Mohon tunggu...
Ade Aryanti Fahriani
Ade Aryanti Fahriani Mohon Tunggu... Freelance Researcher -

Seorang hamba Allah pemakmur bumi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nias Ku Sayang, Nias Barat Ku, Malang?

15 April 2016   22:43 Diperbarui: 15 April 2016   22:55 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabupaten Nias Barat bisa dibilang kabupaten yang masih muda. Belum genap satu dekade setelah dimekarkan di tahun 2008, kabupaten ini diibaratkan seperti sepasang pengantin baru yang tengah dimabuk cinta. Yah, setidaknya itulah yang dikatakan oleh seorang pejabat Dinas Kesehatan Kabupaten yang saya temui,

“Nias Barat ini ibarat pengantin baru yang asik kasmaran. Kan kalau kita bicara ilmu orang baru menikah, seharusnya sebuah rumah tangga baru itu harus punya kompor dan kuali biar bisa masak, baru lama-lama beli piring, sendok. Kan kalau beras bisa saja diberi raskin, lauk bisa dicari di kebun. Nah ini Kabupaten ibarat gitu, bukan kompor dan kuali yang dibeli tapi yang pertama sendok. Punya sendok tapi gak bisa masak, kan percuma. Gini loh, kalau disini pemerintah berlomba-lomba bikin bangunan kantor besar, tapi gak ada tenaga SDM yang handal, bagaimana bisa jalan??. SDM kita masih belum “diolah” maksimal biar kompeten dan siap pakai...” (Pejabat Dinkes Kab. Nisbar)

[caption caption="Komplek Kantor Pemerintahan Nias Barat"]

[/caption]Satu hal yang saya tangkap dari analogi “pengantin baru” tersebut, bahwa untuk membangun kesehatan di Nias Barat ini masih terkendala SDM yang berkualitas. Hal senada juga dibenarkan beliau dalam kesempatan lain,

“Saya ini sebenarnya asli Nias Barat, tapi baru 10 bulan ada disini. Selama kurang lebih 30 tahun saya tugas di Jambi. Jadi kemarin pertama kali ditugaskan di Dinkes sini, saya cuma bisa mengelus dada, jadi selama 30 tahun ini tidak ada perubahan. Awalnya saya semangat membangun kesehatan disini, tapi setelah menjalani 10 bulan ini,,, yah... apa... yah dibilang putus asa yah masih belum lah, tapi.. yah orang-orang disini masih belum sadar untuk membangun, cuma beberapa orang yang saya cocok itu kalau diajak bicara soal membangun kesehatan disini...” (Pejabat Dinkes Kab. Nisbar)

Setelah selesai perizinan di Dinas Kesehatan dan Kesbangpol Kabupaten, saya pun diajak oleh orang dinkes untuk “menjenguk” salah satu desa sebagai salah satu gambaran riil kondisi disini. Awalnya saya mengira Dinkes menawarkan tumpangan berupa mobil dinas, tapi perkiraan itu meleset, bukan mobil tapi sebuah motor kelas 150 cc untuk menuju desa sekaligus kembali ke Kota Gunung Sitoli.

Bersama kawalan petugas Dinkes, saya melakukan “touring ekstrim” menuju Kota Gunung Sitoli. Ya bagi saya ini ekstrim, bukan hanya melewati jalanan yang berliku tajam dengan lubang dan aspal yang amblas, tapi juga karena saya tak memakai satupun perlengkapan “safety riding”. Terlebih lagi, sempat-sempatnya malam tadi saya membaca status salah satu senior saya (Mas ADL) yang mengisahkan tewasnya pengendara motor dalam perjalanan beliau menuju Kabupaten Bangka. Tentunya hal ini membuat pressure tersendiri dalam mental saya.

Sepanjang perjalanan naik-turun gunung yang licin pasca hujan, hati saya terus “ber-komat-kamit”. Hampir satu jam setengah, akhirnya kami berhenti sejenak di rumah salah satu warga untuk meninjau sebuah kasus kesehatan disini. Setelah turun dari motor, sekujur tubuh saya langsung gemetar. Jujur saja, mulai kemarin siang sampai sore ini perut saya hanya diisi sepotong roti, air, dan sebungkus mie instan. Yah, karena mencari makanan yang halal disini sulit. Tak dapat dielakan konsentrasi saya pun buyar, mental saya pun mulai tak stabil akibat fisik yang terforsir.

Sebuah Keterenyuhan...

Sebuah rumah beton setengah jadi berdiri tegar di depan saya. Sekilas rumah berlantai dua ini memang terlihat lebih “mewah” daripada kebanyakan tetangganya yang hanya berdindingkan papan. Sesekali terlihat beberapa ekor anak ayam menyerobot keluar masuk ke dalam rumah, hingga tak jarang juga ditemunkan sisa-sisa kotoran ayam yang masih menempel “segar” di lantai semennya.

Tak perlu menunggu lama, kami pun segera dipersilakan masuk oleh sang tuan rumah. Terlihat beberapa kursi plastik masih bertumpang tindih di salah satu sudut ruang 3 kali 4 meter ini. Sambil mempersilakan kami duduk, sang tuan rumah pun menanyakan maksud kedatangan kami. “Pak kami datang kesini mau melihat anak bapak Niki, apakah dia sekarang ada di rumah?” Jawab petugas Dinkes yang mengawal kami. Bak gayung bersambut, tanpa keberatan, sang tuan rumah pun langsung menyuruh istrinya untuk membawa anaknya Niki ke ruang tamu.

Dari balik tirai lusuh, terlihat sang istri sedang menggendong seorang anak seukuran balita mungil sekitar 2 tahunan. Dalam dekapan sang ibu, Niki terlihat pasif dibandingkan dengan balita kebanyakan. Terlebih lagi, dapat terlihat dengan jelas guratan tulang berbalut kulit dipergelangan tangannya. Dari sekilas pandang saja saya sudah menyangka bahwa Niki sedang mengidap gizi buruk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun