Mohon tunggu...
Choirunnisa
Choirunnisa Mohon Tunggu... Lainnya - mengurus rumah tangga

Thinking extrovert

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Quiet Quitting, Fenomena Pekerja yang Memilih Bekerja Secukupnya

15 Oktober 2024   09:32 Diperbarui: 15 Oktober 2024   09:54 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jangan serba bisa di kantor, nanti semua kamu yang kerjakan loh!

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah quiet quitting menjadi semakin populer, terutama di kalangan karyawan yang merasakan ketidakpuasan di tempat kerja. 

Fenomena ini merujuk pada situasi di mana pekerja hanya melakukan tugas secukup yang diperlukan, tanpa terlibat secara emosional atau memberikan usaha lebih. 

Karyawan memilih untuk "cukup" hadir, menyelesaikan tanggung jawab mereka, namun tidak berusaha untuk terlibat aktif. Fenomena ini menyoroti masalah yang lebih besar terkait keseimbangan kerja-hidup dan harapan yang tidak realistis dalam dunia kerja.

Kenapa fenomena ini terjadi?

Salah satu penyebab utama dari quiet quitting adalah burnout, kondisi yang diakibatkan oleh tekanan kerja yang berlebihan.

Banyak karyawan merasa terjebak dalam rutinitas yang melelahkan, di mana mereka dipaksa untuk menyelesaikan lebih banyak tugas tanpa adanya pengakuan atau imbalan yang memadai. 

Dalam banyak kasus, pekerja yang dianggap "serba bisa" atau "andalan" sering kali merasa tidak memiliki pilihan lain selain mengambil alih tugas rekan kerja yang tidak terselesaikan. 

Akibatnya, mereka merasakan beban kerja yang semakin berat, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kelelahan dan penurunan motivasi.

Menurut laporan Gallup di tahun 2022, keterlibatan karyawan di tempat kerja berada di titik terendah dalam sepuluh tahun terakhir. 

Studi dari WHO bahkan menyebutkan bahwa burnout bisa memengaruhi kesehatan secara keseluruhan. Dalam kondisi ini, karyawan mungkin tidak mau keluar dari pekerjaannya, tapi mereka juga tidak merasa terikat secara emosional dengan pekerjaan tersebut---itulah mengapa mereka memilih jalan quiet quitting.

Mengapa keseimbangan kerja penting?

Keseimbangan kerja-hidup yang baik sangat penting untuk kesehatan mental dan fisik karyawan. 

Ketika karyawan merasa terjebak dalam pekerjaan yang tidak memuaskan dan berlebihan, mereka cenderung kehilangan motivasi dan keterlibatan. 

Karyawan yang memilih untuk melakukan quiet quitting melakukannya sebagai cara untuk menjaga kesejahteraan mereka, meskipun langkah ini mungkin tampak sebagai penyerahan.

Fenomena ini juga menunjukkan adanya kekurangan komunikasi dan pengelolaan beban kerja yang adil di tempat kerja. 

Ketika karyawan tidak merasa didengar atau dihargai, mereka lebih cenderung untuk menarik diri dari keterlibatan aktif dalam pekerjaan mereka. 

Hal ini menciptakan siklus negatif yang mempengaruhi produktivitas dan moral tim secara keseluruhan.

Mencari solusi, tanggung jawab bersama

Jadi, apa solusinya? Pertama, perusahaan perlu menyadari bahwa mereka memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan kerja yang positif. 

Meningkatkan keterlibatan karyawan bisa dimulai dengan mendengarkan umpan balik mereka dan memberikan penghargaan yang layak atas kontribusi yang diberikan. 

Ini bisa berupa pengakuan secara verbal, program penghargaan, atau bahkan kesempatan untuk pengembangan karir yang nyata. Ketika karyawan merasa dihargai, mereka cenderung lebih termotivasi untuk berkontribusi lebih.

Selain itu, perusahaan juga perlu memberikan dukungan untuk kesehatan mental. 

Program kesejahteraan yang menawarkan konseling, workshop tentang manajemen stres, atau kegiatan yang membangun tim dapat membantu karyawan merasa lebih terhubung dan didukung. 

Lingkungan kerja yang positif dapat membantu mengurangi kecenderungan quiet quitting.

Di sisi lain, karyawan juga harus mengambil tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. 

Membuat batasan yang jelas adalah langkah awal yang penting. Misalnya, menetapkan jam kerja yang tegas dan berkomitmen untuk tidak mengecek email atau pesan kerja di luar jam tersebut dapat membantu menjaga energi dan semangat. 

Selain itu, mencari waktu untuk beristirahat dan melakukan kegiatan yang menyenangkan di luar pekerjaan juga penting untuk menjaga kesehatan mental.

Fenomena quiet quitting mencerminkan kebutuhan untuk mengevaluasi kembali keseimbangan kerja-hidup kita dan cara kita berinteraksi di tempat kerja. 

Dengan memahami penyebab di balik perilaku ini dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif dan mendukung, baik perusahaan maupun karyawan dapat bekerja sama untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik. 

Pada akhirnya, ini tidak hanya akan meningkatkan kesejahteraan individu tetapi juga produktivitas tim secara keseluruhan. 

Menciptakan budaya kerja yang sehat dan berkelanjutan adalah langkah penting untuk memastikan bahwa karyawan merasa terlibat dan bersemangat dalam pekerjaan mereka, bukan sekadar memenuhi tuntutan yang ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun