[caption caption="Dokumentasi Pribadi"][/caption]Sang mentari mulai malu-malu menampakan dirinya dari sudut timur Pantai Pagatan. Menandakan tepat 12 hari sudah saya beserta tim enumerator Kabupaten Tanah Bumbu bermukim di salah satu kecamatan yang ada di Kalimantan Selatan ini. Sedari malam tadi, kami ber-empat terlihat sedang sibuk mengepak dan mengemas kuesioner-kuesioner SDT (Studi Diet Total) yang akan kami bawa untuk berpindah dari BS (Blok Sensus) Pagatan ke BS Desa Satiung.
Perjalanan untuk menuju BS Satiung tidak bisa dikatakan mudah, ya tentu saja. Berdasarkan informasi dan survei awal ketua tim kami, BS Desa Satiung berada di sepanjang aliran sungai di Kecamatan Kusan Hilir. Artinya apa? Ya.. akses transportasi yang digunakan untuk menjangkau desa ini adalah transportasi sungai.
Sebenarnya ada satu jalan darat yang bisa digunakan untuk mencapai desa ini. Namun, biasa lah, daerah pedalaman kalimantan masih terlalu asing dengan jalanan mulus beraspal, yang ada hanyalah jalanan dalam hutan yang tentunya sangat akrab dengan kubangan-kubangan tanah berlumpur. Apalagi jika di musim penghujan seperti ini, terperosok dalam kubangan lumpur di tengah hutan menjadi momok yang lebih manakutkan daripada harus menyeberangi aliran sungai dengan menggunakan perahu long boat atau yang lebih familiar disebut katinting oleh masyarakat Desa Satiung.
[caption caption="Pribadi"]
Syukurnya, untuk menuju desa ini kami langsung dijemput oleh salah seorang ketua RT yang menjadi daerah pengumpulan data kami, sehingga kami tak perlu ambil pusing memilah-milih angkutan katinting atau malah membayar ratusan ribu rupiah untuk sekali meng-carter katinting yang sedari tadi mulai menjajakan dirinya kepada kami. Hal ini tentu saja penting, karena hanya ada sekali jalur untuk keluar-masuk desa ini, dan itu pun di pagi hari. Sehingga jika kita masuk ke desa, maka setidaknya harus menunggu besok harinya untuk bisa kembali ke Pagatan.
Bagi saya, perjalanan ini lumayan menantang. Goyangan khas perahu kayu, suara khas mesin diesel, serta cipratan air sungai menghiasi naluri petualangan serta canda tawa kami ber-empat. Sepanjang jalan kami seperti orang ke-udikan (ndeso), ya maklum saja, hal seperti ini sungguh sangat jarang kami temukan di kota asal tinggal kami, yah jadinya lebih bisa disebut orang kota yang sedang ndeso di desa (hahahaha). Teriknya matahari dhuha serta semilir angin sejuk menemani perjalanan kami selama kurang lebih satu jam membelah sungai di Kecamatan Kusan Hilir ini.
[caption caption="Pribadi"]
“... Nah kita sudah masuk Desa Satiung, sebentar lagi kita sampai...” Kata Pak RT membuyarkan kekaguman ku melihat pemandangan yang asing tapi cukup mengusik rasa antusias ku.
Tak lama kemudian Pak RT mematikan mesin katinting-nya dan mulai mengayuh untuk merapat ke pinggiran. Dari kejauhan terlihat seorang gadis kecil mulai memanggil dari kejauhan, “Yyeee abah datang....”. Ya, gadis kecil itu merupakan salah seorang anak Pak RT yang dari tadi memang menunggu kepulangan ayahnya menjemput kami di dermaga Pagatan.
[caption caption="Pribadi"]
Rumah kayu sederhana milik Pak RT ini setidaknya akan menjadi basecamp kami selama beberapa hari melakukan pengumpulan data disini. Tak ada perabotan istimewa di dalamnya, hanya seperangkat perabotan masak dan beberapa helai tikar mengisi ruang 3,5 X 8 meter ini. Tak ada perabotan elektronik, ya tentu saja karena memang belum ada jalur aliran listrik yang masuk di desa ini. Untuk penerangan di malam hari biasanya masyarakat menggunakan lampu minyak atau menggunakan genset bagi mereka yang mampu.
Sebagai anak muda yang tak bisa lepas dari gadget tentu hal ini menjadi salah satu momok bagi kami. Jangankan untuk mengakses internet, mengakses jaringan telepon pun sangat minim disini. Sinyal provider yang digadang-gadangkan memiliki jaringan terkuat di Indonesia pun cenat-cenut dibuatnya. Jangankan untuk update status kekinian, untuk menyalakan HP saja perlu menumpang genset warga yang berhati dermawan. Secanggih-canggihnya HP android 4G takan ada bedanya dengan HP GPRS made in china disini.
Selain minim akses listrik dan jaringan telekomunikasi, ternyata akses sanitasi dan air bersih pun ikut-ikutan minus disini. Seperti kebanyakan masyarakat pesisir sungai lainnya, air bersih yang digunakan warga bersumber dari aliran air sungai. Sudaj bisa ditebak? Ya untuk urusan minum, MCK, dan sejenisnya dilakukan di SUNGAI. Wooah... ini tentunya menjadi salah satu momok kegalauan saya yang berlatar belakang Sarjana Kesehatan Masyarakat.
