Dalam era modern ini, kebutuhan akan instrumen investasi yang aman, stabil, dan sesuai dengan prinsip syariah semakin meningkat.Â
Salah satu pilihan yang semakin banyak dilirik adalah dinar emas. Instrumen ini tidak hanya berperan sebagai investasi tetapi juga memiliki sejarah panjang dalam sistem ekonomi Islam.
Apa itu dinar emas?
Dinar emas adalah koin yang terbuat dari emas murni 22 karat (91,7%) dengan berat sekitar 4,25 gram. Penggunaan dinar sebagai mata uang resmi dalam ekonomi Islam dimulai pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan pada abad ke-7.Â
Sejak itu, dinar menjadi alat tukar yang sah dalam sistem keuangan Islam dan dianggap sesuai dengan prinsip syariah. "Dinar emas merupakan bagian penting dari sejarah ekonomi Islam dan masih dihargai hingga kini sebagai simbol kestabilan ekonomi," kata Dr. Ahmad S. Ibrahim, seorang ahli ekonomi Islam dari Universitas Al-Azhar dalam wawancaranya dengan Journal of Islamic Economics (2023).
Dinar emas sebagai alat penyimpan nilai
Meskipun kini dinar emas tidak lagi digunakan sebagai alat tukar sehari-hari, ia lebih sering dianggap sebagai instrumen penyimpan nilai atau investasi stabil.Â
Karena terbuat dari emas, dinar memiliki nilai intrinsik yang tahan terhadap inflasi lebih baik dibandingkan uang kertas. Dalam sebuah studi yang dipublikasikan oleh International Journal of Financial Studies (2022), dinar emas dikategorikan sebagai aset yang mampu mempertahankan nilai meskipun terjadi fluktuasi ekonomi global.Â
"Emas sebagai komoditas fisik memberikan perlindungan yang kuat terhadap penurunan nilai mata uang fiat," jelas Dr. Lisa Wong, penulis utama studi tersebut.
Mengapa dinar emas cocok untuk investasi?
Dinar emas semakin diminati sebagai instrumen investasi yang stabil dan sesuai dengan prinsip syariah. Salah satu keunggulan utama dinar emas adalah kemampuannya untuk melawan inflasi.Â
Emas, sebagai komoditas fisik, cenderung mengalami apresiasi ketika mata uang fiat menurun nilainya akibat inflasi.Â
"Dinar emas menawarkan perlindungan jangka panjang yang efektif terhadap inflasi dan ketidakstabilan ekonomi," kata Dr. Farhan Ali dari Harvard Business Review (2023).