Kecurigaan ini pun terungkap ketika kami menanyakan umur Niki sekarang. Dengan tubuh mungilnya ini seharusnya Niki sudah berusia 7 tahun. Ya 7 tahun dengan tubuh semungil balita 2 tahun. Tumbuh kembang Niki terganggu sejak dia berusia 5 bulan, tapi hanya satu setengah tahun terakhir ini keberadaan Niki disadari oleh petugas kesehatan setempat. Artinya setelah menginjak umur 5 tahunan, Niki baru saja diberikan penangan medis.
Tak banyak aktivitas yang dapat dilakukan oleh Niki selain menggeliat dengan tatapan kosong dipangkuan ibunya. Jangankan untuk bicara layaknya anak seumurannya, untuk menangis saja sepertinya butuh tenaga ekstra untuk mengekspresikannya. Sesekali terdengan suara batuk-batuk diserta nafas yang pendek dari rongga dadanya. Pada awalnya saya curiga bahwa Niki juga mengidap pneumonia. Tapi kecurigaan itu terbantahkan ketika sang ibu dengan santainya mengatakan bahwa Niki sekarang sedang terserang TBC di usianya yang masih belia.
Tak dapat dielakan, rasa iba muncul begitu saja dalam benak saya, mengalahkan rasa lelah yang sedang mengrogoti tubuh yang terforsir ini. Ditambah lagi, saya mendengar bahwa Niki sekarang tidak mendapatkan penanganan medis lagi. Penanganan Niki hanya bertahan sekitar 5 bulan, kemudian putus tanpa jejak dan usaha dari keluarga maupun tenaga kesehatan yang ada. Bermacam alasan pembelaan diri baik dari keluarga maupun tenaga kesehatan yang ada. Toh apapun itu, apakah sebuah nyawa tak berdosa lebih murah daripada sekedar harga diri orang dewasa?.
Kasus Niki hanyalah satu dari kasus-kasus lain yang masih “tersembunyi” dari “pengamatan” dinas kesehatan setempat. Masih ada Niki-niki lain yang sekarang ini hidup dalam kungkungan gizi buruk. Setidaknya dari data IPKM tahun 2013, sebanyak 37,42% balita di Nias Barat menderita gizi buruk dan gizi kurang. Jumlah ini tentunya bukan hal yang membanggakan untuk pulau secantik Nias.
Dalam perjalanan pulang ke Kota Gunung Sitoli saya pun termenung, mengingat-ingat perjuangan saya menjejakan kaki disini. Perjalanan “touring ekstrim tanpa safety riding” dan keterbatasan fasilitas hidup tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan permasalahan kesehatan yang tengah dihadapi masyarakat sini. Setidaknya harus ada yang “menyibak” tabir kemelut si Kabupaten peringkat 486 ini dari berbagai sisi. Masih terlalu dini untuk saya merasa “cengeng” meratapi kondisi lokasi pengumpulan data penelitian untuk 2 bulan ke depan. Dengan ditemani indahnya Pantai Nias di Kota Gunung Sitoli, saya pun hanya bisa berujar, aah.. Nias ku Sayang, Nias Barat ku....., Malang?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H