"Kenapa lagi, Ma?" tanyaku.
Ini memang bukan kali pertama aku melihat Dawina bermalas-malasan di kasur, dengan wajah sedih layaknya Nobita di tolak cinta Sizuka.
"Mama, mau beli teh pelangsing sama mau beli korset yang original, Pa!" sahut Dawina.
"Waduh, memangnya kenapa? 'Haters' mana lagi yang buat Mama, tergiur mau beli begituan?" tanyaku.
Bukan aku nggak mampu membelikan keperluan istri semacam itu, bukan! Tapi aku berpikir, apa iya istriku se-terkenal itu, yang hampir setiap orang di komplek ini senang mengomentari hidup tetangganya sendiri.
Lalu kini terjadi lagi dan sekarang ingin punya tubuh singset seperti waktu dia masih jadi kembang kampus, sebelum akhirnya dilamar olehku, Dion Sastranegara.
"Kulit perut Mama, kan, emang tebal ya, Pa? Masa... Mama dikira hamil lagi, terus Mama, kan, bilang pengharuh operasi secar makanya jadi buncit. Intan malah ketawa! Katanya, 'dijaga Mbak bentuk badannya, kan masih anak satu, gimana nanti kalo udah tiga.' Begitu dia bilang, Pa."
Demi menyenangkan istri yang sudah susah payah mengurus anak, menjaga rumah selalu rapi, dan Meja makan yang senantiasa penuh lauk-pauk kesukaanku. Setelah keluhan itu aku mentransfer uang ke rekeningnya.
"Pa, makasih ya transferannya udah Mama ambil, dan udah dibelanjain juga," ucap Dawina di ujung telepon.
Dulu pernah, ketika Dawina mengeluhkan punya wajah berjerawat, lalu dia minta dibelikan serum yang bisa membuat wajah jadi kaya kertas "glossy". Layaknya artis Korea. Licin! Glowing.
"Habisnya kemarin Rasti ngeledekin Mama, muka Mama udah kaya parutan, bisa-bisa nanti yang ada Papa bisa ngelirik dia, katanya!" keluh Dawina.