Satu Blok Tiga Warna (Pluralis yang Harmonis antara Islam, Kristen, dan Konghucu)Â
Hidup bertetangga dengan berbagai agama membuat rasa toleransi di dalam diri saya tumbuh. Bagaimana tidak sebelumnya saya hanya tinggal dalam satu masyarakat yang hampir semuanya muslim. Ketika menikah dan tinggal di rumah peninggalan alm.mertua yang dalam satu blok itu ada yang beragama Islam, Kristen, dan Konghucu.Â
Memiliki banyak tetangga Konghucu dan Kristen membuat saya belajar tentang artinya menghargai sesama manusia dan rasa toleransi di dalam diri saya mulai tumbuh.Â
Awal-awal tinggal di rumah alm.mertua itu sempat kaget dengan aroma wangi di beberapa waktu tertentu. Ternyata itu wangi dari hio yang dibakar. Wangi harum yang sudah familiar sekarang menciumnya.Â
Dari cerita suami yang memiliki teman Islam, Kristen, dan Konghucu, dari kecil mereka bermain bersama dengan damai, saling menghargai kepercayaannya masing-masing. Hidup seperti biasa selayaknya manusia yang tidak memiliki perbedaan sampai saat ini sudah puluhan tahun hidup berdampingan dengan damai.Â
Ketika perayaan hari besar, beberapa tetangga Kristen dan Konghucu memberi selamat kepada tetangga muslim, dan ketika ada kematian pun mereka saling mengunjungi ketika ada tetangga muslim yang meninggal, tetangga non muslim tetap datang begitupun sebaliknya. Ketika ada tetangga non muslim meninggal dan disemayamkan di rumah duka, tetangga muslim juga datang melayat.Â
Dari deretan rumah saya yang muslim hanya empat rumah, selebihnya Konghucu dan ada satu rumah dipakai untuk klenteng, lebih uniknya meskipun di sini tidak ada yang beragama Budha. Di deretan rumah saya juga ada Cetiya (Rumah ibadah umat Budha).Â
Kami saling menghargai, maka ketika banyak orang-orang yang saling menghina antar agama, menurut saya mereka belum pernah hidup berdampingan bersama dengan berbagai agama. Berinteraksi langsung dalam keseharian membuat rasa toleransi itu tumbuh.Â
Maka ketika ada yang saling menghina, yang di dalam pikiran saya yang terbayang wajah-wajah baik tetangga yang berbeda agama.Â
Jadi tidak sanggup untuk menghinanya.Â
Lagipula dalam agama Islam, toleransi sudah final tidak perlu lagi diperdebatkan. Allah berfirman di dalam Surat Al Kafirun Ayat 6,Â
Lakum dnukum wa liya dn
Artinya: Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku". (Q.S. Al-Kafirun:6)Â
Seperti ceramahnya Ustad Adi Hidayat, bahwa muslim tidak akan menghina agama lain karena persoalan toleransi di agama kita sudah sangat jelas.Â
Selain aroma hio yang membuat kaget di awal tinggal di sini, culture shock selanjutnya adalah suasana lebaran yang sepi. Hehe.Â
Saya terbiasa tinggal di wilayah masyarakat hampir semuanya muslim, di rumah masa kecil saya hanya ada dua tetangga yang Kristen, selebihnya muslim. Di mana kalau lebaran ramai semua orang keluar saling mengunjungi tetangga, berkeliling. Pokoknya ramai sekali.
Ketika tinggal di rumah peninggalan alm.mertua, kok sepi. Hehehe. Tidak terasa hawa lebarannya. Saya berkeliling ke rumah tetangga yang muslim tidak banyak, sering melihat tetangga non muslim juga ikut berkeliling untuk memberi selamat kepada kami.Â
Suasana sepi ketika lebaran membuat saya lebih memilih berlebaran di rumah orang tua saya. Biar vibes lebarannya terasa. Hehe.Â
Begitulah cerita tentang toleransi saya dengan tetangga yang bermacam-macam agama. Hidup berdampingan dengan damai dan saling menghargai hak masing-masing ternyata bisa.Â
Semoga kita bisa terus saling bertoleransi antar umat beragama.Â
Semoga bermanfaat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H