Sudah kita ketahui bahwa limbah padat domestik sebagian besar berbentuk sampah organik, selain itu sampah menjadi momok menakutkan bagi masyarakat sehingga membentuk salah satu permasalahan yang harus dihadapi di seluruh kota yang ada di dunia terutama di Indonesia, lebih memprihatinkan lagi bahwa Indonesia penyumbang sampah terbesar kedua dengan volume 187,2 juta ton/tahun, dengan china pada posisi pertama yaitu 262,9 juta ton/tahun. Lalu hadirlah penemuan baru pada tahun 2003 dari seorang Doktor berasal dari Thailand bernama Dr. Rosukon Poompangvong dengan penemuan Eco Enzyme yang merupakan hasil dari pemberdayaan ibu-ibu bagian dapur yayasan Khazanah Kebijakan agar bisa memanfaatkan sampar organic yang tidak terpakai menjadi bermanfaat untuk lingkungan guna menjaga lingkungan dari limbah domestik.
Pemilihan sampah organik dalam pembuatan Eco Enzyme sebagai salah satu alternatif pemanfaatan limbah organik menjadi suatu produk yang mempunyai nilai ekonomi dan nilai manfaat yang tinggi, Dalam prisip proses pembuatan Eco Enzyme tak lain sama seperti pembuatan kompos tetapi ada tambahan air sebagai media pertumbuhan, agar produk akhir yang didapat berupa cairan yang lebih disukai guna memundahkan dalam pemakaian.sebab Eco Enzyme ini upaya dalam pemanfaatkan energi berkelanjutan yang dapat memudahkan masyrakat dalam mengatasi limbah domestic yang kian hari bertambah, suatu ide baru menjadi Langkah menarik dalam membuat sampah terutama sampah organic dalam pembuatan Eco Enzyme, pemilihan sampah bisa dilakukan dengan memilah sampah organic dan anorganik dalam dua tempat, pemanfaatan sampah anorganik bisa didaur ulang menjadi bahan pakai yang mempunyai nilai jual tinggi, seperti tempat tisu, tempat kosmetik, tas rajut dari sampah plastik bahan bisa di buat Ecobrick yang bisa dimanfaatkan untuk pembuatan kursi, blok bangunan, meja walaupun tak bisa bertahan lama.
Tetapi dalam pemanfaatan sampah organic Eco Enzyme menjadi penyelamat yang juga sering disebut sebagai cairan multiguna sebab bisa di manfaatkan baik di bidang rumah tangga, pertanian, pertenakan maupun di bidang industry. Contoh yang bisa digunakan dalam pemanfaatan Eco Enzyme yaitu untuk bahan kosmetik, bahan pembersih lantai, insektisida sampai pupuk cair yang bisa merangsang  hormon tanaman untuk meningkatkan kualitas sayuran dan buah serta meningkatkan kesuburan dari hasil panen.Â
Hebatnya Eco Enzyme ini memiliki keistimewaan dengan tidak perlu lahan luas untuk fermentasi seperti pada pembuatan kompos, bahkan hebatnya lagi Eco Enzyme tak perlu bak komposter dengan spesifikasi tertentu. Botol-botol bekar air mineral maupun bekar produk lain yang sudah tidak terpakai dapat di manfaatkan kembali sebagai media fermentasi. Hal ini dapat mendukung upaya konsep reuse dalam menyelamatkan lingkungan dari Limbah Domestik seperti sampah.
Salah satu hasil dari Eco Enzyme adalah pupuk cair, yang sudah di singgung di atas, penggunaan pupuk cair ini caranya mengencerkan setiap 30 ml larutan Eco Enzyme ke dalam 2 L air untuk disemprotkan pada tanaman. Hal lain yang dapat dilakukan untuk pengendalian tanaman dan hewan penganggu seperti semut, kecoa, nyamuk, lalat, ataupun serangga lainnya dengan cara mengencerkan 15 ml larutan Eco Enzyme ke dalam 500 ml air lalu di semprotkan pada daeran yang dihinggapi serangga, atau langsung kepada serangganya. Sisa ampas dari hasil saringan bisa digunakan sebagai starter atau mempercepat dalam proses pembuatan Eco Enzyme selanjutnya, bisa juga dipakai dalam proses penguraian septitank dengan cara dihancurkan dan dimasukan dalam toilet serta sebagai kompos.
Cara Membuat Eco Enzyme
1. Bahan-bahan yang digunakan:
  - Limbah kulit buah/ampas buah/sayuran
  - Gula (Gula merah/gula coklat/gula tebu)
  -  Air
2. Alat-alat yang digunakan :
  -  Ember
  - Tong/Ember dengan tutupnya
3. Langkah dalam pembuatanÂ
- Pertama, bahan yang disiapkan berupa 3 bagian sampah organik (kulit buah dan sayur), 1 bagian gula pasir (gula merah/gula merah/gula tebu) dan 10 bagian air. Misalnya 900 gram sampah organik Menggunakan 300 g gula pasir dan 3000 g (ml) air atau 300 g sampah organik 100 g gula pasir: 1 L air.
- Setelah itu, bahan-bahan tersebut dicampur, dikocok, dan ditutup rapat dalam wadah. Setelah itu, beri waktu tiga bulan penuh untuk difermentasi. Pada bulan pertama fermentasi, alkohol akan diproduksi; yang kedua, cuka atau asam asetat; dan yang ketiga, enzim.
- Pada 2 minggu pertama proses fermentasi gas yang terbentuk cukup banyak, dapat diupayakan agar dapat membuka penutup wadah untuk menghilangkan gas kemudian ditutup kembali. Jika pembentukan gas telah berkurang, wadah bisa dibuka-tutup seminggu sekali.
Jika selama proses fermentasi muncul cacing atau jamur putih atau larutan hitam, tambahkan segenggam atau seluruh gula pasir, aduk rata, dan tutup kembali adonan. Sebaliknya, jamur berwarna hitam menandakan proses fermentasi telah gagal. Pemanenan memerlukan waktu tiga bulan untuk didiamkan, hal ini terlihat dari larutan yang berubah warna menjadi coklat keruh dan berbau sangat manis dan asam. Pemanenannya dilakukan dengan menyaringnya melalui kain, memasukkannya ke dalam botol atau wadah plastik, dan mengencangkan tutupnya. Anda dapat menyimpan barang pada suhu ruangan asalkan terlindung dari sinar matahari langsung dan di tempat teduh.
Kaca tidak boleh digunakan dalam wadah tertutup yang digunakan untuk membuat enzim ramah lingkungan karena aktivitas mikroba fermentasi dapat menyebabkan kaca pecah. Tidak disarankan menggunakan bahan yang terbuat dari minyak atau produk hewani karena pembusukan daging yang tidak terkendali dapat memicu tumbuhnya patogen. Anda bisa menambahkan daun pandan atau kulit jeruk atau lemon agar aroma eco enzime lebih segar. Eco enzim mempunyai umur simpan yang panjang. Pengelolaan sampah organik dapat membantu mencegah penumpukan sampah secara keseluruhan dan membuang bahan organik, yang memiliki banyak potensi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H