Menurut Foucault, kekuasaan tidak bertindak secara langsung atau instan, akan tetapi bertahap pada orang lain. Ini jelas berbeda dengan kekuasaan yang biasanya diidentikkan dengan kekerasan atau sesuatu yang mempengaruhi seseorang secara langsung. Ketika seseorang dirantai dan dipukuli, itu bukanlah relasi kekuasaan. Kekuasaan muncul ketika orang yang dirantai dan dipukuli tersebut dapat dibujuk untuk berbicara, meskipun hanya sedikit.
Dengan adanya pengetahuan, maka memungkinkan keberadaan kekuasaan. Keinginan untuk mengetahui dapat berubah menjadi proses dominasi. Pengetahuan  adalah cara kekuasaan dipaksakan kepada individu seolah-olah tanpa adanya pemaksaan.
Menurut Foucault, batas-batas diskursif mempengaruhi pandangan kita terhadap objek. Batasan diskursif merupakan wacana dan pengertian atas pandangan yang dianggap benar. Dengan kata lain, perspektif individu terhadap sesuatu terbatasi wacana yang mengartikan sesuatu apakah bersifat benar atau salah. Misalnya ketika terbesit kata dosen, maka pemikirian kita akan menuju pada seseorang yang harus dihormati, yang memberikan pengetahuan di perguruan tinggi, dan sebagainya.
ANALISIS RELASI KUASA DALAM KEKERASAN SEKSUAL SEXTING DI LINGKUNGAN KAMPUS
Berdasarkan contoh kasus kekerasan seksual sexting yang terjadi di Universitas Negeri Jakarta, diketahui bahwa pelaku (D-A) merupakan seorang dosen pembimbing di Prodi Pendidikan Tata Rias, Fakultas Teknik.
Jika dikaitkan dengan teori relasi kuasa Foucault, maka benar bahwa dimana ada relasi, disitu pula terdapat kekuasaan. Terdapat bentuk kekuasaan D-A sebagai dosen pembimbing dalam relasinya dengan mahasiswa, Â misalnya memerintahkan mahasiswa untuk merevisi skripsinya, menentukan waktu dan tempat konsultasi, dan lain sebagainya.
Foucault juga menganggap kekuasaan tidak dipegang atau dijalankan di lingkungan dimana terdapat banyak orang, namun ada pada individu itu sendiri sebagai subjek. Dalam relasi yang terjalin antara dosen dan mahasiswa, dosen berperan sebagai pihak yang berkuasa (power) dan mahasiswa menjadi pihak yang tidak memiliki kuasa (powerless). Hal ini berarti dosen sebagai subjek memiliki kuasa atas mahasiswanya. Dalam contoh kasus, maka D-A sebagai dosen pembimbing berkuasa atas mahasiswa bimbingannya.
Dalam pemikiran Foucault, keinginan untuk mengetahui dapat berubah menjadi proses dominasi. Ini benar adanya, karena sesuai dengan apa yang dialami mahasiswa dalam relasinya dengan dosen. Dominasi atas mahasiswa yang dilakukan oleh D-A misalnya dengan mengancam tidak meluluskan mahasiswanya. Hal ini sesuai dengan komentar di unggahan Instagram @spaceunj berikut
Selain itu, adanya kuasa dan dominasi yang dimiliki oleh D-A sebagai dosen juga membuat ia merasa berhak atas mahasiswanya. Ini mungkin saja menjadi salah satu faktor mengapa ia secara sadar berani melakukan kekerasan seksual sexting tersebut.
Menurut Foucault, batas-batas diskursif mempengaruhi pandangan kita terhadap objek. Dalam relasi kuasa dosen-mahasiswa, mahasiswa mendefinisikan dosen sebagai seseorang yang harus dihormati dan disegani karena pengetahuannya. Hal inilah yang memungkinkan korban atas tindakan kekerasan seksual sexting yang dilakukan D-A membiarkan perlakuannya dan takut atau enggan untuk melapor.
KESIMPULAN