dada) sedikit terbuka ketika mereka bekerja di club malam, waiters,dan candy golf untuk menyambung hidup." tulis Kimmy Jayanti
"Fashion model yang bekerja di dunia fashion, dengan perkembangan zaman ada saatnya ketika fashion model harus dihadapkan dengan busana yang menampilkan lebih banyak kulit dan bentuk tubuh di atas catwalk. Atau bahkan hanya wanita kantoran yang suka "Playing dress up" dengan fashion items untuk memaksimalkan penampilannya.
Pernyataan tersebut sangat mendukung penolakan fashion sebagai tolak ukur keburukan seseorang. Seperti yang ia bilang, fashion dapat berubah seiring perkembangan zaman yang dapat berasal dari beberapa faktor seperti social media, dunia entertainment, dunia musik, media massa, dan lain-lain.
Lalu bagaimana kasus pelecehan seksual?
Survei yang diikuti lebih dari 62 ribu orang ini bermaksud agar kita lebih paham tentang bagaimana pelecehan seksual di ruang publik terjadi, perspektif korban dan orang yang menyaksikan pelecehan, serta mengecek kebenaran mitos-mitos tentang pelecehan seksual di ruang publik seperti jenis pakaian korban dan waktu terjadinya pelecehan.
Menurut hasil survei, mayoritas korban pelecehan tidak mengenakan baju terbuka saat mengalami pelecehan seksual, melainkan memakai celana atau rok panjang (18%), hijab (17%), dan baju lengan panjang (16%). Hasil survei juga menunjukkan bahwa waktu korban mengalami pelecehan mayoritas terjadi pada siang hari (35%) dan sore hari (25%).
Berbeda dengan mitos, survei ini juga membuktikan bahwa pelecehan seksual tidak selalu dialami oleh perempuan, namun juga laki-laki. Karena itu isu mengenai pelecehan seksual di ruang publik ini tidak hanya menjadi kepedulian perempuan, tetapi juga laki-laki. Apalagi untuk orang-orang yang telah memiliki anak karena hasil survei ini menunjukkan bahwa satu dari dua korban mengalami pelecehan seksual saat masih di bawah umur. Mayoritas korban mengaku mengalami pelecehan secara verbal seperti komentar atas tubuh (60%), fisik seperti disentuh (24%) dan visual seperti main mata (15%)
Salah satu temuan penting dari survei ini yaitu soal reaksi para saksi (bystander) saat terjadi pelecehan seksual di ruang publik. Korban mengaku banyak saksi yang mengabaikan (40%) dan bahkan menyalahkan korban (8%) ketika pelecehan terjadi.Â
Namun banyak pula yang membela korban (22%) dan berusaha menenangkan korban (15%) setelah kejadian. Sebanyak 92% korban pun mengaku merasa terbantu setelah dibela.Jadi, pelecehan seksual ini murni terjadi 100% karena niat pelaku. Tidak ada korban yang "Mengundang" untuk dilecehkan. Tidak seharusnya korban pelecehan seksual disalahkan karena kejahatan yang dilakukan orang lain.
Rika Rosyianti, mengatakan bahwa sudah saatnya kita ubah pola pikir kita yang malah sering melakukan viktimisasi "Karena kalau kita tidak bertindak, pelecehan seksual ini akan terus terjadi dan menghasilkan lebih banyak korban yang bisa jadi adalah orang yang penting dalam hidup kita."Selama ini banyak anggapan yang mengatakan bahwa perempuan yang mengenakan baju terbuka akan menjadi korban pelecehan. Atau yang lebih mengenaskan lagi, adanya mitos bahwa perempuan dengan baju terbuka adalah perempuan yang merangsang pelecehan seksual.
Ternyata tidak, sebagian besar orang menggunakan fashion hanyalah sebagai formalitas dan kepentingan pekerjaan saja. Tidak ada salahnya berpakaian terbuka, hanya saja kembali kepada norma agama masing-masing mengenai tata cara busana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H