[caption caption="Pribadi"]
Teman se-tim saya pun hanya bisa tertawa menggoda saya, “Nah lo de, gimana lo, masak elo sebagai SKM juga ikut-ikutan MCK di sungai? Bukannya gak PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) yee... hahaha...”. Goda teman se-tim saya yang berlatar belakang Sarjana Gizi ini.
Yah, apa mau dikata, yang namanya gak ada pilihan lain, trus juga hajat kehidupan yang harus dipenuhi, akhirnya dengan setengah hati ngikutin “tradisi non-PHBS” disini, hitung-hitung sebagai salah satu cara biar grounded sama masyarakat sini biar akrab ketika pengumpulan data nanti... (Ha..ha..haha..lasan...).
Jiwa kegalauan anak muda kami pun meronta, tanda gak mau lama-lama bertahan disini. Akhirnya kami putuskan untuk segera mungkin untuk menuntaskan misi kami untuk melakukan pengumpulan data. Al-hasil mulai pagi hingga jam 10 malam kami berkutat di pinggiran sungai untuk melaksanakan tugas negara sebagai enum pengumpul data.
[caption caption="Pribadi"]
Meski harus bergelap-gelapan menyusuri sungai yang tenang di tengah hutan sagu, tak membuat nyali kami ciut untuk melakukan mengejar pengumpulan data sebisanya. Takut akan ada buaya muara, hingga makhluk halus penunggu sungai pun kami anggap angin lalu. Yah, secara sekarang kan zamannya kekinian lho!!
[caption caption="Pribadi"]
[caption caption="Pribadi"]
Sepulangnya dari rumah responden terakhir kami pun segera melelapkan diri di tengah kegelapan malam yang tengah menyelimuti kami. Tapi tidak dengan ketua tim saya yang satu ini. Sebut saja Juned, seakan baterai HP yang masih full, si juned pun masih bisa cekakak-cekikik meramaikan tim kami. Tapi apa dikata, kami yang kelelahan pun tak bisa membalas canda-candanya.
“Ah.. lo semua gak asik, gue aja masih belum mau tidur,, mending gue telponan sama temen gue dulu...” Juned pun mulai mencari sinyal telekomunikasi, hingga akhirnya dia mendapatkan beberapa bar sinyal di pinggiran sungai. Sementara Juned sedang asik bercengkrama bersama teleponnya, kami pun mulai berlayar ke pulau kapuk nan indah.
Hampir satu jam lamanya, tiba-tiba kami dikejutkan dengan jengrekan suara pintu. “Jrekk.. jreeek.. jreeek... wooy bukain pintunya woy...” Suara juned dari luar. “...Gak di kunci kok ned,, buka aja...” Akhirnya dengan beberapa kali gebrakan pintu pun berhasil dibuka. Juned pun langsung segera masuk dan mengunci pintu dengan lekasnya. Sambil setengah terengah-engah juned pun beristighfar... “astaghfirullah.. astaghfirullah...”. “Kenapa lo ned??... ketemu buaya apa??...” tanya temen se-tim kami.
[caption caption="Pribadi"]
Sambil mengatur nafas, juned pun emulai ceritanya..... “Tadi kan gue telponan tuh sama temen gue yang di Jakarta, biasalah lo tahu kan gue sama dia gimana, sering bercanda-candaan... terus dia godain gue, ciiie banyak tuh cewe cantik di desa katanya. Lha terus gue samperin dia, mana ada juga malam gini ada cewek cantik, yang ada itu hantu gentayangan kelee... terus gak lama gue ngomong gitu, gue lihat di seberang sungai itu sesuatu yang mengapung gitu.
Awalnya gue kira Cuma batang pohon, secara di seberang itu kan hutan sagu. Eh ternyata lama-lama itu mendekat, kaya orang gitu pakai sampan, tapi secara mana ada orang malam gelap-gelap gini kan sedang keluyuran, terus tanpa sadar gue lihat semakin jelas, kaya cewek gitu berambut panjang baju, putih terus semakin deketin gue. Lha refleks aja gue lari masuk kerumah, untungnya gue kepeleset ke sungai...”
“hahaha... lo juga sih, bercandanya kebengetan, lo gak nyadar tempat ini tempat orang? malam-malam gelap-gelapan cekikikan.. nah lo... lagian elo udah tau elo itu sensitif sama makhluk ginian, malah lo candain...” Goda si Mujib, tim kami yang sekaligus teman akrab Juned waktu kuliah.
Meskipun di tengah kelelahan, cerita horror si Juned tadi setidaknya membuat kami ber-tiga cekikikan menggoda Juned yang mau di-PDKT-in cewek horror seberang sungai, entah iba, lucu, dan horror menjadi suatu menutup malam kami waktu itu.
***
Aah,, Satiung, meski hanya sebuah desa kecil, setidaknya menyimpan kesan mendalam bagi saya. MCK di sungai, minum air sungai, ini itu di sungai, gelap-gelapan di sungai, serta pengalaman horror di sungai, setidaknya menuliskan kisah petualangan bagi anak muda seperti saya ini dalam melihat luasnya penjuru Indonesia, ini hanya sebagian potret sekitar saya, tak kalah menariknya dengan acara-acara Jejak Petualangan di layar kaca, yah setidaknya bagi saya, Jejak Petualangan itu ada di Satiung, lho!!....
Disunting darai pengalaman ngenum SDT di Satiung Tahun 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H