Teh berasal dari Tiongkok dan Asia Timur seperti Jepang atau Korea, bahkan India dan Srilangka yang berada di Asia Selatan adalah penghasil teh istimewa. Teh "Tiongke" di lereng Gunung Merbabu sisi timur, begitu saya diberi tahu teman saya.Â
Saya diajak untuk mengunjungi pengolahannya. Dalam perjalanan, saya hanya berimajinasi tentang sosok seorang warga keturunan Tionghoa yang mengolah sekaligus menjadi juragan teh.
Berbicara teh, adalah minuman kuno yang saat ini masih terus menjadi sajian wajib dari meja tamu hingga meja makan, bahkan menjadi bekal dalam perjalanan. Semua orang bisa mengonsumsi, kecuali balita yang berpotensi terhambatnya asupan zat besi kerana adanya tanin, sehingga bisa menyebabkan anemia.
Lebih dari 700 senyawa ada di dalam daun teh, meskipun didominasi; ketekin, tanin, kafein, dan yang terbesar adalah senyawa fenol. Daun teh yang masih kuncup mengandung kafein dan katekin, sehingga dibuat menjadi white tea atau teh putih-harganya sangat fantastis.Â
Untuk daun teh lembaran pertama dan kedua akan diolah menjadi teh hijau, sedangkan daun ketiga dan empat biasanya diolah menjadi teh oolong dan teh hitam, lamunan saya di perjalanan yang menanjak hinggan 800 m dpl.
Menuju Desa Jlarem di Kecamatan Ampel-Boyolali, saya melihat pohon-pohon teh yang menjulang ke atas. Berbeda dengan perkebunan teh, di mana tehnya adalah hamparan. Di sini, tanaman teh dijadikan tanaman pagar atau pembatas lahan dan memikiki dahan yang tinggi. Saya membayangkan, bagaimana memetik pucuh tehnya,
Sampai juga di Desa Jlarem dan saya bertemu dengan Pak Sumarno dan Bu Maryati yang mengolah teh. Buyar hipotesis tentang sosok orang China, justru orang Kulonprogo dan asli Jlarem. Langsung saya bertanya dengan pemilik kebun teh di pekarangan rumahnya tentang bagaimana pengolahan teh di sini.
Pucuh teh yang diambil peko 1 dan 2, yakni daun kuncup dan daun pertama untuk dibuat menjadi teh hijau. Daun yang sudah dipetik kemudian dilayukan dengan cara disangrai dengan kwali terakota yang dipanaskan dengan kayu bakar.
Proses pelayuan ini untuk mengurangi kadar air, sekitar 40%. Lalu daun teh digulung dengan tangan untuk membentuk daun teh. Tujuan penggulungan agar daun teh nanti tidak mudah remuk dan memudahkan dalam sangrai kedua. Berikutanya adalah penyangraian untuk benar-benar mengeringkan teh hijau ini.
Untuk daun kedua dan ketiga, prosesnya sama tetapi tidak digulung, justru digelar di tampah agar airnya menguap. Setelah agak kering, kembali disangrai hingga kering, kemudian di kemas dan jadilah teh hitam atau bisa juga oolong tea jika dikategorikan.
Yang membedakan teh hijau dan oolong tea atau teh hitam adalah oksidasi, yakni usai pelayuan dibiarkan terpapar udara yang cukup lama, berbeda dengan teh hijau begitu dilayukan langsung disangrai.Â
Teh hijau yang tidak terpapar udara atau oksidasi masih memertahankan warna khas teh yaitu kuning kehijauan, sedangkan oolong tea dan black tea identik dengan warna yang pekat atau kuning kemerahan.
Penjelasan Pak Sumarno begitu gamblang, lalu Bu Maryati menyeduh teh hijau buat kami. Aroma yang begitu kuat khas teh, kemudian rasa sepat begitu kental, dan air seduhan berwarna kuning kehijauan. Ada yang menjadi cirikhas dangan teh sangrai ini adalah aroma sangit atau aroma asam-smooky dan pahit karena kadang gosong atau overburn.
Tea sinensis adalah spesies teh yang banyak dibudidayakan dan memiliki varietas assamica. Varietas ini banyak diolah menjadi black tea dan karakter pohon tehnya tinggi. Lantas saya bertanya pada Bu Maryati, bagaimana cara memetik pucuk tehnya? "ya dengan cara ditiungke" jawabya singkat.Â
Tiung bahasa jawa untuk menurunkan dahan yang susah dijangkau dengan cara ditarik, dengan demikian ditiungke adalah proses kenarik dahan. Teh Tiongke artinya..?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H